Thursday, February 27, 2014

Pompeii; truly Disaster movie

Yang saya maksud dengan 'Disaster' diatas sebenarnya bukan merujuk pada bencana meletusnya gunung Vesuvius dalam film ini, melainkan gambaran saya tentang film Pompeii secara keseluruhan. Bencana meletusnya gunung Vesuvius hanya menjadi latar belakang kisah cinta terlarang yang terjadi antara dua insan di kota Pompeii yang berada tepat di kaki gunung Visuvius. Milo (Kit Harington) adalah budak milik Graecus (Joe Pingue) dan menjadi Gladiator, bertahan hidup sendiri sejak kecil saat orang tua dan seluruh warga kampungnya dibantai tentara Roma pimpinan Corvus (Kiefer Sutherland). Di kota Pompeii Milo bertemu (kembali) dengan Cassia (Emily Browning) dan saling jatuh cinta lalu bla bla bla... gunung meletus bla bla bla... Milo menyelamatkan Cassia dan film selesai. Ingat! ini adalah filmnya Paul W.S. Anderson yang secara konsisten mengibur kita dengan seri Resident Evil setiap beberapa tahun sekali (siap-siap dengan Resident Evil lagi ya tahun 2015), so what do you expect? Film sekelas Oscar? Buat saya cerita di film ini malah sangat mengganggu, namun kekurangan itu terlupakan karena Anderson memberikan visualisasi yang bagus dalam menggambarkan erupsi gunung Vesuvius serta bencana lain yang mengikutinya seperti wedhus gembel dan tsunami. Walaupun keotentikannya meragukan namun gambaran erupsinya paling tidak sesuai dengan gambaran Pliny The Younger yang menjadi saksi hidup bencana tersebut dan kalimat dalam suratnya menjadi kata-kata pembuka film ini. Performance para pemainnya bisa dibilang biasa saja, mungkin Kiefer Sutherland terlihat berusaha keras menjadi penjahat yang memorable (dan gagal). Banyak hal di film ini yang mengingatkan saya pada film Titanic dan Gladiator, sangat disayangkan eksekusi yang dilakukan Anderson malah membuat film 'meledak' dengan sia-sia dan hanya ledakan gunung Visuvius yang bisa menghibur penontonnya serta melupakan sisanya.

It scores 5 outta 10!


Posted via Blogaway

Tuesday, February 25, 2014

JOBS; (not so) Great Biopic

Mungkin nama Steve Jobs sudah tidak asing bagi Anda, terutama penggemar produk produk gadget Apple. Nah.. Anda akan mengetahui sedikit kisah tentang Steve Jobs dan bagaimana ia membawa Apple menjadi salah satu produk paling populer di dunia. Film besutan sutradara Joshua Michael Stern ini dimulai saat Steve Jobs (Ashton Kutcher) berada di bangku kuliah, atau lebih tepatnya dropout dari bangku kuliah, bertemu dengan rekannya, Steve Wozniak (Josh Gad) seorang computer engineer yang menginspirasinya untuk mengembangkan dan menjual komputer dengan nama Apple. Anda akan menyaksikan bagaimana ia membangun Apple bersama rekan-rekannya sampai mencapai kesuksesan hingga didepak dari perusahaan yang ia dirikan. Konflik psikologis juga dicoba untuk diangkat meskipun kurang mendalam, bagaimana ia menjauhkan diri dari teman-temannya dan saat ia dijauhkan dari semua yang sudah ia buat. Jujur saja, untuk sebuah biopic film Jobs memiliki banyak kekurangan terutama dalam hal pendalaman karakter, bahkan karakter Steve Jobs itu sendiri padahal dialah tokoh sentral film ini. Kutcher cukup baik dalam membawakan karakternya, meskipun ada beberapa scene yang justru malah mengingatkan saya pada serial TV That 70's Show. Bagi penggemar berat Steve Jobs atau produknya yang berlabel Apple mungkin akan merasa film ini cukup insipratif, karena memang banyak dialog yang menegaskan ide-ide Steve Jobs dalam berinovasi, bukan ide produknya tapi caranya, think different! Tapi bagi saya pribadi, film ini lebih banyak memunculkan pertanyaan daripada menginspirasi, i guess i'll just have to read his book. Mudah-mudahan film tentang Steve Jobs yang berikutnya bisa lebih baik dari film ini.

It scores 6 outta 10!

Saturday, February 22, 2014

12 Years a Slave; a very painful melodrama


Film ini diangkat dari kisah nyata, berdasarkan memoir yang dibuat oleh Solomon Northup tahun 1850an. Menceritakan pengalaman buruk Solomon tentang perbudakan di Amerika tahun 1841 hingga 1853. Solomon Northup (diperankan dengan sangat sangat bagus oleh Chiwetel Ejiofor) adalah pria kulit hitam dengan status orang bebas yang tinggal di New York dan pandai memainkan alat musik biola. Ketika ia mendapat tawaran untuk bermain musik dalam sebuah sirkus di Washington dengan bayaran mahal, ia mengiyakannya. Bukan uang yang ia dapatkan melainkan sebuah kondisi dimana ia dianggap sebagai budak yang melarikan diri. Ia telah ditipu dan dijual, pada saat itu memang perbudakan masih berlangsung di Amerika, bahkan menjadi bisnis yang bisa menghasilkan uang. Selama menjadi budak ia beberapa kali berganti majikan. Master Ford (Benedict Cumberbatch) adalah orang yang awalnya ia harapkan demi kebebasannya namun gagal karena ia dijual ke Master Epps (Michael Fassbender). Master Epps adalah pemilik kebun kapas dengan tempramen yang keras. Banyak cobaan fisik dan mental yang ia hadapi namun ia harus bertahan demi bertemu kembali dengan keluarganya di New York.

Film yang disutradarai Steve McQueen ini bisa jadi kandidat kuat pemenang piala Oscar karena memiliki banyak kelebihan baik dari sisi teknis maupun non teknis. Naskah yang ditulis John Ridley sebenarnya memiliki beberapa kekurangan, terutama dalam pendalaman karakterisasi, namun performance semua aktor yang terlibat membuat film ini membuat efek yang luar biasa bagi penontonnya. Penampilan Ejiofor sebagai Solomon patut diacungi jempol (4 jempol kalo perlu!), karena ia mampu memberikan emosi yang kuat tanpa harus mengucapkan dialog apapun, ekspresi wajah dan sorot matanya menceritakan perasaannya yang akan membuat penonton miris. Bicara soal miris, banyak adegan brutal yang ditampilkan McQueen yang (katanya) cukup akurat, karena memang pada saat itu yang namanya perbudakan dan penyiksaan tidak dapat dipisahkan, jadi siapkan diri Anda untuk menyaksikan adegan-adegan yang merobek-robek HAM dan menyakitkan. Overall.. 12 Years a Slave adalah film melodrama yang sangat perih dan menyakitkan untuk disaksikan, namun dilain hal menunjukkan keunggulan moviemaking yang luar biasa dari semua orang yang terlibat dalam pembuatan film ini. It's a must see...!

It scores 8 outta 10!

Friday, February 21, 2014

Winter's Tale; a miracle of life & love

Akiva Goldsman merupakan salah satu penulis naskah pemenang piala Oscar yang saya kagumi, salah satu favorit saya adalah A Beautiful Mind. Kini ia turun tangan dalam film Winter's Tale bukan cuma sebagai penulis naskah tetapi juga langsung duduk di kursi sutradara. Film ini adalah adaptasi dari novel berjudul sama karya Mark Helprin yang rilis tahun 1983. Seorang pemuda bernama Peter Lake (Collin Farrell) yang pekerjaannya mencuri, bermasalah dengan bos-nya bernama Pearly Soames (Russell Crowe), sehingga ia harus melarikan diri agar tidak dibunuh oleh mantan bosnya itu. Sebelum kabur keluar kota New York ia mencoba mencuri untuk terakhir kalinya (atas bujukan seekor kuda), namun alih-alih mendapati hasil curian, ia malah jatuh cinta dengan penghuni rumah, Beverly Penn (Jessica Brown Findlay) yang ternyata sekarat karena penyakit demam yang dideritanya. Pearly yang mengetahui tentang keberadaan Beverly, mencoba menculiknya demi mendapatkan Peter dan bukan usaha mudah bagi Peter karena ia bukan cuma menyelamatkan Beverly dari Pearly tapi ia juga ingin menyelamatkan Beverly dari kematian. Kisah ini bersetting di kota New York tahun 1916 dan 2014, awalnya mungkin agak membingungkan namun Anda akan mengerti di akhir film. Production designnya juara dalam menampilkan kota New York versi Old and New, begitu juga dengan sinematografinya yang enak dipandang mata sepanjang durasi hampir dua jam. Kekurangan film ini justru ada pada penceritaannya yang memiliki banyak plot holes. Banyak bagian yang tidak dijelaskan di film sehingga menimbulkan banyak pertanyaan bagi penontonnya. Apalagi kisahnya memang bisa dibilang perpaduan antara romantisme dan fantasi, yang benar-benar penasaran mungkin bisa membaca novelnya. Semua pemainnya tampil cukup baik, Ferrell bisa memberikan emosi yang dalam untuk karakternya sedangkan Crowe tampil unik dengan ekspresi wajah yang tidak biasa sebagai iblis. Nah.. Yang paling menarik adalah penampilan raja setan Lucifer oleh aktor Will Smith, mungkin Anda bisa suka atau tidak suka dengan penampilannya disini, tapi saya yakin Anda tidak bisa melupakannya.

It scores 6 outta 10!


Posted via Blogaway

Tuesday, February 18, 2014

Everything is awesome in The Lego Movie!

First of all... I LOVE LEGO! Ketika saya kecil saya hanya bisa memimpikan memilikinya (yang asli) karena harganya yang cukup mahal dan orang tua saya tidak mampu membelinya pada saat itu. Kini ketika saya sudah dewasa dan mampu membelinya, saya pastikan anak-anak saya memilikinya, walaupun sekarang sudah berantakan entah kemana. Sudah banyak film yang diangkat berdasarkan mainan, yang paling populer adalah Transformers dan yang paling buruk filmnya adalah Battleship. Lalu apa kelebihan dari film yang isinya potongan balok-balok yang berwarna-warni ini? I'm telling you! Kelebihannya ada disemua aspek. Plotnya simpel tapi orisinil, seorang pekerja bangunan yang 'biasa-biasa' saja bernama Emmet (Chris Pratt) berubah hidupnya secara tiba-tiba menjadi 'spesial' karena ia menemukan "The Piece of Resistance", sebuah benda yang bisa menyelamatkan dunia LEGO dari kehancuran yang direncanakan oleh Lord Business (Will Ferrell) dengan menggunakan sebuah benda bernama Kragle. Dengan bantuan Wyldstyle (Elizabeth Banks) dan Vitruvius (Morgan Freeman), Emmet belajar untuk menggunakan kekuatan imajinasinya, yang kebetulan sering dicela oleh Batman (Will Arnett), untuk menyelamatkan dunia. Sutradara Phil Lord dan Chris Miller berhasil membuat sebuah presentasi film animasi yang memukau, bukan hanya tampilan visual yang indah dalam menggambarkan dunia LEGO yang bisa dibilang memiliki unlimited design (tergantung imajinasi pembuatnya), namun juga memberikan kisah yang berbobot dengan gaya penceritaan yang bisa menghibur anak-anak dan penonton dewasa. Banyak lelucon visual yang bisa membuat anak-anak tertawa dan banyak pula lelucon verbal yang lucu bagi penonton dewasa. Kisahnya pun sangat inspiring, terutama saat adegan Will Ferrel bersama anaknya yang berbeda pendapat tentang 'kreativitas'. Tampilan efek visualnya bisa dibilang tanpa cela dan semua terlihat indah. Jajaran pengisi suaranya pun mampu memberikan nyawa yang pas pada semua karakternya. Overall.. If you love LEGO, you must see this movie! If you love adventure and inspiring story, you must see this movie! If you love 3D presentation on a big screen, you must see this movie in 3D! Because everything in this movie is awesome!

It scores 9 outta 10!


Posted via Blogaway

The (DULL) Legend of Hercules

Raja Amphitryon (Scott Adkins) yang memimpin dengan semena-mena membuat istrinya, Alcmene (Roxanne McKee) membuat perjanjian dengan dewi Hera agar kekuasaan suaminya segera berakhir. Hera menjanjikan seorang pria, melalui kandungan dalam perutnya Alcmene, anak dewa Zeus yang akan memberikan kedamaian di Yunani, seorang pria bernama Hercules. Saat dewasa Hercules (Kellan Lutz) menjalin cinta dengan Hebe (Gaia Weiss) yang juga ditaksir kakak Hercules yang bernama Iphicles (Liam Garrigan). Berhubung Hercules telah membuat malu sang raja karena membawa kabur Hebe, ia dihukum dengan cara disuruh berperang ke Mesir, sedangkan Hebe akan dinikahkan dengan Iphicles. Hercules bersumpah akan kembali demi cinta sejatinya untuk dinikahkan olehnya, bukan kakaknya. The Legend of Hercules karya sutradara Renny Harlin ini awalnya diberi judul Hercules 3D, entah kenapa akhirnya diganti. Buat saya film ini tidak lebih dari sekedar B-Movie yang mencaplok banyak adegan dari film-film bermutu lain yang sudah pernah ada, sebut saja film Braveheart, 300 dan Gladiator. Dari sisi teknis tidak ada inovasi baru, ceritanya apalagi. Selain dangkal dalam karakterisasi, kisah keseluruhannya pun terasa serba tanggung dan asal jadi karena film ini lebih mementingkan tampilan visual ketimbang kualitas cerita. Bahkan menurut saya sih visual efeknya terlihat murahan untuk film berbudget US$70 juta, sayang sekali. Mungkin hanya para penggemar Kellan Lutz saja yang bisa menikmati film ini, apalagi ia topless disepanjang film memperlihatkan otot-ototnya meskipun aktingnya biasa-biasa saja.

It scores 4 outta 10!

Friday, February 14, 2014

Killers; a local bloody gore thriller

Setelah dianggap sukses membuat film Rumah Dara di tahun 2010, Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel atau lebih dikenal dengan nama The Mo Brothers, merilis film dengan genre yang sama berjudul Killers. Film ini memiliki dua karakter utama dan kisah yang berbeda tapi saling terhubung di akhir film. Nomura (Kazuki Kitamura) adalah seorang eksekutif muda yang tinggal di Tokyo, Jepang. Bayu (Oka Antara) adalah seorang jurnalis di Jakarta yang hidupnya berantakan gara-gara seorang koruptor bernama Dharma (Ray Sahetapy) dan membuat rumah tangganya bersama Dina (LUna Maya) berantakan. Dibalik dandanannya yang perlente ternyata Nomura adalah seorang pembunuh dan ia senang mendokumentasikannya dalam bentuk video serta diunggah di dunia maya. Bayu termasuk salah satu 'pemirsa' tetap video Nomura dan ketika Bayu dihadapkan pada situasi yang membuat dirinya terpaksa membunuh orang, ia menghubungi Nomura untuk mencari jawaban. Suka atau tidak, rupanya Bayu dan Nomura memiliki hasrat yang sama untuk membunuh dan mereka saling terhubung meskipun berbeda tempat. Sama halnya dengan Rumah Dara, film inipun penuh tumpahan darah dan mungkin lebih sadis. Bedanya film Killers lebih memiliki karakter yang kuat meskipun hanya ada pada salah satunya. Buat saya kisah Nomura lebih menarik, minimalis tapi sangat jelas karakterisasinya. Sedangkan kisah Bayu terbilang kompleks sehingga penceritaannya menjadi kacau karena dieksekusi dengan kurang pas sehingga terasa kedodoran dan banyak plot holes. Padahal kedua aktor utamanya bermain prima terutama Kazuki Kitamura. Film ini mungkin bisa dijadikan character study meskipun butuh pendalaman lebih tentang latar belakang tokoh Bayu. Overall sih film ini bagus dari sisi teknis meskipun ceritanya dibuat lamban, hanya memang butuh konsentrasi khusus jika Anda ingin memahami alasan kenapa mereka melakukan pembunuhan. Semoga Anda tidak terinspirasi melakukan hal yang sama ya.

It scores 5 outta 10!


Posted via Blogaway

I, Frankenstein; new monster franchise

Adam (Aaron Eckhart) adalah makhluk ciptaan Dr. Victor Frankenstein diabad ke 18, ia tetap hidup hingga kini selama 200 tahun. Selama ini rupanya ada perang antara kaum Gorgoyle pimpinan Lenore (Miranda Otto) yang membela umat manusia dengan Demons yang ingin memusnahkan manusia dibawah pimpinan pangeran setan bernama Naberius (Bill Nighy). Adam awalnya akan diculik oleh kamum demons namun beberapa Gorgoyle berhasil menyelamatkannya. Lenore mencoba membujuk Adam untuk berpihak padanya namun Adam tidak perduli pada Gorgoyle, Demons apalagi manusia yang selama ini menganggapnya sebagai monster, namun ketika ia mengetahui isi catatan yang dibuat Dr. Frankenstein dengan bantuan seorang dokter ahli elektrofisiologi bernama Terra (Yvonne Strahovski), ia sadar bahwa ia harus mencegah Naberius menguasai dunia.
Dibawah arahan sutradara Stuart Beattie, naskah yang ditulis Kevin Grevioux menjadi terasa 'Underworld' banget, kebetulan Grevioux juga yang bertanggung jawab atas franchise Underworld.. no wonder. Performance para pemainnya biasa saja dan rasanya hal itu gak penting juga karena kayaknya film ini lebih ke arah style over substance. Visualisasinya memang memikat dan spesial efeknya digarap dengan serius, bagi penggemar seri Underworld pasti suka dengan film ini karena konsepnya sangat mirip. Hanya saja film ini lebih banyak pamer CGI dan adegan aksi yang melibatkan perkelahian dengan koreografi yang bagus. Singkat kata film I, Frankenstein adalah film fantasy action yang seru tapi tidak berkualitas dan terlihat jelas para pembuatnya mengharapkan adanya franchise.


It scores 5 outta 10!


Posted via Blogaway

Thursday, February 13, 2014

Lone Survivor; an intens war drama

Film Lone Survivor yang disutradarai Peter Berg ini diangkat dari kisah nyata yang dialami mantan anggota NAVY SEAL Marcus Luttrell, ia menulisnya dalam buku "Lone Survivor: The Eyewitness Account of Operation Redwing and the Lost Heroes of SEAL Team 10". Empat orang anggota NAVY SEAL ditugaskan untuk memantau seorang pemimpin Taliban bernama Ahmad Shah didaerah pegunungan Asadabad, Afganistan. Marcus (Mark Wahlberg), Murphy (Taylor Kitsch), Danny (Emile Hirsch) dan Axelson (Ben Foster) diberi tugas untuk mengamati gerak-gerik Shah di markasnya. Sayangnya keberadaan mereka secara tak sengaja terbongkar dan mereka harus menyelamatkan diri secepatnya. Meminta bantuan via radio bukanlah hal yang mudah karena kondisi pegunungan yang menghambat sinyal. Alhasil mereka hanya bisa mengandalkan satu sama lain saat pertempuran senjata antara mereka berempat dan ratusan anggota Taliban. Ini adalah salah satu film drama perang paling intens yang pernah saya lihat, bukan cuma dari adegan pertempurannya saja tapi juga penceritaan secara keseluruhan. Peter Berg membuat semua adegan seakurat mungkin hingga ke bagian-bagian lukanya dan berhasil membuat (sebagian) penonton merenung tentang arti pengorbanan. Para pria yang tewas dalam misi ini bukanlah laki-laki militer sok macho yang petantang petenteng dengan atributnya, disini mereka hanyalah pria biasa yang kangen dengan istri, pacar dan ribut soal kuda dan warna cat apa yang cocok untuk rumahnya saat ia pulang nanti. Meskipun nilai patriotismenya sangat kental (baca: Amerika banget), Berg juga cukup adil mengangkat nilai kepahlawanan dari sisi penduduk salah satu desa di Afganistan yang membela mati-matian Marcus karena memang aturan itu berlaku di desanya. Semua aktor bermain sangat solid, baik yang peran utama maupun peran pendamping dan figuran. Meskipun secara visual cukup sedih dan menyakitkan namun bila dilihat secara keseluruhan film ini bisa memberikan pelajaran berharga tentang nilai-nilai kemanusiaan. Bila Anda pacinta film perang maka film ini jadi salah satu yang wajib disaksikan dan diambil hikmahnya.

It scores 8 outta 10!


Posted via Blogaway

Wednesday, February 12, 2014

Haunter; another forgettable horror / thriller

Lisa (Abigail Breslin) gadis berumur 16 tahun yang terjebak dihari yang sama setiap hari. Tepatnya satu hari sebelum hari ulang tahunnya yang ke 16 di tahun 1985. Hingga akhirnya ia tidak tahan dan mencoba keluar dari rutinitas yang berulang-ulang tersebut. Hal paling mengejutkan adalah mengetahui bahwa ia dan keluarganya telah tewas oleh seorang pembunuh berantai yang arwahnya telah membunuh banyak gadis dan tetap berada di rumah itu sejak 20 tahun lalu. Lisa berhasil melakukan komunikasi dengan Olivia (Elanor Zichy) yang hidup di tahun 2012 dan mereka harus bekerjasama agar pembuhan serupa tidak menimpa keluarga Olivia. Film horor / thriller supranatural ini disutradarai oleh Vincenzo Natali yang pernah membuat film Splice, salah satu film scifi yang cukup memorable buat saya pribadi. Sebagai film thriller bisa dibilang film Haunter cukup lambat diawal, namun tensi ketegangan mulai meningkat dipertengahan hingga akhir. Abigail Breslin tampil dengan baik meskipun ada beberapa bagian yang kurang meyakinkan. Overall ya termasuk biasa saja dan mudah dilupakan.

It scores 5 outta 10!


Posted via Blogaway

The Wolf of Wall Street; brilliant & disturbing

'Gila!' mungkin adalah kata yang tepat untuk menggambarkan film ini. Bagaimana tidak? Selama tiga jam kita akan disuguhi bagaimana seorang broker bernama Jordan Belfort yang diperankan Leonardo DiCaprio, berjuang dengan segala cara demi menggapai keinginannya (baca: menjadi kaya raya). Film besutan sutradara Martin Scorsese ini merupakan kolaborasi yang kelima antara dia dengan DiCaprio dan sekali lagi mereka berhasil membuat sebuah karya yang tidak mudah dilupakan. Beberapa elemen 'permainan' di bursa Wall street mungkin agak asing buat kita, namun cara Belfort menghadapi masalah dan kengototannya untuk menjadi orang kaya raya bisa jadi pelajaran berharga bagi penontonnya. Saya gak akan bahas plotnya karena Anda bisa membacanya di media lain, saya hanya akan menyarankan Anda untuk menyaksikannya sendiri dan mengambil insight berdasarkan pengamatan Anda pada kehidupan Belfort yang brilian sekaligus menjijikkan. Performance para pemainnya ciamik, mulai dari Leo, Jonah Hill yang memerankan sohibnya Donnie Azoff hingga semua pemain pendukung yang hadir, Scorsese berhasil membuat mereka tampil dengan sangat baik. Sekedar catatan tambahan, semua nama karakter yang muncul di film ini (dan juga bukunya) telah dirubah oleh Belfort, hanya namanya Belfort saja yang tetap dipertahankan. Yang juga menarik adalah aktor Jonah Hill mau dibayar hanya US$ 60.000 untuk memerankan Donnie Azoff sedangkan DiCaprio dibayar US$ 10juta, padahal peran pendamping yang dibawakan Hill punya peran yang signifikan di film ini. Katanya Jonah Hill ikhlas hanya demi tampil dalam filmnya Martin Scorsese. Naskah yang ditulis Terence Winter juga bisa dibilang ajaib, segala macam sumpah serapah muncul dari awal hingga akhir. Jadi pastikan anak Anda tidak menyaksikan film ini bila usianya dibawah 21 tahun, mengingat banyaknya adegan yang menampilkan pornografi dan penggunaan obat terlarang. Semoga Anda bisa mengambil hikmah positif dari kisah di film ini tanpa perlu meniru hal-hal yang negatifnya.

It scores 8 outta 10!


Posted via Blogaway

Robocop; not better than the original

"Dead or alive, you're coming with me!" I miss that line on a big screen and now it's on a big screen. Film Robocop yang dibuat Paul Verhoeven tahun 1987 menjadi salah satu film favorit saya sepanjang masa. Ketika saya mendengar kisah polisi robot itu akan di-remake dai tahun 2006, saya merasa exited dan penasaran akan hasil akhirnya karena film ini memiliki perjalanan yang cukup panjang hingga akhirnya rilis  tahun 2014. Bisakah lebih bagus dari versi Verhoeven? Alex Murphy (Joel Kinnaman) nyaris tewas karena menyelidiki peredaran senjata ilegal di kota Detroit Amerika. Mobil Murphy yang meledak membuat ia kehilangan hampir 80% tubuhnya. Dr. Dennett Norton (Gary Oldman) yang bekerjasama dengan Raymond Sellars (Michael Keaton), pengusaha Omnicorp yang membuat robot untuk keperluan militer. Mereka menawarkan kepada istri Murphy, Clara (Abbie Cornish) untuk 'menyelamatkan' Murphy, padahal Sellers punya agenda lain demi memperkaya dirinya dan Omnicorps.
Robocop versi terbaru ini diarahkan sutradara asal Brazil, Jose Padilha. Jika dibandingkan dengan versi tahun 1987 maka buat saya versi Paul Verhoeven jauh lebih bagus. Versi barunya memang menghibur, ada banyak gadget canggih, lebih banyak dar der dor dan kostum yang lebih kinclong, warna hitam pula. Namun kualitas cerita bisa dibilang kurang mantap. Versi 1987 sarat dengan kritik sosial yang cukup 'nendang' ditambah dengan drama dan action dengan porsi yang pas, versi Verhoeven menjadi film sci-fi yang bagus dan enak dinikmati hingga saat ini. Versi baru ini bisa dibilang lebih emosional karena banyak airmata yang menetes disepanjang film, namun hal itu tidak bisa mendongkrak kualitas film secara keseluruhan. Kelebihan film ini hanya ada pada performance Gary Oldman dan Michael Keaton yang tampil apik. Samuel L. Jackson juga akan mencuri perhatian Anda meskipun buat saya agak mengganggu (terutama rambutnya). Mungkin film ini bisa menjadi lebih baik seandainya Darren Aronofsky tidak hengkang dari project remake Robocop ini di tahun 2010... *sigh*



It scores 6 outta 10!

Tuesday, February 11, 2014

Comic 8; tidak selucu diatas panggung

Sangat sedikit film Indonesia yang membuat saya tertarik untuk menyaksikannya di bioskop, salah satunya adalah Comic 8 yang sukses membuat saya penasaran karena kebetulan saya cukup sering nonton acara-acara standup comedy lokal yang tayang di Kompas TV. Dengan harapan filmnya akan selucu lawakan mereka di televisi maka berangkatlah saya menyaksikan film ini. Ceritanya simpel tapi dibuat njelimet oleh sang sutradara Anggy Umbara. Babe, Bintang dan Fico ingin memperbaiki hidup mereka menjadi lebih baik (baca: ingin jadi orang kaya) dan mereka memutuskan untuk merampok Bank INI, bukan Bank itu. Sialnya pada saat mereka melakukan perampokan ada perampok yang lebih profesional dengan senjata berat yang juga merampok Bank INI di saat yang bersamaan, mereka adalah Ernest, Kemal dan Arie. Lebih kacaunya lagi, ternyata masih ada dua orang perampok juga yang ingin merampok bank yang sama, bedanya adalah Mongol dan Mudy lebih absurd dari enam perampok lainnya. Ketika bank sudah dikepung kesatuan Polisi yang harus dilakukan agar mereka bisa lolos adalah bekerjasama, sesuai usulan Indro Warkop yang menjadi tawanan di dalam Bank. Lalu bagaimana caranya agar 8 makhluk 'aneh' ini bisa bekerjasama? Saya sih cuma bisa tepok jidat. Buat saya plot cerita dan karakterisasi jadi masalah utama film ini. Berhubung tokohnya memang ada delapan yang ingin diangkat, masalah karakterisasi bisa saya maklumi, toh mereka juga sebenarnya memerankan diri mereka sendiri. Twist cerita di akhir film jelas dipaksakan, mungkin demi menutupi kekurangan kualitas cerita dari awal hingga akhir. Meskipun ada beberapa materi yang lucu namun overall film ini jauh dari apa yang saya harapkan dan menumbangkan rasa penasaran saya, digantikan dengan perasaan sedih. Malah end credit tittle-nya lebih menarik karena menampilkan para comic yang sedang beraksi diatas panggung dan lawakan mereka disitu lebih lucu dari kisah filmnya.



It scores 4 outta 10!

The Secret Life of Walter Mitty

Film The Secret Life of Walter Mitty disutradari oleh Ben Stiller yang selama ini memang kita kenal sebagai aktor komedi. Selain duduk di kursi sutradara, di film ini ia juga menjadi aktor  utama yang memerankan Walter Mitty, seorang karyawan di majalah LIFE yang sering sekali melamun dimanapun ia berada. Ia paling sering menghayalkan Cheryl (Kristen Wiig), gadis manis yang ia taksir di kantor, hanya saja ia tak berani berkomunikasi langsung dan hanya bisa menghayalkannya. Ketika bos yang baru bernama Ted Hendricks (Adam Scott) dengan jenggot anehnya mengumumkan bahwa majalah LIFE akan menerbitkan edisi terakhir (diganti dengan versi online), Walter harus menyerahkan sebuah negatif film yang dibuat oleh fotografer favoritnya majalah LIFE, Sean O'Connel (Sean Penn). Sean mengirimkan negatif filmnya kepada Walter hanya sayangnya Walter tidak merasa menerimanya. Akhirnya ia memburu Sean ke belahan dunia lain untuk mendapatkan negatif film itu demi edisi terakhir majalah LIFE.
Some people say that this movie is too cheesy, it is! But i loved it! Buat saya film ini adalah karya terbaik Ben Stiller, baik dari sisi directing maupun akting. Stiller mampu bertransformasi dengan baik dari pria culun yang suka melamun menjadi pria tangguh dengan petualangan yang mendebarkan. Visualisasinya juga sangat indah terutama dari sisi teknisnya. Film ini menjadi salah satu tambahan film favorit saya sepanjang masa karena memang enak dilihat dari awal hingga akhir. Karena pada dasarnya setiap manusia adalah pemimpi, begitu juga dengan saya pribadi (that's why i love movies), film ini menjadi pengingat bahwa ada kalanya kita boleh bermimpi dan berkhayal namun ada saatnya pula kita menyadari kenyataan dan kalau bisa, mari membuat mimpi kita menjadi kenyataan...!

It scores 8 outta 10!

Saturday, February 8, 2014

Dark Skies; Scary invasion


Lucy dan Daniel Barrett (diperankan oleh Keri Russel dan Josh Hamilton) bersama putra mereka bernama Jesse (Dakota Goyo) dan Sam (Kadan Rockett) hidup normal dirumah mereka hingga suatu saat terjadi hal-hal yang aneh dirumah mereka. Ketika malam tiba, dapur menjadi berantakan, bahkan pernah terjadi hal yang menakutkan sekaligus mengagumkan, barang-barang didapur bertumpuk rapih membentuk sebuah model yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya dan ketika kejadian foto-foto mereka hilang dari pigura, Lucy dan Daniel menanyakan apakah mereka melakukannya. Jesse dan Sam jelas membantah namun Sam bilang 'sandman' yang melakukannya. 'Sandman' adalah tokoh fiktif dari buku yang dibaca Sam, Lucy dan Daniel baru menyadari bahwa 'sandman' benar-benar ada ketika  semua sudah terlambat.

Sutradara Scott Stewart bukan orang baru di genre thriller, ia pernah membuat film Legion dan Priest meskipun sebenarnya kedua film itu lebih cenderung ke action. Dark Skies sendiri adalah film thriller bermuatan science fiction, karena yang meneror keluarga Barrett bukan roh jahat atau setan melainkan alien dari planet lain. Buat saya film ini terlalu lambat dan membosankan, meskipun ada momen-momen yang bisa dibilang sukses mengagetkan penontonnya. Yang saya suka adalah konsep alien yang melakukan teror psikologis dan sinematografinya yang unik, dengan pengambilan sudut yang tepat, pencahayaan dan permainan warna yang efektif, dapat memberikan efek thrilling yang pas. Performance para pemainnya cukup standard dan mereka mampu memberikan kesan yang baik dalam mengalami teror psikologis dari para alien, toh karakter yang mereka bawakan tidak diberikan ruang untuk pendalaman. Overall.. Film ini hanya akan memuaskan para pecinta science fiction karena memang faktor alien yang misteriuslah yang menjadi jualan utama film ini.
It scores 5 outta 10!

Jack Ryan: Shadow Recruit


Kalau Inggris punya James Bond sebagai agen rahasia (tapi terkenal) yang sering tampil di layar lebar, maka Amerika bisa dibilang punya agen rahasia juga yang sebenarnya sudah cukup lama malang melintang di layar lebar dan buku novel rekaan penulis Tom Clancy, namanya Jack Ryan. Saya tidak sebutkan Ethan Hunt dari seri Mission Impossible karena menurut saya memiliki konsep yang jauh berbeda. Anyway, Kisah Jack Ryan yang diambil dari buku karya Tom Clancy sudah beberapa kali di filmkan dan beberapa kali pula ganti aktor yang memerankan Ryan, Alec Baldwin di film The Hunt for Red October (1990), Harrison Ford di film Patriot Games (1992) dan Clear and Present Danger (1994) serta Ben Affleck di film The Sum of All Fears (2002). Kini Chris Pine yang memerankan tokoh tersebut dibawah arahan sutradara Kenneth Branagh di film Shadow Recruit. Jack Ryan masih sekolah di London saat terjadi serangan teroris yang meruntuhkan twin tower WTC di Amerika, kejadian inilah yang membuatnya termotivasi bergabung dengan Marinir untuk membela bangsanya. Sebuah kecelakaan membuat Ryan lumpuh dan perlu rehabilitasi yang cukup lama, namun kecerdasannya dalam melakukan analisa rupanya sudah dimonitor oleh seorang agen senior CIA, William Harper (Kevin Costner). Ketika Ryan pulih, berkat bantuan terapis bernama Cathy Muller (Keira Knightley), ia ditawari pekerjaan oleh Harper menjadi agen CIA yang menyamar disebuah perusahaan keuangan dimana ia harus mencari tahu sumber dana yang digunakan teroris untuk melawan Amerika. Analisa Ryan membawa ia ke Moscow dimana ia mencurigai Viktor Cherevin (Kenneth Branagh) yang akan meruntuhkan ekonomi Amerika dan ia tidak punya waktu banyak karena ternyata sebuah bom sudah siap meledak di Amerika atas perintah Cheverin. 

Beberapa kali saya ditanya teman tentang komentar saya buat film ini, apakah film ini bagus? Saya jawab Tidak! Karena ada beberapa film Jack Ryan yang lebih bagus dan lebih cerdas ketimbang Shadow Recruit. Apakah film ini seru? Ya! Shadow Recruit termasuk salah satu film spy yang menghibur, bahkan mengingatkan saya pada film James Bond dan Mission Impossible, jadi sebenarnya gak ada hal yang baru dari film ini, kecuali latar belakang Jack Ryan sendiri, jadi sementara lupakan semua film Jack Ryan yang pernah Anda lihat sebelumnya. Sang sutradara juga tak mau kalah dan bermain sebagai antagonis dan penampilannya bisa mencuri perhatian, sedangkan aktor lainnya tampil biasa saja. Overall film reboot ini bisa memberikan hiburan menonton yang cukup thrilling meskipun tidak secerdas Patriot Games.
 It scores 7 outta 10! 

Saturday, February 1, 2014

Hours; Remembering Paul Walker


Nolan Hayes (Paul Walker) sangat terpukul saat mengetahui istrinya meninggal saat melahirkan anak perempuannya di rumah sakit daerah New Orleans Amerika. Kondisi bayinya pun tidak dalam kondisi prima, sang bayi harus harus berada dalam inkubator dan belum bisa lepas dari infus paling tidak selama 48 jam. Masalahnya disaat yang bersamaan sedang terjadi badai Katrina yang menghantam daerah tersebut, alhasil seluruh penghuni rumah sakit harus dievakuasi. Nolan mencoba meminta bantuan pada petugas rumah sakit tapi tidak ada yang bisa dilakukan, bayi Nolan berada dalam inkubator yang tidak bisa dipindahkan padahal rumah sakit mulai tergenang banjir dan makin diperparah dengan matinya listrik, padahal inkubator tersebut membutuhkan daya listrik. Harapan satu-satunya ada pada sebuah charger batere manual yang harus diengkol, sialnya charger tersebut hanya mampu memberikan power selama 3 menit saja, berarti Nolan harus memutar engkol charger setiap 3 menit dan tidak boleh terlambat atau ia akan kehilangan sang bayi.

Film Hours adalah karya layar lebar pertama sutradara Eric Hesserier, sebelumnya ia pernah menulis naskah film Final Destination 5. Dan bintang utama film ini, mendiang Paul Walker menjadi tumpuan film ini secara keseluruhan. Bisa dibilang Paul Walker berdiri sebagai one man show dan yang ia lakukan sama sekali tidak mengecewakan. Walker berhasil memperlihatkan emosi yang baik sebagai suami yang berduka dan ayah yang berjuang mati-matian demi kehidupan bayi yang dicintainya. Kekurangan film ini hanya yang bersifat teknis dan tidak akan mengganggu Anda. Bila Anda penggemar Paul Walker maka film ini jelas akan menjadi alat yang tepat untuk mengenangnya, bahkan bisa jadi Anda akan menteskan air mata menyaksikan endingnya.

It scores 6 outta 10!

PA: The Marked Ones; same demon, diffrent family


Setan yang sama, beda keluarga


Bagi Anda penggemar ranah horor pasti sangat familiar dengan kisah keluarga Katie yang sering kerasukan setan dalam (franchise) film Paranormal Activity. Kini Christopher Landon yang menulis naskah film Paranormal Activity (PA) yang kedua hingga ke empat duduk di kursi sutradara menggarap spin off-nya yang berjudul The Marked Ones. Sebenarnya film ini tidak berkaitan langsung dengan film-film PA sebelumnya meskipun ada benang merah yang terlihat di ending film ini. Bersetting di Oxnard California, seorang pemuda latin bernama Jesse (Andrew Jacobs) serta teman baiknya, Hector (Jorge Diaz) merasa penasaran dengan kematian tetangga mereka, Anna (Gloria Sandoval). Selama ini Anna memang disinyalir melakukan praktek supranatural di apartemennya hanya saja tidak ada yang berani memeriksa. Setelah kematian Anna, Jesse dan Hector diam-diam menyelinap untuk mencari tahu apa yang ada dalam apartemen Anna dan dugaan mereka terbukti bahwa Anna memang seorang dukun dan sialnya mereka menemukan foto-foto Jesse disana dan sejak saat itulah keanehan demi keanehan mulai terlihat pada diri Jesse. 

Secara keseluruhan film ini tidak seburuk film PA yang terakhir, bahkan bisa dibilang cukup fresh dengan setting dan karakter-karakter yang baru. Selain itu banyak juga momen-momen 'seram' berganti menjadi momen 'kaget' bagi penonton di film ini. Meskipun karakterisasi di semua film PA sangat dangkal, ada sebuah horror universe yang ingin diciptakan serial ini dan itulah yang sebenarnya menjadi jualan utama kisah PA, jadi ya memang penokohan gak terlalu penting. Yang menarik adalah cukup banyaknya porsi komedi di film ini yang gak muncul di film-film PA sebelumnya, oleh sebab itulah peran Hector cukup menonjol. Jika film-film PA sebelumnya selalu membuat penonton bertanya-tanya, well... sebenarnya begitu juga dengan film ini, tapi uniknya ada beberapa pertanyaan dari film PA yang akan terjawab di film The Marked Ones, dengan catatan Anda penonton yang cukup jeli merangkai kisah PA secara keseluruhan karena (sialnya) ada faktor time travel yang membuat kisah ini semakin melebar. 
 It scores 6 outta 10!