Thursday, July 31, 2014

The Book Thief; Life from Death's perspective

Film The Book Thief karya sutradara Brian Percival ini diangkat dari novel berjudul sama karya Markus Zusak. Mengisahkan tentang kehidupan seorang gadis muda bernama Liesel (Sophie Nelisse) di Jerman ketika Hitler dan NAZI berkuasa dengan semena-mena sekitar tahun 1938. Liesel yang ditinggalkan ibunya, berada dalam asuhan Hans dan Rosa Hubermann (diperankan dengan apik oleh Geoffrey Rush dan Emily Watson). Hans mengajarkan Liesel cara membaca yang membuat Liesel 'ketagihan' sehingga melalap habis semua buku yang ia temukan, bahkan ia bersama Hans membuat kamus sendiri di dinding basement rumah mereka. Suatu hari keluarga Hubermann kedatangan seorang tamu bernama Max (Ben Schetzer) yang sedang diburu NAZI karena beragama Yahudi, di zaman itu semua Yahudi diburu dan dibunuh atas perintah Hitler. Hans yang berhutang budi pada ayah Max berjanji akan menampungnya hingga ia sembuh. Selama Max berada di rumah Hubermann, ia akrab dengan Liesel dan saling berbagi kecintaan mereka pada buku. Kedamaian di kediaman Hubermann tidak berlangsung lama karena Jerman menyatakan perang dengan Inggris dan berbagai tragedi di desa kecil itu pun mulai datang menghampiri hidup Liesel.
Saya berkesempatan menyaksikan film ini lebih awal dari jadwal tayang bisokop Indonesia karena saya menontonnya diatas pesawat Garuda (and the same thing goes for The Grand Budapest Hotel). Sebenarnya banyak plot holes dalam film ini yang membuat kita harus membaca bukunya jika ingin tahu lebih dalam. Namun ada 3 hal yang menjadi kelebihan film ini dimata saya; pertama performance 3 bintang utamanya, Sophie Nelisse, Geoffrrey Rush dan Emily Watson yang ciamik. Yang kedua sinematografi yang indah karya Florian Ballhaus. Dan terakhir music score karya John Williams yang emosional (as always). Bila Anda bukan pecinta film drama, kemungkinan Anda akan segera tertidur disetengah jam pertama, karena film ini memang berjalan lambat meskipun openingnya buat saya cukup menarik, apalagi film ini dinarasikan oleh "Death" sang kematian. Belajar tentang arti hidup dari seorang gadis ditengah perang NAZI memang bukan hal yang unik, tapi bila kehidupan tersebut dilihat dari perspektif malaikat maut ya harusnya terlihat beda.

It scores 6 outta 10!


Posted via Blogaway

Grand Budapest Hotel: a nod to classic cinema

Film Grand Budapest Hotel awalnya dibuka dengan setting tahun 1985, lalu mundur ke tahun 60an dan mundur lagi ke tahun 30an disebuah negara fiktif di Eropa bernama Republic of Zubrowka. Monsieur Gustave H. (Ralph Fiennes) pemilik Grand Budapest Hotel memiliki hubungan dekat dengan Madame D (Tilda Swinton) dan ketika Madame D meninggal, keluarganya sibuk berebut harta peninggalan sang Madame. Sebuah lukisan yang tak ternilai harganya "boy with apple" diwariskan oleh Madame kepada Gustave melalui surat wasiat yang bacakan pengacara keluarga bernama Kovacs (Jeff Goldblum). Dmitri (Adrian Brody) yang merupakan anak Madame D tidak menerima kehadiran Gustave apalagi sampai mendapatkan harta keluarganya, ia menyewa pembunuh bayaran bernama Jopling (Willem Dafoe) untuk memburu Gustave yang telah kabur membawa lukisannya. Sebelum akhirnya ditahan yang berwajib, Gustave meminta bantuan Zero Moustafa (Tony Revolori), bellboy/lobby boy yang telah menemaninya sepanjang jalan untuk membantunya kabur dari penjara nanti demi membersihkan nama baiknya.
Film terbaru karya Wes Anderson ini merupakan sebuah film yang unik, baik secara visual maupun jalan cerita,  screenplay-nya yang ditulis sendiri oleh Wes Anderson terinspirasi dari tulisan karya novelis Austria, Stefan Zweig berjudul Beware of Pitty (1939) dan The Post Office Girl (1982). Menyaksikan film ini serasa membaca sebuah buku cerita dengan gambar-gambar yang indah serta warna yang memanjakan mata. Kisahnya sangat menarik dan lucu meskipun memiliki banyak lapisan yang lumayan kompleks tapi seru untuk diikuti dan didiskusikan. Semua aktor dan aktris yang muncul tampil dengan prima, terutama Fiennes dan Revolori yang kompak disepanjang film, belum lagi banyaknya cameo yang mencuri perhatian seperti Bill Murray, Jude Law, Harvey Keitel dan lain-lain. Production design dan sinematografinya benar-benar luar biasa dan akan mengingatkan kita pada film klasik jaman dulu, buat saya film ini memberikan perpaduan style dan substance yang seimbang sehingga menarik untuk disaksikan. Singkat kata, it's a must see movie!!

It scores 8 outta 10!


Posted via Blogaway

Step Up All In; Step Up reunion without Channing Tatum

To be honest... ada satu hal yang muncul dikepala saya saat tahu film ini dirilis, kok bisa ada sequelnya lagi ya?? Step Up yang pertama sih oke, Step up 2 the street biasa aja, Step up 3D membosankan dan Step Up revolution benar-benar payah. Dan kini ada film kelima, Step Up all in dibawah arahan sutradara Trish Sie. Hasilnya? Ya yang pasti gak sebagus Fast & Furious 5 lah ya meskipun kayaknya mereka mencoba konsep yang sama.
Sean (Ryan Guzman) beserta kawan-kawan dari crew The Mob (ingat Step Up Revolution?) gagal mencari kerjaan menari di Los Angeles. Ketika rekan-rekannya memutuskan kembali ke kampung mereka di Miami, Sean tetap tinggal dan malah ingin ikut lomba The Vortex dengan merekrut crew baru dengan bantuan Moose (Adam Sevani; ingat Step Up 2?). Maka bergabunglah beberapa penari dari semua film Step Up sebelumnya kecuali Channing Tatum, demi memenangkan kompetisi tari bergengsi yang dilaksanakan di Vegas. Bisakah mereka menang? Ya bisalah!
Gak ada hal baru yang ditawarkan film ini, ceritanya klise (banget!), aktingnya payah dan koreografinya gak menarik. Yang paling lumayan buat saya ya lagu-lagu soundtracknya yang menghentak. That's it.

It scores 4 outta 10!


Posted via Blogaway

Thursday, July 17, 2014

Earth to Echo; fun fearless alien adventure!

Kisah persahabatan anak-anak dengan alien sudah bukan hal yang baru di dunia film (Hollywood). Yang paling memorable (buat saya) adalah film E.T. karya Steven Spielberg dan beberapa tahun lalu ada Super 8 yang diarahkan JJ Abrams. Kali ini konsep yang sama berlanjut dibawah arahan sutradara Dave Green dengan judul Earth to Echo. Tiga orang sahabat yang bernama Tuck (Brian Bradley), Alex (Teo Halm) dan Munch (Reese Hartwig) yang tinggal di kota kecil di daerah Nevada Amerika akan berpisah karena kota kecil mereka akan digusur demi pembangunan jalan tol. Sebelum mereka berpisah, mereka sepakat untuk melakukan sesuatu bersama-sama, menyelidiki sebuah peta yang akhir-akhir ini sering muncul dilayar handphone mereka. Perjalanan yang mereka lakukan ternyata menghasilkan sebuah penemuan makhluk alien yang mereka beri nama Echo yang kondisinya rusak berat. Trio ini bertekad untuk membantu Echo memulihkan diri agar bisa pulang ke planetnya, hanya saja mereka harus berhadapan dengan para pekerja konstruksi jalan tol yang ternyata berada di kota mereka bukan untuk membangun jalan tol. Jika trio ini berhasil menyelamatkan Echo maka mereka punya kesempatan untuk menyelamatkan tempat tinggal mereka dari gusuran.
Untuk sebuah film anak-anak (dan keluarga), Earth to Echo jelas terlihat fresh dengan format found footage karena saya sendiri belum melihat film di genre ini dengan konsep tersebut, sayangnya menurut saya format ini juga yang jadi kekurangan film ini. Kisahnya sih enak dinikmati dari awal hingga akhir ditambah para pemain ciliknya yang tampil solid dengan keunikan karakter masing-masing. Buat saya pribadi, petualangan anak-anak di film ini mengingatkan saya pada film E.T. dan Goonies karena memiliki 'keseruan' yang sama. Overall.. film ini menarik untuk disaksikan bersama keluarga, mengajarkan anak untuk menjadi berani serta bertanggung jawab dan orang tua pun jadi punya alasan untuk melarang anaknya keluyuran di malam hari karena nanti selain ada kemungkinan bertemu alien imut dan lucu seperti Echo tapi ada kemungkinan juga bertemu alien ganas yang memakan manusia.. hiii....

It scores 7 outta 10!


Posted via Blogaway

Friday, July 11, 2014

Dawn Of The Planet Of The Apes; A must see movie!



Masih ingat dengan salah satu film yang jadi hit di tahun 2011 berjudul Rise of the Planet of the Apes? Dalam film itu sutradara Rupert Wyatt berhasil mempresentasikan sebuah reboot yang berkualitas dari segala aspek. Sequelnya yang berjudul Dawn of The Planet of the Apes masih memiliki kualitas yang sama (bahkan lebih baik dari sisi teknis) dibawah arahan sutradara Matt Reeves yang pernah membuat film Cloverfield dan Let Me In. Bersetting 10 tahun setelah kejadian film Rise, Caesar (Andy Serkis) yang kini hidup dihutan dekat kota San Fransisco bersama koloninya menganggap manusia telah binasa akibat virus simian flu yang memang telah menewaskan ratusan juta manusia diseluruh dunia, kecuali yang secara genetik sudah kebal terhadap virus tersebut. Sekelompok manusia pimpinan Malcolm (Jason Clarke) berpapasan dengan kera di hutan yang mengakibatkan salah satu kera tertembak dan membuat Caesar murka serta mengusir mereka. Caesar dan koloninya meminta agar manusia tidak mengganggu mereka dan tidak lagi datang ke hutan, masalahnya didekat tempat tinggal koloni kera ada sebuah bendungan yang dibutuhkan koloni manusia untuk bertahan hidup, jika bendungan ini tidak segera diperbaiki maka banyak manusia yang akan tewas. 

Kisahnya sih menurut saya cukup sederhana tapi memiliki banyak insight yang bisa kita ambil, jika Anda jeli, ada kritik sosial yang ingin disampaikan film ini. Yang juara tentu spesial efeknya, teknologi mo-cap (motion capture) yang ada saat ini bisa mengoptimalkan para aktor berakting dalam balutan kostum digital yang meskipun fisiknya tidak terlihat namun bisa menampilkan performance yang juara, terutama Andy Serkis yang memerankan Caesar. Malah menurut saya semua aktor yang tampil di film ini menampilkan performa terbaik mereka. Visualisasi yang memukau dan diiringi musik yang sangat pas membuat film ini tambah enak dinikmati. Jika Anda pernah terpukau dengan film Rise maka Anda akan sekali lagi terpukau dengan Dawn ini. Jarang-jarang ada film summer blockbuster yang berkualitas tinggi seperti ini, jadi jangan sampai terlewat untuk menyaksikannya di layar lebar.

It scores 9 outta 10!

Monday, July 7, 2014

Blended; Adam Sandler's trip to Africa

Menyaksikan film Adam Sandler yang sebelumnya, Jack & Jill serta dua film Grown Ups jelas membuat pusing kepala saya (untung gak muntah). Kini Adam Sandler hadir kembali dengan genre komedi romantis berpasangan dengan Drew Barrymore dalam film Blended karya Frank Coraci. Sandler dan Barrymore pernah berpasangan dalam film The Wedding Singer dan 50 First Date, dan mereka berdua juga diarahkan Coraci dalam film The Wedding Singer. Di film ini Sandler berperan sebagai Jim Friedman, orang tua tunggal dari tiga anak perempuan bernama Hillary (Bella Thorne), Espn (Emma Fuhrman) dan Lou (Alyvia Alyn Lind) yang semuanya terlihat sangat tomboi. Maklumlah, istri Jim meninggal karena kanker, ia kini bekerja di toko peralatan olahraga dan mesti menjaga ketiga putrinya seorang diri serta mengajari mereka kegiatan yang sangat pria. Blind date dengan Lauren (Drew Barrymore) yang sudah memiliki dua putra tidak berjalan lancar namun entah kenapa mereka beberapa kali bertemu kembali dan bahkan 'tidak sengaja' berlibur bersama di Resort Sun City Afrika. Kekacauan selama liburan di Afrika inilah yang membuat kedua keluarga ini sadar bahwa mereka ternyata bisa saling mengisi kekurangan. Jim mengajari anak-anaknya Lauren bersikap seperti lelaki sedangkan Lauren mengajarkan ketiga putri Jim hal-hal kewanitaan serta kasih sayang seorang ibu yang sudah lama tidak mereka rasakan.
Jujur saja, film ini bukan film terbaik Adam Sandler tapi jelas lebih baik dari seri Grown Ups serta Jack & Jill. Chemistry Sandler dan Barrymore enak dilihat disepanjang film dan untungnya kisah film ini tidak terlalu fokus pada karakter yang dibawakan Sandler seperti semua film Sandler yang sudah-sudah. Oiya, seperti biasanya, Sandler selalu memunculkan cameo yang unik, di film ada Shaquile O'Neill sebagai rekan kerja Jim dan ada Tery Crews yang gak bisa berhenti nyanyi disetiap ada kesempatan. Meskipun bertema keluarga, kayaknya film ini gak cocok dilihat anak-anak karena masih terlalu sarkastik dan banyak lelucon dewasa. Jadi jika Anda mencari hiburan ringan dan lucu, film ini bisa Anda saksikan selama Anda tidak terinspirasi untuk mengikuti pola asuh Jim dalam membesarkan anak-anaknya.

It scores 5 outta 10!


Posted via Blogaway

Thursday, July 3, 2014

Deliver us from evil; a demon who love The Doors

Kalimat "Inspired by true events" bisa menjadi daya tarik tersendiri, apalagi di genre horor supranatural yang cukup populer di negara kita. Film Deliver us from Evil diangkat dari memoir milik Ralph Sarchie (diperankan oleh Eric Bana) berdasarkan kasus yang pernah ia tangani. Sarchie adalah polisi di kota New York, lebih tepatnya di area Bronx. Ia menemukan beberapa kasus yang saling berhubungan tapi bisa dibilang cukup aneh karena melibatkan perilaku tidak wajar yang mengindikasikan adanya kerasukan setan. Sarchie yang 'melupakan' Tuhan mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada dirinya? karena ia mulai melihat dan mendengar hal-hal yang tidak bisa dilihat atau didengar orang lain termasuk partnernya, Butler (Joe  McHale), mungkin karena ia punya 'radar' yang membuat ia peka pada kehadiran iblis. Dengan bantuan seorang pendeta 'unik' bernama Mendoza (Edgar Ramirez) yang men-spesialisasikan diri dalam urusan demonic, Sarchie berusaha memecahkan kasus dengan cara yang tidak biasa karena berhadapan dengan makhluk yang luar biasa demi menyelamatkan istri dan putrinya sebelum terlambat.
Sutradara Scott Derrickson sebelumnya pernah menggarap genre sejenis berjudul Sinister dan The Exorcism of Emily Rose (yang ini juga diangkat dari kisah nyata). Jika dibandingkan dengan Sinister dan Emily Rose, film ini bisa dibilang agak kedodoran dalam hal penceritaan. Namun dari sisi teknis cukup baik, warna dan pencahayaan yang menunjang bisa memberikan kesan visual tersendiri. Bana dan Ramirez berperan sesuai perannya, tidak lebih dan tidak kurang. Sebenarnya jika dioptimalkan, naskah yang ditulis Paul Harris Boardman bersama Derrickson berdasarkan buku Beware The Night karya Sarchie ini mungkin bisa lebih baik jika mereka melakukan apa yang telah mereka berdua kerjakan di film The Exorcism of Emily Rose. Cerita yang berfokus pada Sarchie yang memiliki konflik psikologis akibat traumatic event di masa lalu bercampur dengan gangguan setan sudah cukup baik, tapi ada beberapa plot holes yang buat saya agak mengganggu. Overall.. untuk sebuah renungan tentang keyakinan terhadap Tuhan dan keberadaan setan, film ini menarik untuk didiskusikan, toh kisahnya kan diangkat dari kisah nyata. Tapi untuk sebuah hiburan, film ini jelas akan mudah dilupakan.

It scores 6 outta 10!