Sunday, January 26, 2014

47 Ronin; is it Kai or Oishi's story?


Ketika legenda Jepang di caplok Hollywood

Film 47 Ronin karya sutradara Carl Rinch merupakan adaptasi dari kisah legenda yang cukup populer di Jepang. Mengisahkan tentang seorang anak halfbreed (blasteran ya?) bernama Kai yang dipungut lord Asano (Min Tanaka) untuk mengabdi di rumahnya. Saat Kai dewasa (diperankan Keanu Reeves) diam-diam menjalin cinta dengan putri lord Asano, Mika (Ko Shibasaki). Saat lord Asano mengundang Shogun Tsunayoshi (Cary-Hiroyuki Tagawa) ke istananya dalam rangka perayaan festival Shogun, terjadi kekacauan yang didalangi oleh lord Kira (Tadanobu Asano) serta penyihirnya (Rinko Kikuchi) yang menyebabkan lord Asano tewas ber-Harakiri. Mulai saat itu Kai serta para samurai lord Asano yang dipimpin oleh Osihi (Hiroyuki Sanada) diusir dan tidak boleh kembali, tapi Oishi bersumpah untuk membalaskan dendam atas kematian lord Asano dan ternyata masa lalu Kai menjadi kunci untuk pembalasan dendam para Ronin. Buat Anda yang belum tau, istilah Ronin digunakan kepada samurai yang tidak memiliki tuan/majikan. 

Secara visual film ini menampilkan hal yang menarik meskipun spesial efeknya bukan yang terbaik. Dari segi cerita juga demikian, banyak hal menarik yang bisa dieksplor lebih jauh tapi gak kesampaian, semuanya terlihat serba tanggung dan gak tuntas, terutama dari sisi teknis, maklum carl Rinch baru pertama kali ini bikin film layar lebar. Production Design yang dikerjakan Jan Roefls cukup apik menggambarkan lingkungan di Jepang zaman feodal dan itu jadi nilai tambah tersendiri karena memberikan sensasi visual yang beda, apalagi kalo kita sering nonton film barat dan mandarin karena pemandangan Jepang memang berbeda. Wait.. film ini kan syutingnya di london dan Budapest.. *gubrak* yah.. begitulah Hollywood...
 It scores 6 outta 10!

The Hobbit; The Desolation of Smaug


Langsung melanjutkan akhir kisah film sebelumnya, An Unexpected Journey, Bilbo Baggins (Martin Freeman) bersama rombongan Dwarf pimpinan Thorin Oakenshield (Richard Armitage)meneruskan perjalanan mereka menuju Erebor demi merebut kembali Lonely Mountain yang dulu menjadi rumah mereka. Didalam gunung tersebut kini berdiam seekor naga yang sangat besar dan juga ganas melindungi semua harta emas yang ia klaim dari kaum Dwarf di Erebor. Perjalanan menuju Lonely Mountain bukannya tanpa rintangan karena banyak pihak yang mencoba menghalangi mereka. Bahkan kaum Elf yang kiranya netral ternyata memiliki agenda tersendiri terkait harta yang ada dalam Lonely Mountain. Dengan segala rintangan yang cukup berat mereka akhirnya tiba di Lonely Mountain, tinggal satu rintangan lagi yang harus dihadapi, seekor naga yang ganas bernama Smaug. 


Sama halnya dengan film pertama, The Desolation of Smaug memiliki cerita yang terlalu lama (karena sengaja diulur, totalnya 161 menit) serta visulisasi yang memukau. Nilai lebihnya ada di beberapa elemen yang membuat film ini punya koneksi yang lebih kuat dengan trilogi Lord of The Ring. Berhubung film ini masih dua pertiga dari keseluruhan cerita The Hobbit, kita masih harus menunggu satu tahun lagi untuk bisa merangkai kisah petualangan Bilbo sebagai satu kesatuan cerita utuh (seperti novelnya) serta hubungannya dengan trilogi LOTR. Yang menarik dari sisi karakteristik tokohnya adalah kemunculan beberapa tokoh yang mencuri perhatian seperti Bard the Bowman (Luke Evans), Legolas (Orlando Bloom) serta Tauriel (Evangeline Lily) yang sebenarnya tidak ada dalam kisah novelnya karena tokoh Tauriel murni ciptaan Fran Walsh serta Peter Jackson sang sutradara. Tapi menurut saya dari semua karakter yang ada, justru yang paling menonjol dan memorable di film ini adalah Smaug si naga. Adegan dialog serta kucing-kucingan antara Bilbo dan Smaug buat saya adalah momen yang paling seru, bukan cuma cuma dialognya yang menarik tapi presentasi visual sang naga yang detail dan indah (ada juga yang bilang serem, tapi saya gak setuju). Aktor Benedict Cumberbatch sangat apik membawakan karakter Smaug dengan suara berat dan menggelegar, ekspresi wajah Smaug juga direkam dari wajah Cumberbatch menggunakan teknologi Motion Capture dan hasil akhirnya adalah Amazing! Buat saya pribadi The Desolation of Smaug menjadi petualangan visual yang indah untuk disaksikan berkali-kali.

It scores 8 outta 10!


Thursday, January 23, 2014

Walking With Dinosaurs

Pada tahun 1999, stasiun televisi BBC menayangkan sebuah mini seri berjudul Walking With Dinosaurs dan bisa dibilang termasuk salah satu dokumenter yang bagus. Tahun 2013 BBC Earth bekerjasama dengan banyak pihak merilis versi layar lebarnya meskipun tidak ada hubungannnya dengan mini seri televisinya, hanya konsepnya saja yang sama. Di film ini menceritakan seekor Pachyrhinosaurus bernama Patchi (Justin Long) yang hidup diakhir zaman Cretaceous di wilayah Alaska. Ia bersama kakaknya yang bernama Scowler (Skyler Stone) harus berjuang mempertahankan hidup bukan hanya diri mereka sendiri tapi juga kawanannya dari berbagai rintangan yang mereka hadapai saat melakukan migrasi. Dan cuma itulah plotnya, karena pada dasarnya film ini justru ingin memamerkan keindahan visual (CGI) para dinosaurusnya. Jika mini seri televisinya di narasikan oleh Kenneth Branagh, maka film ini dinarasikan dengan jenaka oleh John Leguizamo yang menyuarakan Alex si burung bawel. Beda dengan dengan film Dinosaur versi Disney yang karakternya benar-benar bicara, semua karakter di film ini dibuat tak bergerak mulutnya saat berkomunikasi, Seolah-olah kita sedang mendengarkan apa yang ada dipikiran mereka. Bagi penonton anak-anak (terutama dibawah usia 10 tahun) film ini jelas akan menghibur sekaligus menambah pengetahuan, karena ada beberapa adegan yang di freeze untuk menjelaskan profil sang dinosaurus. Bagi penonton dewasa kemungkinan besar akan mengantuk karena menurut saya versi mini seri televisinya jauh lebih menarik. Yang unggul dari film yang disutradari Bary Cook dan Neil Nightingale ini hanya visualisasinya. Pergerakan para dinosaurus serta detail yang mereka tampilkan sangat bagus dan terlihat nyata. Untuk background lingkungan tempat tinggal mereka, diambil dari rekaman landscape di wilayah Alaska dan New Zealand yang sangat indah. Kombinasi rekaman alam yang indah ditambah CGI dinosaurus yang sangat detail serta dipresentasikan dalam format 3D jelas akan memberikan pengalaman visual selama 80 menit yang berbeda, meskipun ceritanya tidak istimewa.

It scores 5 outta 10!


Posted via Blogaway

Tuesday, January 21, 2014

The Counselor; Greed is bad

Michael Fassbender memerankan seorang konselor yang ingin menambah pundi-pundi uangnya dengan cara singkat melalui dunia kriminal. Ia sendiri sebenarnya belum pernah melakukan hal tersebut, makanya ia butuh nasehat dari rekan-rekannya Reiner (Javier Bardem) dan Westray (Brad Pitt) yang juga menaruh modal dalam transaksi berbahaya ini. Dari awal Reiner dan Westray mewanti-wanti resiko yang akan dihadapi sang konselor, bukan cuma rugi materi tapi juga taruhan nyawa dan sang konselor tetap yakin untuk ikut serta. Sialnya sesuatu yang tidak diinginkan telah terjadi, transaksi yang harusnya berjalan lancar malah berantakan, alhasil sang konselor, Reiner dan Westray diburu untuk mempertanggung jawabkan kesalahan yang sebenarnya dilakukan orang lain. Sutradara Ridley Scott bisa dibilang salah satu sutradara yang piawai dalam menceritakan sebuha kisah dan sebenarnya tidak ada yang salah dalam visulisasi film ini. Yang menurut saya agak berat justru gaya yang dimiliki Cormac McCarthy dalam menulis naskah film ini. McCarthy adalah penulis novel 'No Country for Old Man' serta 'The Road' yang sudah pernah diangkat ke layar lebar, hanya bedanya di film The Counselor ini ia yang menulis langsung screenplay-nya. Bila Anda familiar dengan karya McCarthy berarti Anda sudah tahu bahwa dibutuhkan proses berfikir yang lebih dalam untuk bisa menangkap apa yang ingin disampaikannya. Begitu juga dengan film ini, banyak dialog panjang yang penuh filosofi tentang hidup, mati serta kekerasan yang jadi ciri khas McCarthy, jadi gak heran jika banyak penonton yang gak langsung mengerti apa yang sebenarnya terjadi, atau minimal butuh waktu untuk mencernanya dulu baru kemudian paham tentang apa yang ingin disampaikan film ini. Performance para pemainnya bisa dibilang luar biasa, Fassbender, Bardem dan Pitt bermain apik dan begitu juga aktris Cameron Diaz selaku Femme Fatale dan Penelope Cruz yang tampil sesaat. Kombinasi semua itu menghasilkan film yang (sebenarnya) menarik hanya saja sulit dicerna dalam waktu singkat, kecuali jika Anda memang ingin mendiskusikannya lebih dalam untuk menangkap makna yang ingin disampaikan Scott dan McCarthy.

It scores 7 outta 10!

The Hunger Games: Catching (Katniss on) Fire

Di akhir kisah film Hunger games yang pertama, Katniss (Jennifer Lawrence) dan Peeta (Josh Hutcherson) menjadi pemenang Hunger Games pertama yang lolos secara bersamaan karena sebelumnya hanya ada satu orang pemenang saja. Kini mereka berdua menjadi selebriti yang diekspos ke seluruh distrik demi kepentingan politik presiden Snow (Donald Sutherland). Mendekati event ke 75 pertandingan Hunger Games yang diadakan setiap tahun di negara Panem, Snow meminta game master yang baru bernama Plutarch Heavensbee (Philip Seymour Hoffman) untuk merancang permainan yang lebih seru dan lain dari biasanya. Hasilnya, kontestan tahun ini bukan lagi diundi melainkan 'memaksa' para pemenang pertandingan sebelumnya untuk ikut berpartisipasi lagi, itu berarti Katniss dan Peeta harus sekali lagi menyabung nyawa dalam pertandingan ini. Di tangan sutradara Francis Lawrence film Catching Fire ini bisa dibilang sequel yang efektif. Dengan budget yang lebih besar, Lawrence berhasil mengeliminir kekurangan yang muncul di film pertama, baik dari sisi penceritaan maupun set latar belakang film ini yang lebih baik secara visual. Penampilan para pemainnya juga tetap oke terutama Jennifer Lawrence yang semakin matang aktingnya. Sayangnya masih kurang pendalaman karakter dari beberapa kontestan yang sebenarnya bisa memberi nilai tambah dari sisi cerita karena penampilan Jeffrey Wright, Jennifer Plum serta Seymour Hoffman cukup menarik perhatian. Well.. berhubung media novel beda dengan film maka hal-hal kayak gitu masih bisa saya maklumi, karena memang pada dasarnya kita diajak untuk membaca buku karangan Suzanne Collins yang terdiri dari tiga set. Jadi kita tunggu saja kisah finale dari Katniss yang semakin menarik ini. Btw, gaun berapi yang dikenakan Katniss di film ini ternyata desainernya orang Indonesia lho..

It scores 8 outta 10!


Posted via Blogaway

Thursday, January 16, 2014

Disney's Frozen; Beautiful animated tale

Elsa dan Ana adalah kakak beradik putri dari raja Arendelle. Elsa yang memiliki kekuatan magis bisa menciptakan es dan salju dari tangannya bermain dengan Ana hingga suatu saat hampir mencelakakannya. Raja dan Ratu yang panik memutuskan untuk mengasingkan Elsa agar kekuatannya tidak muncul dan tidak diketahui orang lain. Sebuah musibah yang menewaskan Raja dan Ratu membuat Elsa (Idina Menzel) yang sudah dewasa harus dinobatkan sebagai pemimpin rakyat Arendelle sedangkan Ana (Kristen Bell) adiknya, sudah tidak sabar menantikan waktu penobatan kakaknya, karena saat itulah mereka bisa melihat dunia luar yang selama ini dilarang olah ayah ibunya. Ketika hari penobatan tiba, Ana memutuskan untuk menikah dengan pangeran Hans (Santino Fontana) yang baru ia kenal beberapa jam sebelumnya, hal ini tentu membuat Elsa yang kini menjadi Ratu Arendelle menjadi emosi dan emosinya inilah yang membuat kota Arendelle menjadi dingin karena diterpa cuaca salju berkepanjangan. Untuk menghentikan kondisi dingin yang menimpa kota Arendelle, Ana harus menemukan Elsa bersama seorang anak gunung bernama Kristoff (Jonathan Groff) sebelum terlambat, jika tidak maka kota tersebut akan ditinggalkan warganya. Film Frozen didasarkan pada salah satu dongeng karya Hans Christian Andersen yang berjudul The Snow Queen dan dimodifikasi untuk Disney oleh penulis naskah Jenifer Lee yang sebelumnya mengerjakan film Wreck It Ralph. Hasilnya? Menurut saya luar biasa! Sudah lama saya tidak merasakan asyiknya nonton film animasi tradisional dua dimensi karya studio Disney sejak film Lion King, Beauty and the Beast serta Tarzan yang bukan hanya juara dalam storytelling tapi juga visualisasi dan melodi atau lagu-lagu bagus yang ada didalamnya (The Princess and the Frog terlalu biasa dan tidak ada yang istimewa). Kisah yang diceritakan film Frozen bukan cuma menghibur anak-anak tapi juga banyak insight yang bisa diambil penonton dewasa. Visualisasinya cukup indah, perpaduan gambar animasi tradisional dan CGI dipresentasikan dengan baik dan sedap dipandang mata. Para pengisi suaranya juga juara! Nama-nama aktornya mungkin belum terlalu familiar buat penonton Indonesia tapi mereka bisa mendalami karakternya dengan sangat apik, baik pada saat berdialog maupun bernyanyi. Bicara soal menyanyi, nyaris semua lagu di film ini enak didengar. Duo suami istri Robert dan Kristen Anderson-Lopez yang membuat musik dan liriknya untuk film ini. Dengar baik-baik lirik dan suara menggelegar Idina Menzel saat menyanyikan lagu "Let It Go!" yang menghentak sekaligus emosional. Overall... Frozen akan memberikan nilai tambah lebih dari sekedar tontonan kartun untuk para penontonnya.

It scores 8 outta 10!


Posted via Blogaway

Wednesday, January 15, 2014

Homefront; just another Statham movie

Phil Broker (Jason Statham) adalah seorang agen DEA yang kini bersama putrinya mengasingkan diri disebuah kota kecil setelah kejadian penangkapan transaksi narkoba yang dilakukannya. Meskipun ia mencoba menutup diri, rupanya ada juga tetangga yang akhirnya mengetahui siapa Phil sebenarnya. Gembong narkoba yang dulu di grebek Phil rupanya masih menaruh dendam dan menemukan Phil di tempat tinggal barunya, Phil kini harus berusaha menyabung nyawa demi menjaga putrinya dari orang-orang jahat yang ingin menyakiti mereka. Film Homefront besutan sutradara Gary Fleder ini ditulis oleh Sylvester Stallone berdasarkan novel karya Chuck Logan. Menurut saya kok nyaris gak ada beda dengan dengan film - film Statham sebelumnya ya, hanya saja nuansa 80annya terasa lebih kental, mungkin karena ditulis oleh Stallone. Sudah bisa ditebak kalau film-film Statham (harusnya) berisi adegan aksi yang memang ditunggu para penggemarnya. Memang ada sih adegan aksi dan kejar-kejaran di film ini tapi sang sutradara mencoba membuatnya lebih seimbang antara drama dan aksi, tapi berhubung kurang klop maka jadinya agak timpang sebelah, aksinya cukup seru sementara dramanya terseok-seok. Performance para bintangnya sebenarnya gak mengecewakan kecuali James Franco yang memerankan penjahat bernama Gator yang terasa agak lebay, sementara aktor lainnya cukup baik membawakan karakter masing-masing. Ceritanya memang sederhana layaknya film-film Statham sebelum ini, cuma mungkin nama-nama seperti James Franco, Kate Bosworth, Winona Ryder dan Statham serta Stallone di belakang layar yang awalnya membuat kita penasaran untuk menyaksikannya. Bila Anda memang penggemar berat Jason Statham ya pasti gak akan kecewa karena dialah bintang utamanya, tapi bila Anda mencari film aksi yang bagus kayaknya harus mencari alternatif film lainnya.

It scores 6 outta 10!


Posted via Blogaway

Saturday, January 11, 2014

Last Vegas; Elderly version of The Hangover


Apa jadinya bila aktor kawakan (dan gaek) Michael Douglas, Robert DeNiro, Morgan Freeman dan Kevin Kline tampil dalam satu layar? Well.. karena bergenre komedi maka hasilnya cukup menghibur. Billy (Michael Douglas) yang sudah tua akan menikahi seorang wanita cantik yang masih belia bernama Lisa (Bre Blair) di kota judi Las Vegas. Karena wedding ini merupakan momen penting baginya maka ia mengundang sahabat-sahabat karibnya sejak kecil yang kini sudah jarang bertemu. Bersama Sam (Kevin Kline), Archie (Morgan Freeman) dan Paddy (Robert DeNiro) mereka berempat dulu dijuluki The Flatbush Four. Paddy yang menyimpan dendam pada Billy awalnya menolak datang namun bujukan Archie dan Sam tidak bisa ditolaknya. Jika dulu saat muda Billy dan Paddy rebutan wanita yang sama, kini terjadi kembali di Las Vegas untuk seorang wanita bernama Diana (Mary Steenburgen), padahal Billy sudah mau menikah dengan Lisa. Nah loo... 

Film Last Vegas besutan sutradara Jon Turteltaub ini entah mengapa buat saya terasa seperti the elderly version of The Hangover. Mungkin karena settingnya sama-sama di Las Vegas? Atau bisa juga karena banyak leluconnya yang mirip (konyolnya). Semua pemain terlihat sangat menikmati peran mereka di film ini, mulai dari peran utama hingga ke para figurannya, dan hal itulah yang membuat film Last Vegas ini bisa menghibur penontonnya. Gak perlu ikut pusing memikirkan dilema yang mereka hadapi, just sit back and enjoy their (comedy) show!
 It scores 6 outta 10!

Ender's Game is a good game

Di tahun 2086 ada spesies alien ganas yang disebut The Formics ingin menguasai planet Bumi, untung ada seorang pilot pesawat tempur bernama Mazer Rackham yang menemukan titik kelemahan The Formics dan menggagalkan invasi mereka. Sementara itu seorang anak bernama Andrew Ender Wiggin (Asa Butterfield) sedang mengikuti program sekolah luar angkasa yang secara diam-diam diamati dan diawasi semua perilakunya oleh Kolonel Graff (Harrison Ford) dan Mayor Gwen Anderson (Viola Davis). Graff yakin Ender adalah orang yang selama ini ia cari untuk sebuah program khusus (Battle School), yaitu memusnahkan spesies alien yang pernah menginvasi bumi 50 tahun yang lalu. Ternyata Ender tidak hanya cerdas dalam melakukan strategi perang namun ia juga memiliki hubungan dengan The Formics yang ternyata tidak dia sadari. 

Film Ender's Game diangkat dari novel science fiction karya Orson Scott Card yang bukunya beredar tahun 1985. Butuh proses panjang hingga akhirnya film ini bisa hadir di layar lebar di tahun 2013 dari tangan sutradara Gavin Hood yang juga menulis naskahnya, padahal konsep filmnya sudah disiapkan dari tahun 90an. Ceritanya memang unik meskipun menurut saya terbilang cukup berat untuk penonton remaja. Performance para pemainnya cukup bagus dan spesial efeknya juga tampil meyakinkan. Twist dalam strategi perang yang terakhir juga cukup cerdas meskipun endingnya agak menggantung, mungkin karena berharap akan ada sequel sama seperti bukunya yang berjudul Ender's Shadow. Overall.. banyak insight dan filosofi tentang kepemimpinan yang bisa kita petik dari kisah film ini, baik untuk remaja maupun orang dewasa. 
 It scores 7 outta 10!