Friday, June 27, 2014

The Fault in Our Stars; a dying young romance

Film The Fault In Our Stars diangkat dari novel karya John Green yang sukses ditahun 2012, kisahnya befokus pada seorang remaja berusia 16 tahun bernama Hazel Grace Lancaster (Shailene Woodley) yang mengidap penyakit kanker tiroid sejak usia 13 tahun dan sejak paru-parunya bermasalah, hingga kini ia sangat bergantung pada tabung oksigen yang ia bawa kemana-mana. Dalam sebuah pertemuan support group di gereja, Hazel bertemu dengan pemuda berusia 18 tahun yang menarik perhatiannya bernama Augustus Waters (Ansel Elgort). Hazel dan Gus menjadi akrab dan saling tertarik karena kondisi mereka yang hampir sama, Gus kehilangan kaki kanannya yang diamputasi akibat kanker. Kisah kasih mereka cukup banyak diberi ujian, bukan dari pihak luar melainkan dari persepsi dan keyakinan diri masing-masing, hingga akhirnya salah satu dari mereka meninggal dunia. 
Sutradara Josh Boone menggarap drama young adult - romance ini dengan cukup manis. Ceritanya mengalir lancar dan enak dinikmati dari awal hingga akhir dan penampilan Woodley dan Algort yang pas chemistry-nya menambah indah tampilan film ini. Para pemain pendukung seperti Laura Dern dan Willem Dafoe juga tampil dengan apik, yang mencuri perhatian adalah Nat Wolff yang memerankan Isaac, sahabat dekat Augustus. So.. if you love a heartmelting drama, you're gonna love this movie. Perjalanan hidup dua remaja ini bisa menginsipirasi kita untuk lebih menghargai hidup dan menghadapi kematian yang sudah pasti akan datang. Okay..?!

It scores 8 outta 10!

Wednesday, June 25, 2014

Age of Extinction is a 2,5 hours of Transformer's commercial

Lima tahun setelah perang robot di Chicago (lihat lagi Transformers: Dark of The Moon) kini semua robot Transformers baik Autobot maupun Decepticon diburu pemerintah Amerika (CIA) untuk dimusnahkan. Alasannya adalah demi kedaulatan umat manusia di bumi maka kita tidak menginginkan kehadiran kaum Transformers dan alhasil semua robotpun bersembunyi dari kejaran CIA. Cade Yeager (Mark Wahlberg) tanpa sengaja membeli sebuah truk butut yang niat awalnya untuk dipreteli agar bisa dijual spare partsnya. Ketika ia mengetahui bahwa ternyata truk yang ia miliki adalah Optimus Prime (disuarakan Peter Cullen), ia tergugah untuk membantu Prime menyelamatkan Autobot yang tersisa dari kejaran CIA pimpinan Attinger (Kelsey Grammer). Sialnya, Cade beserta putrinya, Tessa (Nicola Peltz) juga diburu CIA karena dianggap sebagai kaki tangan Optimus Prime sehingga mereka pun harus lari dari kejaran anak buah Attinger.
Well.. Paling tidak begitulah kisah film Transformers: Age of Extinction yang saya coba ceritakan se-'logis' mungkin karena bisa dibilang cerita di film ini tumpang tindih dan penuh sesak dengan banyaknya karakter yang muncul.
Sutradara Michael Bay kembali untuk keempat kalinya membesut film ini, hampir pasti tidak ada hal yang baru kecuali tokoh utamanya (thank God!)  dan beberapa robot baru termasuk Dinobot yang tidak sempat dijelaskan latar belakangnya, mungkin karena Bay sibuk meledakkan semua yang tampil di layar. Cerita yang ditulis Ehren Kruger memang jadi faktor minus film ini karena banyaknya plot holes, namun visualisasi yang penuh spesial efek benar-benar sangat memanjakan mata Anda dan inilah kelebihan installment ke empat Transformers ini. FX yang dibuat ILM (Industrial Light & Magic) benar-benar detail dan realistis, digabung dengan selera visual Michael Bay yang cukup artistik serta senang  meledakkan hampir semua yang tampil dilayar menjadi kombinasi yang menarik di film ini. Toh kayaknya memang unsur cerita jadi prioritas nomor kesekian karena saya yakin misi utama Bay dan Spielberg dalam film ini adalah menjual mainan Transformers milik Hasbro sebanyak-banyaknya. Mengingat latar belakang Michael Bay yang lahir dari dunia advertising maka menurut saya ia telah sukses membuat sebuah iklan mainan Transformers berdurasi 160 menit, meskipun tidak sehebat yang dibuat Lego dalam The Lego Movie. Performance para pemainnya tidak ada yang istimewa kecuali Kelsey Grammer yang memang menonjol dibandingkan aktor lain. Wahlberg dan Stanley Tucci bermain sesuai porsinya dengan baik, sementara Peltz hanya sebagai pemanis layar (selain dari dilempar kesana-kemari oleh para Autobots). Secara kualitas, film pertama tetap masih yang terbaik, namun dari sisi teknis dan efek visual,  film ini memiliki keunggulan karena kemajuan teknologi (animasi) masa kini. Beberapa adegan film ini direkam Bay menggunakan kamera IMAX 3D yang paling baru sehingga menghasilkan tampilan yang lebih bagus. Jika Anda penggemar berat Transformers maka film ini patut disaksikan di layar lebar, selebar mungkin yang bisa Anda temukan (baca: IMAX), Anda akan puas dengan penampilan Autobots dan Decepticon selama dua setengah jam. Buat yang tidak suka Transformers, masih banyak film lain yang jauh lebih bagus untuk ditonton daripada Anda ngantuk ditengah ledakan dan pertempuran para robot.

It scores 6 outta 10!


Posted via Blogaway

Thursday, June 19, 2014

How to train your dragon 2; bigger & better

Saya pernah menobatkan film How To Train Your Dragon menjadi salah satu dari 10 film terbaik di tahun 2010 dan Dreamworks Animation butuh waktu 4 tahun dalam menggarap sequelnya yang rilis bulan Juni 2014 ini, hasilnya? lebih dari memuaskan!
Hiccup (disuarakan kembali oleh Jay Baruchel) kini berusia 20 tahun dan didaulat oleh sang ayah, Stoick The Vast (Gerard Butler) untuk menjadi pemimpin desa Berk menggantikan dirinya. Hiccup yang masih merasa belum menemukan jatidirinya menolak dengan alasan tidak mampu. Ia lebih suka menjelajah bersama naga Night Fury kesayangannya yang bernama Toothless. Hiccup dan Toothles banyak menemukan area baru dan mendokumentasikannya dalam bentuk peta hingga suatu saat ia menemukan fakta bahwa kaum Viking yang tinggal di desa Berk bukan satu-satunya tempat yang ditinggali manusia sekaligus para naga. Drago Bludvist (Djimon Hounsou) juga memiliki banyak naga hanya saja ia memiliki tujuan jahat untuk menguasai dunia. Sebelum ia bisa menguasai dunia, ia harus terlebih dahulu menguasai desa Berk yang penuh dengan naga untuk dijadikan pasukannya.
Sutradara Dean DeBlois kembali mengarahkan para voice talent dari film pertama sekaligus menulis kisahnya. Bisa dibilang film ini secara keseluruhan berhasil menyamai kualitas film pertamanya, bukan cuma menghibur penonton anak-anak dan dewasa tapi juga memberikan values yang menurut saya penting apabila penonton bisa memahami filosofinya. Meskipun lebih banyak porsi drama namun aksi dan komedinya bisa mencuri perhatian dan tidak membosankan. Teknik animasinya juga bagus, sinematografinya sangat sedap dipandang mata dan saya sarankan Anda untuk menyaksikan dalam format 3D jika memiliki budget lebih. Singkat kata: it's a must see movie!! 

It scores 8 outta 10!


Posted via Blogaway

Wednesday, June 11, 2014

22 Jump Street; the return of no brainer cops

Tahun 2012 lalu ada sebuah remake film komedi yang seru berjudul 21 Jump Street, versi layar lebar dari serial televisi yang populer tahun 90an dan tahun ini hadir sequelnya dengan titel 22 Jump Street. FYI, nama 21 Jump Street adalah alamat lokasi dimana markas kepolisian divisi remaja tersebut berada dan 21 Jump Street merupakan gedung yang dulunya adalah gereja Korea. Orang Korea membeli kembali gedung itu sehingga markas mereka terpaksa harus pindah ke seberangnya dengan alamat baru yang dulunya merupakan gereja Vietnam; 22 Jump Street. Lucunya, di samping gedung ini ada sebuah spanduk besar bertuliskan "Coming Soon! 23 Jump Street" LoL...
Team yang bertanggung jawab di film pertama kembali hadir disini, Jonah Hill sebagai Schmidt, Channing Tatum sebagai Jenko dan Ice Cube sebagai Captain Dickson dibawah komando duo sutradara Phil Lord & Chris Miller. Schmidt dan Jenko kali ini ditugaskan disebuah kampus untuk menyelidiki kematian seorang mahasiswi akibat pengaruh obat bius baru bernama WHY-PHY (dibaca wai-fai). Mereka berdua harus menemukan siapa pengedar dan bandarnya sebelum zat terlarang itu beredar bebas diluar kampus.
Dari sisi kualitas cerita, terasa penurunan yang cukup parah (film 21 Jump Street saya beri score 8) dan tidak secerdas film pertamanya. Bicara soal cerdas, film ini dengan sangat cerdas 'mengejek' segala sesuatu yang berkaitan dengan film ini sendiri serta genre-nya secara umum. Dibalik semua kekurangannya, justru kritik (untuk konsep film-film sequel) yang dituangkan dalam banyak dialog disepanjang film ini lah yang sangat menghibur buat saya, beberapa adegan slapsticknya malah terasa garing jika dibandingkan interaksi verbal yang sarkastik para karakter utamanya. Saran saya, Anda tidak perlu berfikir keras dalam menikmati film ini, just sit back and enjoy their insanity..! Jika Anda penggemar genre komedi, you're gonna love this movie! One more thing... closing creditnya benar-benar mengejek konsep kelanjutan film ini sendiri dengan cara yang menurut saya cukup brilian dan berhasil membuat saya terpingkal-pingkal... LoL!!

It scores 6 outta 10!


Posted via Blogaway

Tuesday, June 10, 2014

Oculus the deadly mirror

Oculus adalah film horor berbudget rendah dengan tema yang cukup sering diangkat, a haunted mirror. Yang namanya kaca cermin sudah hampir pasti ada di hampir semua film horor, karena properti yang satu ini jelas punya potensi dalam memberikan efek takut kepada penontonnya. Bagaimana tidak? Lha wong disetiap rumah pasti ada cermin bukan? Dalam film Oculus karya Mike Flanagan ini, sebuah cermin antik jadi bintang utamanya. Cermin ini dibeli Allan (Rory Cochrane) dan Marie (Latee Sakhoff) sebagai dekorasi di ruang kerja Allan. Mereka tidak tahu bahwa cermin ini bisa membunuh siapapun yang memilikinya. Kaylie (Karen Gillina) dan Tim Brenton (Thwaites) kembali ke rumah lama mereka yang telah ditinggalkan sejak kematian Allan dan Marie, orang tua mereka, 11 tahun yang lalu. Mereka ingin membuktikan bahwa cermin terkutuk itulah yang membunuh kedua orang tua mereka dan belasan orang lainnya dimasa lalu. Dengan menggunakan alat perekam video untuk dokumentasi serta sebuah alat yang bisa menghancurkan si cermin, mereka menantang cermin tersebut dan mempertaruhkan nyawa mereka sendiri demi mengungkapkan kebenaran.
Film ini memiliki dua timeline yang berjalan paralel dengan cara flashback, teror si cermin ketika  Kylie dan Tim masih anak-anak serta dimasa kini ketika mereka sudah dewasa dan menantang cermin tersebut, dua-duanya bertempat di rumah yang sama. Performance para pemainnya tidak mengecewakan dan Flanagan cukup apik menggarap film ini sehingga menjadi film horor sederhana yang efektif. Yang saya maksud efektif adalah tersedianya beberapa momen horor yang memang bertujuan menakuti dan atau mengageti penontonnya. Meskipun twist akhir kisahnya menarik, tapi kok saya pribadi kurang sreg ya, saya malah berfikir bahwa ending tersebut dikondisikan seperti itu agar bisa muncul sequelnya (baca: dipaksakan). Overall.. untuk sebuah film horor, Oculus masuk kategori lumayan, tidak ada inovasi yang baru tapi bisa jadi hiburan (sesaat) yang menarik, meskipun tidak akan menjadi film horor yang memorable.

It scores 5 outta 10!

Thursday, June 5, 2014

Maleficent; another Disney's style over substance

Masih ingat dengan dongeng Sleeping Beauty? Seorang princess bernama Aurora yang jarinya tertusuk jarum mesin pemintal dan tertidur hingga seorang pangeran datang untuk menciumnya.. a true love's kiss save the day. Jika Anda pernah menyaksikan film animasi versi Disney berjudul Sleeping Beauty (1959) mungkin perlu meluangkan waktu untuk menyaksikan film ini karena persepsi Anda mungkin akan berubah. Penyihir jahat dalam kisah Sleeping Beauty dikenal dengan nama Maleficent dan di film ini Anda akan mengetahui kisah Sleeping Beauty dari sudut pandang sang penyihir. Maleficent (Angelina Jolie) adalah seorang peri bersayap yang tinggal di wilayah The Moors. Saat kecil ia jatuh cinta dengan dengan seorang pemuda yang berambisi menjadi raja dan ketika dewasa, Stefan (Sharlto Copley) berhasil menduduki singgasana raja dengan cara mengorbankan Maleficent dengan cara memotong sayapnya. Merasa terpukul, sedih dan marah, Maleficent membuat The Moors lebih gelap dan berusaha membalas dendam dengan cara mengutuk putri Stefan yang bernama Aurora. Saat berusia 16 tahun nanti, Aurora (Ellen Fanning) akan tertusuk jarinya oleh jarum mesin pemintal dan tertidur selamanya kecuali bila seseorang bisa memberinya sebuah 'true love's kiss', yang menurut Stefan dan Maleficent merupakan suatu hal yang mustahil ada. Setelah 16 tahun menanti dan kutukan tersebut menjadi kenyataan, Stefan sudah siap membalas dendam dan akan membunuh Maleficent.
Robert Stormberg memang baru kali ini menyutradarai sebuah film namun ia sudah sangat piawai dalam urusan production design film-film kelas atas seperti Avatar, Alice in Wonderland dan Oz The Great and Powerful. Itu sebabnya film ini memiliki tampilan visual dan production design yang juara (baca: sedap dipandang mata). Yang menarik perhatian adalah dunia imajinasi The Moors yang indah mulai dari cerah berganti gelap dan kembali cerah tampil berwarna dan memikat dengan spesial efek kelas atas, Disney memang gak main-main untuk urusan yang satu ini. Sayangnya, hanya visualisasi inilah yang menjadi kelebihan film Maleficent dan tentu saja performa sang bintang utama Angelina Jolie. Karakter Maleficent terlihat apik berkat kepiawaian Jolie berakting, Maleficent bukan hanya tokoh jahat melainkan juga sekaligus seorang hero dan disinilah terlihat kualitas performa Angelina Jolie. Satu hal yang menarik adalah takutnya anak-anak dengan penampilan Jolie sehingga tokoh princess Aurora kecil dibawakan oleh Vivienne Jolie-Pitt, karena ialah satu-satunya anak yang tidak takut, lha wong ibunya sendiri kok. Selain tampilan visual dan penampilan Jolie, aspek lain film ini bisa dibilang melempem dan mengganggu buat saya. Akting para pemain pendukung yang biasa saja (karena tenggelam oleh penampilan Jolie), karakterisasi penokohan yang dangkal (selain Maleficent) serta cerita yang kurang tergali secara optimal padahal punya potensi bagus mengangkat hubungan emosinal antara anak-ibu dalam lingkungan yang unik, toh kisah film ini memberikan twist yang cukup apik. Itulah sebabnya saya sebutkan diawal bahwa twist kisah ini akan membuat persepsi Anda berubah bila Anda pernah menyaksikan versi animasi buatan Disney sebelumnya. Overall.. film ini merupakan hiburan mata yang menyegarkan, terutama untuk anak-anak, dan jangan berharap lebih dari itu.

It scores 6 outta 10!


Posted via Blogaway

Monday, June 2, 2014

Edge of Tomorrow; Groundhog Day in a sci-fi way!

Tahun 2013 dan 2014 berturut-turut menjadi tahun scifi buat aktor Tom Cruise. Setelah Oblivion kini ia kembali memerankan karakter jagoan berdasarkan kisah yang diangkat dari light novel "All You Need is Kill" karya Hiroshi Sakurazaka, judul filmnya Edge of Tomorrow. Kali ini jagoan yang diperankan Tom Cruise agak beda dalam arti lebih manusiawi dan membumi serta jauh dari gambaran superhero. Cruise memerankan Mayor William Cage, pekerjaannya lebih banyak dibelakang layar untuk marketing karena ia memang takut berperang. Ketika dunia diserang alien ganas yang disebut Mimic, Cage diminta Jendral Brigham (Brendan Gleeson) untuk terjun ke medan tempur disisi paling depan menggunakan armor yang dianggap ampuh dalam membunuh para alien. Ketakutan Cage yang memang tidak pernah bertempur menjadi kenyataan dan ia pun tewas. Anehnya, ketika ia tewas ia akan bangun di saat tepat ketika ia pertama kali datang ke barak militer sebelum ia berangkat ke medan perang. Kebingungan plus ketakutannya membuat ia tewas lagi dan lagi dan lagi, hingga akhirnya ia mendapat petunjuk dari Rita Vrataski (Emily Blunt) tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Kisah film ini mengingatkan saya kembali pada sebuah film berjudul Groundhog Day yang dibintangi Bill Murray tahun 1993 (one of my favourite movie of all time). Bedanya, Groundhog Day bertema komedi dengan karakter yang arogan, sedangkan Edge of Tomorrow bertema fiksi ilmiah dengan karakter yang penakut. Tom Cruise bermain apik sebagai Cage, saya acungkan jempol saat ia berhasil menunjukkan betapa pengecutnya William Cage ketika diperintahkan untuk maju ke medan perang dan bertransisi menjadi tentara yang tangguh, perannya kali ini jelas terlihat lebih manusiawi ketimbang karakter lain yang pernah ia perankan dan lebih terlihat layaknya superhero (silahkan tonton lagi Oblivion dan Knight & Day). Para pemain pendamping juga tampil bagus, mulai dari Emily Blunt dengan tampilan full metal bitch yang keren hingga Bill Paxton dengan aksen Texasnya yang lucu. Sutradara Doug Liman saya anggap berhasil mempresentasikan sebuah kisah scifi yang sangat menghibur dari semua aspek, kecuali endingnya yang buat saya terlalu biasa.

It scores 8 outta 10!