Wednesday, August 27, 2014

LUCY; 100% brain capacity, 60% of fun

Luc Besson adalah salah satu sutradara favorit saya sejak film Leon: The Professional, kini ia merambah kembali dunia science fiction setelah dulu pernah membuat The Fifth Element yang sangat stylish. Bila Anda sudah menyaksikan trailer film Lucy dan berharap menyaksikan sebuah action thriller maka bersiaplah untuk kecewa. Menurut saya film Lucy lebih tepat disebut drama scifi ketimbang action thriller. Di film ini Scarlett Johansson memerankan Lucy, seorang pelajar yang berada di Taiwan namun terjerumus dalam dunia distribusi obat terlarang. Ia dipaksa Mr. Jang (Choi Min Sik) untuk mengirimkan sebuah paket narkoba bernama CPH4 yang ditanam dalam perutnya. Penyiksaan yang dilakukan terhadap Lucy ternyata membuat paket tersebut bocor dalam perutnya sehingga memberikan efek yang luar biasa. Rata-rata manusia hanya bisa menggunakan 10% dari kapasitas otaknya kata profesor Norman (Morgan Freeman), berkat obat itu Lucy bisa mengakses kapasitas otaknya hingga 100%, namun ia harus berpacu dengan waktu sebelum ia sendiri tewas, kemungkinannya ia akan tewas dibunuh Mr. Jang atau tewas karena terlalu banyak menerima materi yang tidak bisa ditampung oleh pikirannya.

Konsep yang ditawarkan film ini sangat menarik meskipun mengingatkan saya pada film Limitless yang diperankan Bradley Cooper, sayangnya banyak sekali hal yang tidak dijelaskan dan membuat saya bertanya-tanya. Atau jika dibandingkan dengan film Transcendence yang dibintangi Johnny Depp, film Lucy memiliki nilai tambah yang lebih baik berupa konsep tentang asal muasal kehidupan dan fungsi dari keberadaan manusia beserta evolusi yang lebih detail, terutama konsep visualnya. Meski kisahnya banyak plot holes, penampilan Johansson cukup menarik, perhatikan transformasinya dari gadis yang rapuh dan pasrah lalu berubah menjadi wanita yang tangguh dan hilang kontak dengan dunia sekelilingnya. Overall film ini cukup menghibur dan enak dilihat meskipun porsi aksinya nggak banyak layaknya film-film Besson yang lain dan secara keseluruhan memang gak sehebat The Fifth Element.

It scores 6 outta 10!


Posted via Blogaway

Wednesday, August 20, 2014

Guardians Of The Galaxy; a bunch of AWESOME A-holes!

Marvel Universe kini bertambah besar dengan kehadiran Guardians Of The Galaxy, dimana 5 begundal yang terdiri dari Peter Quill alias Star Lord (Chris Pratt), Gamora (Zoe Saldana), Drax (Dave Bautista), Rocket Raccoon (disuarakan Bradley Cooper) dan pohon humanoid yang bisa bicara walaupun hanya 3 kata bernama Groot (Suara Vin Diesel), yang awalnya ingin mendapatkan uang dari hasil jualan sebuah bola misterius, 'terpaksa' alih profesi jadi pahlawan demi menyelamatkan seluruh galaksi dari kehancuran yang akan dibuat oleh Ronan (Lee Pace) dengan menggunakan bola misterius tersebut. Detail kisahnya saya sarankan Anda untuk menyaksikan dengan mata kepala Anda sendiri karena film ini adalah salah satu film yang wajib ditonton bagi pecinta superhero (Marvel) maupun pecinta scifi. Sutradara James Gunn berhasil menyuguhkan sebuah hiburan visual yang menyegarkan, memang sih ada beberapa plot holes dan kurangnya pendalaman karakter namun buat saya hal itu bisa dimaklumi dan kayaknya memang disengaja karena toh diakhir film disebutkan "Guardians of The Galaxy will return!". Mudah-mudahan saja disequelnya nanti ada penjelasan yang lebih detail tentang latar belakang para tokoh utamanya. Bicara tentang tokoh utama, semua pemain tampil gemilang sesuai porsinya dan chemistry antara mereka berlima juga cukup apik sehingga interaksi mereka dilayar benar-benar enak ditonton. Sama halnya dengan para pemain pendukung seperti John C. Riley yang memerankan Rhomann Dey, Djimon Hounsou sebagai Korath, Michael Rooker sebagai Yondu dan Glenn Close sebagai Nova Prime, termasuk Benicio Deltoro sebagai The Collector yang sempat muncul sekilas diadegan penutup setelah end credit tittle film Thor: The Dark World. James Gunn yang juga menulis naskahnya bersama Nicole Pearlman sukses meramu komedi dan aksi serta sedikit drama menjadi sebuah tontonan yang menarik dan pondasi yang kuat untuk sebuah franchise maupun spinoff bagi Marvel di masa yang akan datang. So if you're looking for an entertaining scifi action with badass attitude, this is the right movie! Oiya... jika Anda mau sabar menunggu hingga end credit tittle film ini selesai, Anda akan melihat penampakan Howard the Duck.

It scores 8 outta 10!


Posted via Blogaway

Tuesday, August 19, 2014

The Expendables 3; when badass grandpas kick ass!

Percaya atau tidak, seri The Expendables yang dikomandoi Sylvester Stallone cukup banyak penggemarnya, entah karena jajaran bintang aksi old school tahun 80an dan 90an atau karena banyak yang suka adegan-adegan aksinya yang lumayan heboh (baca: lebay). Kali ini Barney Ross (Stallone) ingin menjalankan misi balas dendam terhadap Conrad Stonebanks (Mel Gibson) yang dulu ikut mendirikan The Expendables tapi pindah haluan ke jalur 'sesat'. Karena ini  misi bunuh diri maka ia tidak ingin melibatkan teman-teman lama dari The Expendables yang sudah pada uzur, maka ia merekrut anggota baru dengan bantuan Bonaparte (Kelsey Grammer). Sialnya, hal ini adalah keputusan yang salah karena Stonebanks lebih cerdas dan bila Barney salah langkah maka anggota barunya akan tewas dibunuh Stonebanks.
Kalau film The Expendable 2 lebih buruk dari yang pertama dan Anda menyukainya, berarti Anda sudah siap dengan The Expendables 3. Buat saya film ketiga karya Patrick Hughes ini tidak lebih baik dari pendahulunya meskipun lebih banyak lagi ledakan yang muncul. Yang menarik dari semua seri The Expendables adalah para cameo bintang action gaek yang pernah berjaya di era tahun 80an dan 90an, kali ini Anda bisa menyaksikan Wesley Snipes, Harrison Ford, Mel Gibson dan Antonio Banderas. Dari semua karakter yang penuh sesak memenuhi film ini hanya Mel Gibson dan Banderas yang mungkin paling mudah diingat, karena performance mereka cukup mencuri perhatian, Gibson sebagai penjahat yang sadis dan Banderas sebagai mantan tentara yang bawelnya gak ketulungan. Saran saya bila Anda ingin menyaksikan film ini adalah.. Just sit back, relax and enjoy the explotions! Jangan pusing mikirin cerita atau mencari akting kelas Oscar karena memang gak ada hal lain yang ditawarkan film ini kecuali adegan aksi yang meledak-ledak.... Toh semua pemainnya terlihat bersenang-senang dengan apa yang mereka lakukan di film ini.

It scores 4 outta 10!


Posted via Blogaway

Monday, August 18, 2014

The Quiet Ones; a deadly experiment

Cukup banyak film horor yang diangkat berdasarkan atau terinspirasi dari kisah yang benar-benar terjadi, namun banyak juga yang kurang tampil maksimal sehingga mudah dilupakan, film The Quiet Ones karya sutradara John Pogue termasuk salah satunya. Terinspirasi dari Phillip Experiment yang penah dilakukan di Canada, film ini menceritakan tentang dosen Oxford , profesor Joseph Coupland (Jared Harris) yang sedang bereksperimen dalam membuktikan bahwa yang namanya supranatural atau hal-hal gaib adalah omong kosong, semua itu hanya manifestasi dari pikiran kita karena pada dasarnya otak kita bisa saja melakukan hal-hal yang dianggap tidak mungkin, termasuk memindahkan barang atau menampilkan objek yang menakutkan. Eksperimen ini dibantu beberpa mahasiswanya, Krissi (Erin Richard), Harry (Ror Fleck-Byrne) dan sang kameramen amatir, Brian (Sam Claflin). Eksperimen yang dilakukan adalah melakukan observasi dan tes terhadap Jane Harper (Olivia Cooke) yang mengalami kerasukan sepanjang hidupnya. Coupland ingin membuktikan bahwa tidak ada setan dalam tubuh Jane dan Jane pasti bisa sembuh dengan perawatan psikologis yang tepat. Sayangnya eksperimen profesor Coupland dihentikan dananya oleh pihak Universitas sehingga mereka harus mengungsi demi tetap bisa melanjutkan eksperimennya. Ketika kebenaran mulai terkuak maka terjadilah hal-hal yang aneh dan menakutkan pada diri Jane yang akan mengancam nyawa profesor dan murid-muridnya.

Film horor dari Inggris ini punya premis yang menarik bahkan menurut saya punya keunggulan dari sisi teknis yaitu kombinasi found footage rekaman yang dibuat Brian dan tampilan visual yang biasa sehingga seolah-olah film ini memberikan akses kepada penonton dari sisi sang pelaku langsung. Selebihnya biasa saja dan tidak ada hal yang lebih baik dari banyak film horor yang sudah tayang sebelumnya.

It scores 6 outta 10!


Posted via Blogaway

Saturday, August 16, 2014

The Babadook; traditional horor from Down Under

Film The Babadook karya sutradara Jennifer Kent adalah film bergenre horor dari Australia yang sedang tayang di jaringan Blitzmegaplex. Mengisahkan tentang seorang ibu single parent bernama Amelia (Essie Davis) yang tinggal berdua bersama putranya, Samuel (Noah Wiseman) selama enam tahun setelah ditinggal mati suaminya karena kecelakaan. Sam bisa dibilang anak yang badung, dibalik kenakalannya ternyata ia hanya ingin melindungi ibunya dari monster yang ada di rumahnya. Setelah Amelia menemukan buku bergambar berjudul Mister Babadook barulah mereka berdua sadar bahwa kehadiran Babadook yang awalnya hanya dianggap sebagai khayalan Sam ternyata benar-benar ada dan mereka harus menyabung nyawa dalam melawan makhluk tersebut.
Satu hal yang menarik buat saya adalah konsep horor tradisional yang ditampilkan film ini, mengingatkan saya pada kejayaan film horor Indonesia jaman dulu. Sosok babadook tidak pernah muncul selain di buku bergambar namun kehadirannya bisa dirasakan dan ada beberapa adegan yang cukup mengagetkan. Untuk film yang fokus pada sedikit karakter, film ini terbilang kurang menggali kedalaman tokoh utamanya, padahal ada alasan psikologis yang cukup kuat dan logis untuk menjelaskan mental breakdown yang terjadi pada Amelia tapi sayangnya tidak dimunculkan. Overall tidak ada hal baru yang ditawarkan film ini, selain untuk (mencoba) menakut nakuti penonton dengan cara yang sudah sering kita lihat.


It scores 5 outta 10!


Posted via Blogaway

Friday, August 8, 2014

Teenage Mutant Ninja Turtles; the worst of TMNT

First of all.. I love ninja turtles! Dari dulu saya senang sekali menyaksikan aksi mereka ketika ditayangkan serial animasinya di TVRI saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Saya pun rela antri tiket bioskop saat film Teenage Mutant Ninja Turtles III di putar di bioskop Jakarta tahun 1993 (klo gak salah). Saya juga merasa bernostalgia dengan empat jagoan ini di tahun 2007 saat film animasi CGI rilis berjudul TMNT dan menjadi salah satu momen yang seru buat saya. Saya pun cukup antusias menantikan rilis film reboot Teenage Mutant Ninja Turtles dibawah arahan sutradara Jonathan Liebesman tahun ini.

April O'Neill (Megan Fox) adalah seorang wartawan berita Channel 6 di kota New York, ia tertarik untuk mengangkat kisah pahlawan misterius yang menyelamatkan banyak nyawa dari teror yang dilakukan The Foot Clan pimpinan Schredder (Tohoru Masamune). Ketika O'Neill mengetahui bahwa pahlawan bertopeng tersebut adalah empat kura-kura yang bisa bicara dan punya ilmu bela diri, tidak ada yang mempercayainya, ia malah menemukan fakta yang mengejutkan bahwa ia memiliki hubungan dengan ninja turtles dan guru mereka yang berwujud tikus, master Splinter.
Dari semua film ninja turtles, i have to say that this one is the one i hate. Mungkin banyak yang merasa aneh dengan ide adanya kura-kura yang hidup di selokan bawah tanah, jago ilmu ninja dan doyan pizza menjadi pahlawan di kota New York. Buat saya justru karakter mereka itulah yang menjadi kelebihan TMNT dan di film terbaru ini semua hal itu tidak tergali sama sekali. Memang spesial efeknya cukup bagus dan sedap dipandang mata, tapi saya lebih merasa film ini seperti film action yang gak ada isinya. Banyaknya plot holes dan twist yang ngaco dalam menghubungkan April dengan TMNT sebagai peliharaan benar-benar suatu hal yang mengecewakan buat saya. Come on..! I grew up with them...! Satu hal yang menghibur saya hanyalah adegan-adegan aksi yang 'meledak' ala Michael Bay yang memang duduk di kursi produser. Mungkin sebaiknya saya nonton koleksi jadul TMNT saya di rumah demi mengobati kekecewaan yang tiada tara ini. *hiks*

It scores 4 outta 10!


Posted via Blogaway

Thursday, August 7, 2014

Into The Storm; a tornado mockumentary

Tahun 1996 ada sebuah film tentang bencana angin tornado yang menjadi box office hit dan juga salah satu film favorit saya sepanjang masa, judulnya Twister karya sutradara Jan Debont. Ada 4 hal yang membuat film tersebut memorable buat saya; pertama, spesial efeknya yang luar biasa (pada saat itu); yang kedua, lagu Human Being-nya Van Halen yang enerjik; ketiga, Helen Hunt yang manis; dan keempat, comedic performance yang brillian dari mendiang Phillip Seymour Hoffman yang memorable bagi para pecinta film. Tahun ini studio Warner Bros. merilis film Into The Storm dengan tema yang sama dan tak pelak lagi akan dibandingkan dengan film Twister meskipun gayanya berbeda. Jika Twister menggunakan konsep visual sinema yang biasa maka Into The Storm menggunakan konsep found footage berupa rekaman dari berbagai sumber kamera. Sayangnya semua hal yang berkesan dari film Twister tidak bisa saya temukan di film ini. Ceritanya bersetting di kota Silverstone Amerika, dimana sebuah badai tornado besar sedang menuju kota tersebut tanpa disadari warganya. Ada sebuah group tornado chaser pimpinan Pete (Matt Walsh) dengan perangkat yang cukup mumpuni, termasuk sebuah kendaraan lapis baja bernama Titus yang dianggap mampu bertahan dari serangan tornado. Selain para pemburu tornado, ada juga kisah Gary (Richard Armitage) yang berjuang melewati bencana tersebut demi menemukan putranya, Donnie ( Max Deacon) yang terjebak disebuah bekas pabrik di pinggir kota. Ketika kedua group tersebut bertemu, mereka harus saling membantu demi menyelamatkan nyawa mereka dari angin puting beliung kategori paling ganas, EF5.

Kelebihan film ini cuma satu yaitu tampilan visual tornado yang menegangkan. Aspek lainnya bisa dibilang membosankan, cerita yang berisi plot holes dimana-mana ditambah dangkalnya karakterisasi semua tokoh yang ada difilm ini, yup! Semua tokoh. Kalau untuk hiburan visual semata, film ini menarik disaksikan dilayar lebar tapi tidak untuk diingat layaknya film Twister.

It scores 5 outta 10!


Posted via Blogaway

Wednesday, August 6, 2014

The Nut Job: animal heist with a twist

Jika menyaksikan film animasi, akhir-akhir ini orang lebih familiar dengan studio besar seperti Disney yang sukses dengan Frozen, Pixar dengan Monsters University atau Dreamworks Animation yang kemarin merilis How To Train Your Dragon 2. Kini di jaringan bioskop 21/XXI sedang diputar film animasi berjudul The Nut Job karya sutradara Peter Lepeniotis dari sebuah studio kecil bernama Toonbox Entertainment dengan budget produksinya kurang lebih hanya sepertiga dari budget film Frozen-nya Disney. Lalu apakah berarti film ini jadi film yang buruk? Untungnya tidak! The Nut Job menceritakan tentang seekor tupai bernama Surly (suara Will Arnett) yang tinggal di Oakton City Central Park. Sebuah insiden membuat 'gudang' makanan milik koloni hewan pimpinan Raccoon (suara Liam Neeson) di taman tersebut terbakar sehingga mereka tidak punya makanan simpanan untuk musim dingin. Surly dituduh sebagai tersangka dan diusir dari Oakton Park sebagai hukumannya. Surly mendapatkan ide untuk merampok sebuah toko kacang Maury's Nut Shop untuk dirinya sendiri namun ternyata Raccoon juga ingin mendapatkan simpanan makanan musim dingin dengan cara merampok tempat yang sama, sialnya ada juga segerombolan penjahat manusia yang menggunakan toko kacang tersebut untuk merampok bank yang ada disebelahnya.
Njelimet ya? Bagi anak-anak mungkin agak ribet dengan alurnya tapi tidak untuk penonton dewasa. Anak-anak akan terhibur dengan karakter-karakter yang lucu serta lelucon yang ditampilkan film ini, sedangkan bagi penonton dewasa mungkin tertarik dengan twist cerita yang ditampilkan dengan baik. Overall... film animasi yang sederhana ini cukup bisa menghibur keluarga Anda, apalagi bila Anda suka sekali dengan lagunya PSY, Gangnam Style.

It scores 6 outta 10!


Posted via Blogaway

Friday, August 1, 2014

Penthouse North; another forgettable thriller

Sara Frost (Michelle Monaghan) adalah seorang jurnalis foto yang terluka saat meliput perang Afganistan, bom yang melukainya membuat Sara menjadi buta permanen. 3 tahun setelah kejadian tersebut, Sara tinggal disebuah apartemen mewah / penthouse di New York milik sang kekasih, Ryan (Andrew Walker). Sara tidak mengetahui bahwa Ryan memiliki masa lalu yang kelam dan kini ada dua orang penjahat yang mengintainya.
Sutradara Joseph Ruben pernah menggarap genre thriller sebelumnya, Sleeping With the Enemy dan The Forgotten, namun yang satu ini jelas dilewatkan banyak pecinta film karena memang banyak kekurangannya. Selain kurangnya publikasi, film yang diproduksi tahun 2011 ini juga terlalu lama tersimpan dalam lemarinya Dimension Films. Semua aspek (yang sangat klise) untuk thriller bertema home invasion muncul di film ini tanpa ada inovasi baru; waktu yang berjalan cepat, lokasi yang seminim mungkin dan pemain sesedikit mungkin demi menciptakan efek claustrophobic para penontonnya, sehingga penggemar berat genre thriller pasti akan kebosanan. Diantara semua pemain, hanya Michael Keaton saja yang tampil lumayan sedangkan lainnya biasa saja. Saya pribadi malah mendapat kesan kalau Michelle Monaghan sedang berakting dengan penglihatan normal, bukan buta. Overall.. kalau gak bener-bener penasaran, cukup rental aja lah... Toh begitu filmnya selesai Anda pasti akan lupa.

It scores 4 outta 10!


Posted via Blogaway