Friday, April 24, 2015

Birdman; one of the best movie ever made

Film karya sutradara Alejandro Gonzales Inarritu ini sangat unik. Bagaimana tidak? Film seolah olah direkam secara kontinyu, terus menerus tanpa jeda. Cinematografi karya Emmanuel Lubezki luar biasa ciamik!!


Kisahnya tentang seorang aktor yang sudah pudar masa ketenarannya, Riggan Thomson (Michael Keaton) yang sempat populer memerankan karakter superhero Birdman 20 tahun yang lalu mencoba untuk eksis lagi dengan membuat sebuah drama panggung Broadway. Ia berharap drama ini bisa sukses namun kendala yang dihadapi cukup banyak sehingga membuat ia stres berat sebelum pertunjukan perdana dimulai. Adegan akhir dari drama tersebut menggambarkan karakter yang dibawakan Riggan menembak dirinya sendiri, secara diam-diam Riggan memutuskan untuk mengganti pistol properti panggung dengan pistol sungguhan demi menghasilkan pertunjukan yang dramatis.


Film ini selain unik juga unggul dari semua aspek. Dari sisi teknis, yang paling menonjol adalah sinematografi, editing dan production design. Tingkat kesulitan untuk membuat film ini benar-benar luar biasa. Dari sisi non teknis juga terlihat sekali bahwa film ini mencoba untuk tampil berbeda. Naskah yang ditulis Inarritu dan Nicolas Giacobone memberikan gambaran menarik tentang sisi lain dunia showbiz. Performance semua aktor dan aktris sangat prima, baik pemeran pendukung apalagi para pemeran utamanya. Overall.. It's one of the best movie i ever see..!

It scores 9 outta 10!


Wednesday, April 22, 2015

Indigenous; cliche in every way

Premisnya sangat simpel, beberapa pemuda dan pemudi berlibur ke Panama, merasa tidak cukup hanya dengan main di pantai mereka memutuskan untuk pergi ke sebuah hutan yang misterius. Meskipun sudah diperingatkan untuk tidak ke sana mereka tetap saja berangkat, alhasil bukan kesenangan yang mereka dapatkan melainkan petaka.
Film horor karya Alistair Orr ini sama sekali tidak menawarkan kengerian yang seharusnya ada dalam sebuah film horor, apalagi berbasis urban legend tentang chupacabra yang seharusnya menyeramkan. Ceritanya mudah dilupakan dan akting semua pemain tampak datar, bahkan dari sisi teknis juga tidak membantu sama sekali. Yang akan Anda dapatkan hanya rasa ngantuk yang amat sangat.

It scores 3 outta 10


Wednesday, April 15, 2015

Beauty and the Beast; not the musical

Kisah Beauty and the Beast merupakan salah satu cerita paling populer di dunia, yang paling membekas dalam benak saya adalah versi animasi dari Disney tahun 1991 dan serial televisi tahun 80an yang diperankan Ron Perlman dan Sarah Connor.. I mean.. Linda Hamilton. Sebelum Disney merilis versi live action-nya seperti kisah Cinderella, ada baiknya kalau kita tonton dulu film yang satu ini, judul aslinya La Belle et la Bette, sebuah film dari Perancis yang SIALNYA di dubbing dalam bahasa Inggris.


Seorang saudagar kaya (Andre Dussollier) yang memiliki 3 orang putra dan 3 orang putri, kehilangan seluruh hartanya sehingga mereka harus pindah dari rumah megah ke rumah yang kecil di pedesaan. Sebuah kecelakaan membuat sang saudagar tersesat di hutan dan menemukan sebuah kastil yang ternyata dihuni monster (Vincent Cassel) yang disebut The Beast. Karena sang saudagar mencuri setangkai bunga mawar maka ia harus kembali ke kastil untuk menjadi pelayannya setelah diberi kesempatan untuk menemui keluarganya, jika ia ingkar maka si monster akan membunuh semua anaknya. Belle (Lea Seydoux) yang mendengar cerita ayahnya tidak ingin sang ayah celaka, maka Belle memutuskan untuk pergi ke kastil untuk menggantikan sang ayah. Kisah selanjutnya saya yakin Anda semua sudah tahu, kalau belum tahu ya Anda perlu menyaksikan film ini..


Sutradara Christophe Gans menampilkan kisah ini berdasarkan novel paling pertama yang menceritakan tentang Belle and the Beast. Just info saja kalau kisah ini berasal dari Perancis dan dipublikasikan pertama kali  pada tahun 1740, setelah itu banyak versi yang bermunculan dengan beragam penyesuaian. Kisah ini menjadi kontroversi pada saat itu karena mengangkat isu sosial terutama tentang gender, ingat.. Di abad ke 18 wanita kudu musti harus wajib nurut sama pria, sedangkan karakter Belle sangat mandiri dan berani menentang aturan yang ada. Dari sisi story telling sebenarnya tidak ada hal yang baru, yang menarik perhatian saya adalah visualisasi dan production design yang sangat indah, lebih tepatnya indah dan kelam, meskipun dianggap cerita dongeng saya tidak menyarankan film ini disaksikan anak-anak karena terlalu kelam kisah dan visualisasinya. Jadi jika Anda mencari hiburan visual yang agak beda dengan film-film Hollywood, maka film La Belle et la Bette ini bisa menjadi pilihan yang tepat.

It scores 6 outta 10!


Sunday, April 12, 2015

The Cobbler ; flops in every way

Selama ini saya selalu beranggapan bahwa Adam Sandler hanya tampil di dua jenis film yaitu 'komedi jorok' dan 'komedi serius'. Kayaknya komedi jorok seperti film 'Jack & Jill' serta 'You don't mess with the Zohan' lebih populer dan memorable, bahkan 'Grown Ups' yang kacau balau saja bisa menghasilkan sequel. Lalu bagaimana dengan film terbaru Sandler yang berjudul The Cobbler ini? Kisahnya sih cukup aneh meskipun bukan orisinil karena kayaknya saya dulu pernah nonton film dengan konsep serupa cuma saya gak inget detailnya. Sandler adalah Max Simkin seorang tukang servis sepatu yang usahanya merupakan turunan keluarga. Suatu ketika ia mengalami kejadian aneh yaitu berubah menjadi siapapun sesuai dengan sepatu yang ia kenakan. Alhasil ia mencoba memanfaatkan kondisi ini untuk mendapatkan apa yang ia inginkan meskipun yang ia lakukan sebenarnya bukan hal yang baik.


The Cobbler adalah salah satu film terburuk Adam Sandler, bukan cuma komedinya yang garing tapi unsur dramanya juga payah. Sangat disayangkan jika mengingat konsep ceritanya yang bisa mengundang rasa penasaran. Seandainya digarap dengan lebih baik mungkin bisa menjadi salah satu 'komedi serius' yang memorable bagi para pecinta komedi pada umumnya dan para pecinta Adam Sandler pada khususnya.

It scores 4 outta 10!


Friday, April 10, 2015

Kidnapping Freddy Heineken; delayed ransom

Film ini diangkat dari kisah nyata tentang penculikan seorang pengusaha minuman bir (salah satu yang) paling terkenal di Eropa, Freddy Heineken yang diperankan oleh Sir Anthony Hopkins. Bersetting di Belanda tahun 1983, 5 orang pemuda,  Cor (Jim Sturgess), Willem (Sam Worthington), Cat (Ryan Kwanten), Brakes (Thomas Cocquerel) dan Spikes (Mark Van Euwen) kehilangan pekerjaannya karena perusahaan yang bangkrut, demi memenuhi kebutuhan mereka akhirnya diputuskan untuk melakukan sebuah penculikan agar mereka tidak perlu lagi merengek ke Bank untuk diberi pinjaman. Targetnya adalah Freddy Heineken, orang yang paling kaya di Belanda pada saat itu. Rencana disiapkan dengan matang agar tidak terlihat amatiran, sebagai modal awal mereka merampok bank untuk membiayai penculikan. Semuanya berjalan lancar hingga tebusan dibayarkan dan semua jadi berantakan.


The story is intriguing.. Tapi hasil akhir film yang disutradarai Daniel Alfredson ini menurut saya mengecewakan. Dari semua tokoh yang muncul di film ini tidak ada satupun yang mendapat pendalaman karakter dengan baik. Kita akan tahu hal (teknis) apa saja yang dilakukan Cor dkk dalam melakukan penculikan, namun muncul pertanyaan dikepala saya, siapa sih Cor dkk ini?  Dan yang lebih penting lagi, siapa sih Freddy Heineken? Semua pertanyaan (penting) itu tidak terjawab di film ini, saya mendapatkan jawabannya dari mbah Google karena kejadian ini menjadi sorotan banyak media di Eropa pada saat itu. Satu hal yang menarik perhatian saya adalah performa Anthony Hopkins yang gemilang, menurut saya sih dia tampil luar biasa dalam film yang salah. Film ini punya potensi menjadi tontonan yang seru seandainya di eksekusi dengan tepat, tapi sayangnya yang saya dapatkan malah rasa bosan...

It scores 5 outta 10!


Wednesday, April 1, 2015

Furious 7; a proper farewell for Paul Walker

One thing for sure, film ini akan mendulang banyak dolar karena 2 alasan, pertama karena adegan aksinya yang makin gila dan memang sudah dipromosikan dengan gencar, kedua karena nama mendiang Paul Walker. Jika Anda penggemar berat seri Fast & Furious maka film ini tidak ingin Anda lewatkan. Kisahnya tentang... Well.. Ceritanya sih menurut saya benar-benar bodoh, jika sudah nonton film Fast 6 maka Anda pasti tahu bahwa Dominic Toretto (Vin Diesel) diburu oleh Deckard Shaw (Jason Statham) demi membalas dendam atas apa yang terjadi pada adiknya. Selain kucing kucingan antara Dom dan Shaw, ada plot tambahan tentang teroris dan program komputer yang disebut God's Eye, kayaknya sih saya pernah melihat program serupa dipakai oleh Batman dalam film The Dark Knight.


Selain ceritanya yang tumpang tindih gak karuan, adegan aksinya memang benar-benar gila meskipun formula yang digunakan masih sama dengan film-film sebelumnya. Adu jotos, kebut-kebutan, tembak menembak dan ledakan tetap ada dan kali ini skalanya dibuat lebih besar (terutama untuk ledakannya), skala kerusakan yang ditimbulkan mungkin hampir menyamai film Transformers. Anda akan menyaksikan Jason Statham baku hantam dengan Dwayne 'The Rock' Johnson,  adu kambing antara Statham dan Vin Diesel serta mobil yang terbang menggunakan parasut. And I know that's the reason you want to see this movie! Kalau memang itu yang ditunggu maka Anda akan benar-benar menikmati film ini. Karena sutradara James Wan kayaknya benar-benar fokus di action dan mengabaikan karakternya. Padahal ada cameo Lucas Black yang pernah tampil di Tokyo Drift dan jangan lupakan Kurt Russel dengan gaya uniknya sebagai agen organisasi rahasia pemerintah.


Saya pribadi punya satu alasan kuat untuk menyaksikan Furious 7, ini adalah film terakhir Paul Walker dan (mungkin) inilah terakhir kalinya kita melihat penampilannya. Bagaimana James Wan menampilkan perpisahan bagi Brian O'Conner? Well.. They do it with respect and it's beautiful... Adegan perpisahan di akhir film ini membuat saya memaafkan semua kebodohan yang berdurasi 2 jam lebih. If you're a big fan of Paul Walker, don't hold your tears... Goodbye Mr. Walker.. Rest in peace...

It scores 7 outta 10!