Wednesday, March 26, 2014

Divergent; Rebel in Dystopia

Cerita cinta YA (Young Adult) kayaknya memang lagi booming saat ini, sejak Twilight, Host, The Hunger Games dan Mortal Instruments Hollywood terlihat gesit untuk mengangkat satu lagi kisah novel YA karya Veronica Roth yang telah jadi Bestseller berjudul Divergent. Bersetting di kota Chicago dimasa depan yang kondisinya berbeda akibat perang, masyarakat yang selamat kini diatur menjadi 5 bagian (disebut Factions) terdiri dari Abnegation yang berisi warga tanpa pamrih, Amity yang berisi para petani yang selalu happy, Candor yang berisi orang-orang jujur, Erudite yang berisi para cendikiawan dan Dauntless yang menjadi polisi kota bertugas menjaga keamanan Chicago. Setiap warga yang berumur 16 tahun akan mengikuti aptitude test yang akan menentukan ke faction mana mereka akan mengabdi dan ketika sudah memilih maka mereka harus meninggalkan orang-orang yang mereka cintai karena faction lebih penting dari keluarga. Beatrice 'Tris' Prior (Sheilene Woodley) diperingatkan oleh Tori (Maggie Q) saat melakukan aptitude test bahwa ia masuk kategori Divergent, sesuatu hal yang langka tapi ada. Divergent tidak cocok masuk ke faction manapun sehingga dianggap sebagai ancaman dan harus dibinasakan. Dengan bantuan instruktur bernama Four (Theo James) Tris berlatih di faction Dauntless dan mengungkap sebuah plot jahat yang bisa menghancurkan faction Abnegation, jika Tris telat bertindak maka ayah dan ibunya akan tewas.
Sutradara Neil Burger bisa dibilang cukup berhasil memberikan gambaran dystopia yang agak beda dengan kisah sejenis, kota Chicago yang terlihat mati dan hancur tapi ternyata memiliki aktifitas yang tidak bisa saya bayangkan sebelumnya. Berhubung saya belum pernah baca novelnya, saya tidak bisa membandingkan lebih bagus yang mana, filmnya atau bukunya? Yang pasti siapapun yang tertarik dengan kisah Tris setelah menyaksikan film ini, saya sarankan untuk membaca bukunya karena pendalaman karakter selain Tris di film ini bisa dibilang sangat minim dan hal inilah yang menjadi kekurangan (utama) film Divergent. Performance Woodley dan James cukup baik dan chemistry mereka cukup terasa dilayar. Begitu juga dengan beberapa pemain senior yang tampil apik tapi karakternya tidak tergali dengan baik seperti Ashley Judd dan Kate Winslet, sangat disayangkan. Overall buat saya film ini kayaknya sengaja dibuat khusus untuk para penggemar novelnya, karena mereka sudah tahu kisah dan latar belakangnya, kedalaman cerita jadi tidak terlalu penting, mereka hanya menunggu tampilan Tris dan Four secara nyata. Semoga mereka bahagia dengan pilihan Woodley dan James. Dan bila Anda memang penggemar novelnya, bersiaplah menyaksikan Tris lagi tahun depan untuk film sequel yang sudah diumumkan tanggal rilisnya oleh studio Summit dan Lionsgate berjudul Insurgent.

It scores 6 outta 10!


Posted via Blogaway

Tuesday, March 25, 2014

House at the end of the street

Sarah Cassidy (Elizabeth Shue) dan putri remajanya, Elissa (Jennifer Lawrence) pindah ke sebuah kota kecil dan memulai kehidupan baru ditempat yang tenang. Sayangnya mereka belum tahu kalau tak jauh dari rumah mereka pernah terjadi sebuah tragedi yang membuat keluarga Jacobson terbunuh oleh putri mereka yang bernama Carrie Anne, hanya kakak laki-laki Carrie Anne, Ryan Jacobson yang selamat dan Carrie Anne sendiri hilang entah kemana. Ryan (Max Theriot) menjadi pemuda yang dikucilkan dilingkungan sekitar akibat kejadian tersebut, namun Elissa bersedia menjadi teman karena toh Elissa juga merasa kesepian sejak pindah ke rumah barunya. Elissa tidak (atau belum) menyadari bahwa Ryan menyimpan rahasia tentang Carrie Anne yang bisa membuatnya terbunuh seperti yang terjadi pada keluarga Jacobson.
Film House at the end of the street karya sutradara Mark Tonderai ini sebenarnya sudah dirilis sejak tahun 2012 di Amerika. Untuk sebuah thriller psikologis film ini bisa dibilang biasa-biasa saja, ada sedikit momen menegangkan tapi lebih banyak yang membosankan, hanya penampilan Jennifer Lawrence yang menjadi satu-satunya kelebihan film ini. Twist endingnya juga terasa kurang berkesan karena eksekusinya yang kurang maksimal. Saya gak tau apakah masih ada pecinta film yang masih mau menyaksikan film ini di bioskop? Padahal filmnya sendiri sudah beredar dalam bentuk DVD dan Bluray dipasaran, bahkan mungkin sudah ada yang nonton di televisi berbayar seperti HBO, Fox dll.

It scores 5 outta 10!


Posted via Blogaway

Monday, March 24, 2014

The Monuments Men; Raiders of the Lost Art

Saat perang dunia ke dua, tepatnya tahun 1943, tentara Nazi pimpinan Adolf Hitler mengumpulkan barang-barang seni bernilai tinggi dengan cara dicuri atau dirampas dari pemiliknya untuk dikumpulkan dalam sebuah museum milik Hitler yang nantinya akan diberi nama Fuhrer Museum. Banyaknya benda seni yang hancur atau rusak selama perang berlangsung membuat Frank Stokes (George Clooney) membujuk presiden Amerika untuk menyelamatkan barang berharga tersebut dengan cara membentuk sebuah team yang bertugas menyelamatkan, mencari dan mengembalikan benda-benda seni yang hilang selama perang dunia berlangsung. Team kecil ini berisi 7 orang yang ahli dibidang sejarah seni dan arsitek, mereka disebut The Monuments Men. Bukan tugas yang mudah bagi mereka karena tentara Nazi cukup pandai menyembunyikan hasil curian mereka dan dalam kondisi perang nyawa mereka jelas terancam.
Selain menjadi peran utama, George Clooney juga yang menjadi sutradara film ini. Jika dibandingkan dengan karya Clooney sebelumnya yang berjudul The Ides of March maka bisa dibilang The Monuments Men suatu kemunduran. Para aktor yang tampil difilm ini, Matt Damon, Bill Murray, John Goodman, Jean Dujardin, Bob Balaban dan hugh Bonneville serta Cate Blanchett tampil apik dan enak untuk disaksikan. Yang menjadi masalah adalah naskahnya yang kedodoran, banyak plot holes disepanjang film serta terlalu bersesaknya karakter yang ingin ditampilkan. Mungkin dengan maksud memberi porsi yang adil untuk semua tokohnya, film ini malah menjadi tidak fokus dan gak ada ruang untuk memberikan pendalaman karakter bagi semua tokohnya. Karena film ini didasarkan dari kisah nyata maka semua tokoh (utama) yang munculpun berdasarkan para pelaku aslinya, hanya nama-namanya saja yang dirubah. Clooney juga mengatakan bahwa keakuratan materi sejarahnya hanya 80%, sisanya disesuaikan dengan kebutuhan film itu sendiri. Dengan talenta bagus yang ada, sangat disayangkan ternyata hasilnya kurang memberikan bobot yang lebih bagus. Yang harusnya bisa menjadi inspirasi kita, kemungkinan besar hanya akan dianggap sebagai propaganda... *sigh*

It scores 5 outta 10!


Posted via Blogaway

Wednesday, March 19, 2014

The World's End; Episode III of Cornetto Trilogy

Gary King (Simon Pegg) nyaris punya pengalaman indah saat remaja di kota Newton Haven, dimana ia bersama teman-temannya menjalankan sebuah ritual bernama "The Golden Mile", yaitu acara minum segelas bir dari setiap tempat minum bar/pub yang ada di kota itu, totalnya ada 12 pub. Sayangnya kegiatan tersebut tidak bisa terlaksana hingga selesai, hingga ketika King dewasa dan menjadi manusia tak berguna, King nekat mengajak rekan-rekannya, Steven (Paddy Considine), Oliver (Martion Freeman), Peter (Eddie Marsan) dan Andy (Nick Frost) untuk kembali melakukan "The Golden Mile", meskipun agak susah mengumpulkan dan mengajak mereka karena masing-masing sudah punya kesibukan sendiri. Dengan berat hati teman-teman Gary King menjalani ritual ini (lagi) hingga ketika mereka sampai ke pub yang ke empat mereka mendapatkan fakta bahwa penduduk kota kecil Newton Haven telah diambil alih oleh alien. Agar tidak ketahuan oleh para alien maka dengan semangat 45 ditambah ketakutan luar biasa mereka tetap menjalankan niat mereka mengunjungi satu persatu pub yang sudah direncanakan dan finish di pub terakhir bernama The World's End.
Film ini adalah kisah terakhir dari sebuah trilogi yang disebut The Cornetto Trilogy. Jika Anda belum pernah mendengar The Cornetto Trilogy maka saya sarankan Anda untuk menyaksikan dua film pertama yang rilis lebih dulu berjudul Shaun of the Dead (2004) serta Hot Fuzz (2007). Jangan heran bila sudah menyaksikan ketiganya tapi tidak menemukan kesamaan cerita karena memang ketiganya berdiri sendiri-sendiri dan tidak berhubungan sama sekali. Benang merah antara ketiganya hanyalah ketiga filmnya disutradarai Edgar Wright, dibintangi Simon Pegg dan Nick Frost serta Martin Freeman, Bill Nighy dan Rafe Spall, ada penampakan es krim Cornetto (rasa red strawberry, original blue dan green mint untuk mewakili masing-masing film) dan tak ketinggalan adanya adegan 'merusak' taman dan pagar depan rumah yang pasti ada di ketiga film tersebut. Untuk sebuah Science fiction Comedy atau Social Science Fiction menurut versi Edgar Wright, film The World's End bisa dibilang cukup menarik. Paruh pertama yang berisi banyak drama dan dialog humor memang agak menjemukan, namun ketika mereka mulai 'berinteraksi' dengan para alien, intensitas aksinya meningkat hingga ke akhir film, meskipun endingnya buat saya sangat konyol tapi cukup menghibur. Favorit saya pribadi dari trilogi Cornetto adalah Shaun of the Dead karena cukup banyak kritik menarik yang membuat saya tertawa. The World's End juga tidak jelek dan menawarkan kritik yang sama jika Anda jeli dan tahu bahwa film ini 'mengejek' genre sci-fi yang mementingkan spesial efek ketimbang cerita yang bagus.

It scores 6 outta 10!


Posted via Blogaway

Her is a beautiful love story

We all know that everybody need somebody... or in this case, we can call it... something. Theodore Twombly (Joaquin Phoenix) adalah seorang pria yang kesepian, pekerjaannya menulis surat cinta yang indah untuk orang lain tapi hidupnya terasa membosankan apalagi sejak perceraiannya dengan Catherine (Rooney Mara). Saat ini semua orang membutuhkan asisten digital yang bisa membantu mengatur semua kegiatan (setting film ini ada di masa depan) dan Theodore tertarik untuk membeli sebuah Artificial Intelligence OS (Operating System). Yang menarik ternyata OS1 ini memiliki kemampuan lebih dari sekedar asisten digital, ia bernama Samantha (disuarakan oleh Scarlett Johansson) dan memiliki emosi layaknya manusia. Theodore yang kesepian merasa kehadiran Samantha telah mengisi kekosongan hidupnya, bahkan dalam urusan seks. Alhasil merekapun berkencan layaknya orang berpacaran di dunia nyata dan namanya orang pacaran pasti ada momen enak dan gak enaknya.
Film Her ditulis dan disutradari salah satu sineas favorit saya, Spike Jonze. Dalam film ini ia memberikan gambaran tentang dunia dimasa depan ketika manusia menjadi lebih individual dan sibuk dengan gadget mereka masing-masing. Meskipun dunia yang digambarkan Jonze bisa dibilang 'menyendiri' namun secara visual terlihat nyaman dan adem dengan warna sephia disepanjang filmnya, sinematografinya terlihat sederhana tapi apik. Kisah yang ditulis Jonze sebenarnya bukan hal baru dalam dunia 'love story', hanya saja Jonze lebih cerdas dalam mengangkat aspek psikologis karakter-karakternya. Phoenix tampil prima sebagai pria yang sedang mencari bagian dari dirinya yang hilang, ini adalah salah satu performance terbaiknya. Johansson juga memikat meskipun hanya suaranya yang bisa kita dengar, ia berinteraksi dengan baik dengan Phoenix. Begitu juga pemain lain yang tampil hanya sebentar tapi cukup berkesan. Overall buat saya film her adalah salah satu kisah love story yang indah.. A love letter from Jonze to all of us..

It scores 8 outta 10!


Posted via Blogaway

Friday, March 14, 2014

Need For Speed & vengeance

Jika Anda mengira kalau film Need For Speed yang kini sedang diputar dibioskop itu berdasarkan game rilisan EA (Electronic Arts) yang cukup populer bagi para penggila video game racing, Anda benar. Diproduksi oleh studio Dreamworks dibawah arahan sutradara Scott Waugh yang pernah jadi stuntman, film ini jelas menjual adegan aksi kejar-kejaran mobil. Aaron Paul memerankan Tobey Marshall, seorang pembalap jalanan yang cukup piawai dan populer tapi nasibnya kurang baik dan hanya berakhir di bengkel ayahnya. Saingan pembalap di masa lalu Tobey bernama Dino Brewster (Dominic Cooper) bernasib lebih baik, ia menjadi pembalap Indy Car, lebih terkenal, lebih banyak uang dan mengencani wanita yang ditaksirnya, Anita (Dakota Johnson). Dino mengajak Tobey untuk berbisnis membuat mobil dengan imbalan uang yang cukup lumayan untuk membayar hutang bengkelnya kepada Bank. Namun tanpa dinyana ternyata ia dijebak untuk sebuah perbuatan kriminal pembunuhan yang tidak dilakukannya. Setelah dua tahun mendekam dipenjara, ia dibantu Julia (Imogen Poots) membalas dendam dengan cara mengalahkan Dino dalam perlombaan ilegal bergengsi DeLeon milik Monarch (Michael Keaton).
Seperti yang sudah saya bilang tadi, film ini menjual aksi balapan mobil, dan itulah satu-satunya kelebihan film ini. Adegan kejar-kejaran mobilnya cukup menarik untuk disaksikan meskipun sebenarnya gak ada hal yang baru untuk ditampilkan seperti di seri Fast & Furious. Malah ada beberapa adegan yang mengandalkan animasi komputer dalam balapan mobilnya dengan alasan safety. Para penggila gamenya sudah pasti akan menikmati adegan kejar-kejaran ini karena memang ditampilkan dari sisi driver seolah-olah kita yang sedang balapan. Akting Aaron Paul sebagai Tobey bisa dibilang tanpa nyawa, ia justru menjadi lebih 'hidup' saat memegang kemudi, malah latar belakang karakternya cukup hanya dijelaskan narator selama beberapa menit diawal film. Imogen Poots juga hanya tampil sebagai pemanis beraksen Inggris tanpa ada pendalaman karakter yang berarti. Yang menarik justru para karakter pendamping seperti Benny "Maverick", Finn dan Joe "The Beast" yang memberi warna tersendiri disepanjang film, terutama dari sisi komedi. Jadi jika Anda ingin menikmati rasanya balapan, silahkan tonton, tapi kalau Anda ingin menikmati film balapan yang berkualitas, ada film lain yang jauh lebih baik.

It scores 5 outta 10!


Posted via Blogaway

Monday, March 10, 2014

Dallas Buyers Club; Best Actor performance

Tidak mudah bagi sutradara Jean-Marc Vallee untuk membuat film bertema penyakit AIDS di kalangan transgender dan homoseksual, tapi tidak bisa disangkal bahwa memang itulah yang (pernah) terjadi. Film Dallas Buyers Club bersetting di kota Texas Amerika tahun 1985, Ron Woodroof (Matthew McConaughey) seorang teknisi yang divonis dokter memiliki virus HIV dan diduga hanya bisa hidup selama 30 hari kedepan. Tak mau menyerah dengan vonis tersebut, ia mencari pengobatan lain di Mexico dan bertahan hingga berbulan-bulan. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk mendistribusikan obat untuk para penderita HIV/AIDS yang ada di Texas dengan membuat Dallas Buyers Club, dengan cara membayar $400 per bulan maka anggota akan mendapatkan obat 'alternatif' untuk penyakit HIV/AIDS. Dengan bantuan seorang transgender bernama Rayon (Jared Leto), Ron cukup berhasil memberi harapan hidup bagi para penderita AIDS dengan menjual obat yang dianggap ilegal pada saat itu.
Film ini bisa menjadi sebuah character study yang bagus bagi penontonnya, terima kasih kepada McConaughey yang memberikan performa prima sebagai Ron Woodroof. Ia menurunkan berat badannya hingga 21 kg demi mendapatkan gambaran fisik Ron yang tepat dan aktingnya juga bisa dibilang luar biasa, itu sebabnya ia memenangkan banyak penghargaan untuk aktor utama terbaik dalam film ini, termasuk piala Oscar dalam 87th Academy Awards. Pujian yang sama juga saya berikan untuk aktor Jared Leto yang dengan ciamik memerankan Rayon yang merupakan transgender (baca: banci). Karakter mereka berdua dilayar sangat klop dan sangat menarik untuk disaksikan. Malah menurut saya performance kedua aktor inilah yang membuat film ini menjadi hidup, karena dari sisi naskah dan teknis pembuatan bisa dibilang cukup banyak memiliki kekurangan. Overall... nikmati aktingnya, ambil hikmahnya dan JANGAN ditiru perilakunya....

It scores 8 outta 10!


Posted via Blogaway

300: Rise of an Empire

Sutradara Zack Snyder sukses memindahkan novel grafis karya Frank Miller ke layar lebar yang berjudul '300' tahun 2007 lalu. Tahun ini kita akan disuguhkan lagi pertarungan berdarah yang sangat menghibur mata dalam film 300: Rise of an Empire karya sutradara Noam Murro. Film ini juga diangkat dari novel grafis karya Frank Miller berjudul Xerxes, hanya saja novelnya belum diterbitkan. Uniknya kisah yang ada di film Rise of an Empire terjadi sebelum, selama dan sesudah kejadian peperangan pasukan Persia dan 300 tentara Sparta pimpinan raja Leonidas di Hot Gates (ayo lihat lagi film 300!). Anda gak akan bingung karena istri Leonidas, ratu Gorgo (Lena Headey) akan menarasikan kisahnya untuk Anda. Kita akan mengerti mengapa Xerxes (Rodrigo Santoro) menyerang Yunani dan Sparta, darimana ia berasal dan seberapa besar kekuatan pasukannya, dan kali ini sebagian besar peperangan akan terjadi di laut. Pasukan Yunani akan dipimpin Themistocles (Sullivan Stapleton) sedangkan pasukan Persia milik Xerxes akan dipimpin Artemisia (Eva Green) yang cantik tapi bengis, tipikal wanita senggol bacok! Penampilan Eva Green bisa dibilang ciamik, dialah yang paling menonjol dari semua karakter bahkan Xerxes sekalipun. Tampilan visualnya keren, seperti film pertama tapi lebih banyak darah muncrat, malah agak lebay dan gak proporsional hanya demi efek 3D. Sebagai penggemar slow motion scene saya sangat menikmati presentasi visual film ini yang memang banyak menampilkan slo-mo dengan gaya yang stylish dan sedap dipandang mata. Meskipun ceritanya kedodoran dan tidak sebagus kisah film pertama, Rise of an Empire masih worth watching berkat performance Eva Green dan tampilan visual yang memukau.  

It scores 7 outta 10!


Posted via Blogaway

Thursday, March 6, 2014

Mr. Peabody & Sherman; father & son in a dog's way

Mr. Peabody (Ty Burrell) adalah seekor anjing Beagle dengan intelejensi tertinggi di dunia (bahkan mengalahkan manusia), ia mengadopsi seorang anak yang ia temukan dalam kardus di pinggir jalan bernama Sherman (Max Charles). Hubungan 'unik' ini jadi masalah ketika Sherman bersekolah untuk pertama kalinya, ia di bully oleh teman sekelasnya, Penny (Ariel Winter) yang ternyata diam-diam ia taksir. Saat Peabody berinisiatif mendamaikan Sherman dan Penny serta menghindari Sherman diambil oleh dinas sosial perlindungan anak, dengan cara mengundang keluarga Penny ke rumah, masalah baru malah bermunculan. Sherman dan Penny menggunakan mesin waktu WABAC dengan tidak semestinya sehingga merusak kontinum waktu dan merusak sejarah, kini mereka harus memperbaikinya sebelum dunia hancur berantakan.
Sutradara Rob Minkoff yang menggarap film ini bisa dibilang cukup berpengalaman dalam menggarap film animasi, lihat saja film Lion King dan Stuart Little. Film ini bukan hanya menghibur anak-anak tapi juga penonton dewasa yang sudah familiar dengan banyak 'bintang tamu' legendaris seperti Leonardo DaVinci, George Washington dan lain-lain, tentu saja dalam bentuk parodi ya. Para orang tua mungkin bisa memberikan penjelasan tambahan untuk tokoh-tokoh terkenal yang muncul di film ini agar bisa dimengerti anak-anak, yang repot malah jika harus menjelaskan hubungan anjing dan anak yang gak umum dan unik antara Mr. Peabody dan Sherman. Teknik animasinya cukup lumayan, bisa dibilang standard untuk ukuran Dreamworks Animation. Presentasi 3D cukup optimal, jadi penonton yang membayar lebih mahal untuk menyaksikan versi 3 dimensi gak akan menyesal. Para pengisi suaranya tampil oke, terutama Stanley Tucci yang menyuarakan Leonardo DaVinci, sangat komikal dan lucu. Overall film ini tidak cuma menghibur tapi memberikan nilai tambah tentang tokoh sejarah dan family values.

It scores 7 outta 10!


Posted via Blogaway

Tuesday, March 4, 2014

Free Birds; unnecessary time travel

Film Free Birds yang diarahkan Jimmy Hayward (pernah membuat Horton Hears a Who!) memiliki plot yang gak biasa, mungkin karena di Indonesia kita gak mengenal tradisi Thanksgiving. Di Amerika, hari Thanksgiving umum diperingati warganya setiap bulan November, sebagai ucapan terima kasih pendatang asal Eropa kepada penduduk pribumi Amerika yang diperkirakan dimulai tahun 1621. Seekor kalkun bernama Reggie (Owen Wilson) yang 'diselamatkan' oleh Presiden Amerika mendapat kesempatan untuk menikmati fasilitas Gedung Putih. Kemudian ia diculik oleh Jake (Woody Harrelson) yang mengajaknya melakukan time travel ke tahun 1621 sebelum dilaksanakannya Thanksgiving yang pertama, tujuannya adalah mencegah kaum kalkun menjadi santapan utama di hari Thanksgiving. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan para pengisi suaranya, hanya saja cerita yang datar dan tidak berbobot membuat film ini kehilangan nilai lebihnya. Teknik animasinya buat saya sih terlihat seperti kelas dua, jika dibandingkan dengan Pixar ya. Kemungkinan hanya anak-anak dibawah umur 10 tahun saja yang bisa tertawa menyaksikan lelucon-lelucon fisik yang muncul difilm ini, penonton dewasa akan mengernyitkan dahi dan menguap lebar karena kebosanan.

It scores 4 outta 10!


Posted via Blogaway

Non-Stop action on the air

Sutradara Jaume Collet-Serra sebelumnya pernah bekerja sama dengan aktor Liam Neeson dalam film Unknown, kini mereka berkolaborasi kembali dalam thriller /action berjudul Non-Stop. Plotnya cukup simpel, Bill Marks (Liam Neeson) adalah seorang US Air Marshall yang bertugas menjaga sebuah penerbangan komersil ke London selama 6 jam. Setelah tinggal landas ia menerima sms dari salah satu penumpang yang belum diketahui identitasnya, meminta uang 150 juta dollar ditransfer ke sebuah nomor rekening atau setiap 20 menit akan ada penumpang yang mati terbunuh. Bagi Bill semua ancaman harus dianggap serius demi keamanan meskipun tidak ada orang didalam pesawat yang mempercayainya. Bahkan semua penumpang dan awak pesawat menganggap Bill-lah yang membajak pesawat tersebut.
Kolaborasi Neeson dan Collet-Serra di film ini jelas lebih baik dan lebih seru dari film Unknown. Sayangnya banyak plot holes yang menimbulkan banyak pertanyaan sehingga mengganggu saya dalam menikmati film ini. Untuk sebuah action thriller film Non-Stop sangat menghibur, paruh pertama mungkin agak membosankan namun paruh kedua akan membuat Anda pegangan kuat ditempat duduk Anda karena Collet-Serra mengeksekusi adegan-adegan aksinya dengan baik. Malah yang menarik adalah sinematografer Flavio Martinez Labiano berhasil menampilkan banyak angle yang seru dalam area yang sempit (kabin pesawat) sehingga bisa meningkatkan ketegangan cerita. Tumpuan utama film ini jelas bergantung pada Liam Neeson yang sudah cukup sering membintangi film action dan ia berhasil membawakan karakter Bill Marks dengan cukup baik meskipun ini bukan performance terbaiknya, malah mengingatkan saya pada karakter Bryan Mills dalam film Taken, untung saja ia gak mengucapkan kalimat " I will look for you, i will find you and i will kill you!", karena kalau iya maka film ini harusnya ganti judul jadi Taken Up In The Air... he..he..he...

It scores 6 outta 10!


Posted via Blogaway

Monday, March 3, 2014

3 Days to Kill an old spy

Kevin Costner memerankan seorang mata-mata sekaligus 'cleaner' untuk CIA bernama Ethan Renner. Di usianya yang tidak muda lagi, Ethan merasa sudah waktunya menghabiskan sisa hidupnya bersama putri tercinta, Zooey (Hailee Stainfeld). Ethan di vonis mengidap kanker otak dan kemungkinan hanya memiliki waktu hidup selama kurang lebih 3 bulan. Ternyata CIA masih menganggap Ethan memiliki skill dan bisa membantu satu tugas lagi. CIA melalui seorang wanita bernama Vivi (Amber Heard) yang doyan bergonta-ganti warna rambut menawarkan kerjasama, bila Ethan bersedia membantu maka Vivi akan memberikan sebuah obat eksperimen yang bisa memperpanjang usia Ethan, meskipun gak ada janji obat tersebut akan berhasil, namanya juga obat eksperimen. Panggilan jiwa Ethan yang membuat ia menerima tawaran Vivi, tugasnya adalah menemukan dan membunuh target yang disebut "The Wolf", problemnya adalah ia juga harus mengasuh Zooey demi quality time bersama keluarga yang ia inginkan sebelum menghembuskan nafas terakhir. Kolaborasi Luc Besson dan McG dalam serial televisi Nikita yang populer tahun 90an bisa dibilang ciamik, saya sendiri gak pernah melewatkan serial tersebut saat tayang di tivi swasta saat itu. Sayangnya hal yang sama tidak bisa saya katakan untuk film 3 Days To Kill ini yang diarahkan oleh McG. Meskipun ia sebelumnya pernah menggarap tema spy dalam film Charlie's Angels dan This Means War, namun film 3 days to Kill ini terasa kurang greget. Naskah cerita dari Luc Besson juga memiliki banyak plot holes yang mengganggu, salah satunya adalah kehadiran Jules sekeluarga yang mengungsi di apartemen Ethan. Performance para pemain juga tidak ada yang istimewa (jika gak mau dibilang datar). Overall.. kalau untuk hiburan ringan ya boleh lah apalagi settingnya di Paris jadi ada sedikit penyegaran dalam hal penyajian visual. Tapi bila Anda mencari action/thriller yang seru, kayaknya gak akan Anda dapatkan di film ini.

It scores 5 outta 10!


Posted via Blogaway