Monday, September 30, 2013

Metallica Through The Never; A Beautiful Heavy Metal

Beberapa tahun terakhir ini kita disuguhkan dengan film dokumenter tentang artis dan perjuangannya mencapai puncak ketenaran, mulai dari Justin Bieber, Katy Perry hingga One Direction yang dirilis dalam format 3 dimensi. Sejak kemunculan film This Is It-nya Michael Jackson, saya belum menemukan lagi sebuah film musik yang bagus hingga akhirnya muncullah film ini, Metallica Through The Never. This is a concert movie, isinya merupakan konser Metallica yang direkam di Vancouver dan Edmonton saat World Magnetic's Tour tahun 2012 lalu. Ada sebuah cerita yang berjalan paralel dengan konsernya, seorang pemuda bernama Trip (diperankan Dane DeHaan) yang ditugaskan mengambil barang milik band Metallica yang kesasar disuatu tempat. Perjalanan Trip bukan perjalanan yang mudah karena banyak rintangan (absurd) yang menghadang, namun kegigihan Trip melaksanakan tugas demi Metallica, ia rela melakukan apa saja demi bisa mengantarkan barang tersebut ke pemiliknya. Sekedar catatan, saya bukan penggemar musik Heavy Metal dan Metallica bukan band favorit saya. Tapi jujur saya katakan bahwa film Metallica Through The Never yang disutradarai Nimrod Antal ini melampaui ekspektasi saya terhadap film konser. Idenya berasal dari James Hetfiled, Kirk Hammet, Lars Ulrich dan Robert Trujillo (you know who they are) yang divisualisasikan dengan indah oleh Nimrod Antal, baik saat konser maupun cerita perjalanan Trip. Tidak ada interview dan tidak ada komentar fans atau siapapun layaknya film konser lainnya dan disitulah keunikan film ini. Lagu-lagunya sejalan dengan apa yang disaksikan oleh Trip disepanjang perjalanan, dunia Metallica bukan dunia yang penuh warna seperti film Part of Me-nya Katy Perry. Pemberontakan, ketidakadilan dan kematian merupakan sedikit gambaran yang ditampilkan Nimrod Antal yang jelas bersumber dari lirik-lirik lagu Metallica. Bagi Anda pengemar berat Metallica pasti sangat familiar dengan dunia yang digambarkan disini. Konsernya? Keren abisss...! James, Kirk, Lars dan Robert tampil prima diatas panggung sepanjang konser. Panggungnya sendiri terbilang unik dan sangat bagus. Bagian favorit saya adalah dibangunnya Lady Justice diatas panggung dan runtuh dengan sendirinya.. EPIC!  Lagu-lagu yang ditampilkan adalah lagu-lagu populer yang pernah mereka buat selama 30 tahun terakhir, seperti Creeping Death, Master of Puppets, Enter Sandman, One dan lainnya. Jika Anda pecinta musik metal dan penggemar Metallica, saya sarankan untuk menyiapkan uang lebih untuk menyaksikannya dilayar IMAX 3D, dijamin gak nyesel! Anda akan tetap duduk hingga film benar-benar berakhir tuntas. Jangan terlalu keras memikirkan ceritanya karena penuh simbol dan visualisasi yang belum tentu bisa dimengerti dalam sekejap. Bila Anda menginginkan cerita dokumenter tentang Metallica, Anda bisa saksikan film Some Kind of Monster yang pernah rilis tahun 2004. Untuk film ini: just sit back and enjoy the music. Meskipun saya bukan penggemar musik metal, Metallica Through The Never adalah salah satu film konser terbaik yang pernah saya lihat di layar lebar .

It scores 8 outta 10!

Saturday, September 28, 2013

MALAVITA / THE FAMILY

Robert DeNiro memerankan seorang mafia dari Brooklyn bernama Giovani Manzoni, yang merubah namanya menjadi Fred Blake karena sedang bersembunyi di Normandy, Perancis, dibawah pengawasan FBI (Witness Protection Program) yang dikomandoi Stansfield (Tommy Lee Jones).  Maggie (Michelle Pfeiffer) istri Fred beserta dua orang anaknya, Belle (Diana Agron) dan Warren (John D'Leo) rupanya sudah terbiasa berpindah-pindah tempat tinggal karena permintaan FBI selama 10 tahun. Di tempat tinggal yang baru ini, kepada para tetangganya Fred mengaku sebagai penulis sejarah, padahal ia sedang menulis memoar yang menjelaskan kehidupan mafianya. Stansfield berharap keluarga Blake ini bisa bersikap low profile dan tidak mencari gara-gara dengan lingkungan sekitar, sayangnya kelakuan keluarga ini sudah sangat kental dengan kekerasan sehingga rasanya agak sulit buat mereka untuk tetap kalem dalam menyelesaikan masalah. Ada hadiah besar bagi para Bounty Hunter yang bisa membunuh Fred dan persembunyiannya di Normandy tak bisa dirahasiakan lagi, keluarga Blake harus beraksi, membunuh atau terbunuh di tangan para Bounty Hunter.
Yang membuat saya tertarik menyaksikan film ini adalah kombinasi sutradara Luc Besson (La Femme Nikita dan Leon: The Professional) dan aktor Robert DeNiro serta Michelle Pfeiffer. Diangkat dari cerita novel karya Tonino Benacquista berjudul Malavita, film ini diberi judul The Family di beberapa negara. Filmnya tentang mafia Amerika, tapi tidak terasa Hollywood sama sekali, viva la Besson!! Berkat cerita yang agak nyeleneh, pemandangan desa di daerah Perancis yang jauh dari glamor tapi indah, serta performance semua pemainnya yang luar biasa, film ini menjadi sangat enak dinikmati. Dua pertiga film ini berisi drama kehidupan keluarga Manzoni dan masalah pribadi yang muncul di masing-masing individu terutama terhadap lingkungan sekitar, lucu dan nyeleneh karena isu kritik sosial  yang diangkat cukup menarik, meskipun ada beberap plot-holes. Sepertiga terakhir film ini berisi action yang memperlihatkan keterampilan keluarga Manzoni yang sebenarnya, meskipun terlihat kurang optimal. Malavita bukan karya Besson yang memorable seperti Leon atau Nikita tapi cukup memberikan gambaran lain tentang keluarga mafia yang mengkritik dunianya sendiri. Buat yang suka dengan serial The Sopranos, film ini bisa jadi hiburan yang menyenangkan.

It scores 7 outta 10!

Wednesday, September 25, 2013

INSIDIOUS Chapter 2; Horror in full circle



Bila Anda sudah pernah menyaksikan film Insidious yang pertama karya James Wan dan menyukainya, maka Anda wajib menyaksikan kelanjutan kisahnya di film Insidous Chapter 2. Kisah di Chapter 2 melanjutkan persis setelah film Chapter 1 berakhir, dimana Elise (Lin Shaye) tewas karena dicekik nenek bergaun hitam yang mengambil alih tubuh Josh Lambert (Patrick Wilson). Setelah selesai dengan urusan polisi, pasangan Josh dan Renai lambert (Rose Byrne) bersama tiga anaknya, Dalton, Foster dan Cali,  tinggal di rumah orangtua Josh, Lorraine Lambert (Barbara Hershey). Renai dan Lorraine akhirnya menyadari bahwa hidup mereka belum kembali normal karena penampakan dan suara-suara misterius kembali menghantui mereka. Lorraine meminta bantuan duo Specs (Leigh Wannel) dan Tucker ( Angus Sampson) yang sebelumnya pernah membantu Elise, berhubung Elise sudah wafat maka Specs dan Tucker meminta bantuan Carl (Steve Coulter) yang dulu pernah bekerjasama dengan Elise saat Josh masih muda dan mengalami gangguan supranatural di rumahnya. Penyelidikan mereka berempat mengarah pada kesimpulan bahwa Josh kini terperangkap di "dunia lain" dan nenek bergaun hitam yang dikenal sebagai The Dark Bride, yang mendiami tubuh Josh saat ini, akan membunuh Renai dan anak-anaknya. Untuk menyelamatkan keluarga Lambert harus ada yang menghancurkan memori The Dark Bride yang ternyata berhubungan dengan masa lalu keluarga Lambert.

Buat saya Chapter 2 tidak bisa dipisahkan dari film pertamanya. This movie is now in a complete full circle. Beberapa plot holes yang terdapat di film pertama akan terjawab di film ini. Siapa sih si nenek lampir bergaun hitam itu? Kenapa dia ngotot sekali dengan Josh? Hal itu akan terjawab di film ini, bahkan lebih detail karena menyangkut penyakit mental yang dialaminya di masa lalu. Pendalaman karakternya memang kurang tergali dengan optimal, mungkin karena takut berubah jadi film drama he..he..he... Penampilan para pemainnya bisa dibilang biasa saja, hanya Rose Byrne saja yang agak menonjol. Di film pertama, kehadiran duo ghostbuster Specs dan Tucker sangat menggangu saya, tapi di film ini mereka bisa memberikan porsi humor yang pas dan sesuai dengan jalan cerita (bahkan mungkin bisa jadi icon baru). Kepiawaian James Wan dalam menggarap film horor terlihat jelas di Chapter 2 meskipun ada beberapa momen seram yang agak sedikit mengingatkan kita pada The Conjuring, buat saya sih gak masalah karena film ini memiliki ciri khas sendiri. Salah satu keunggulan Wan menggarap film horor adalah ia menggambarkan hal-hal yang sebagian besar orang pernah mengalaminya, seperti suara telapak kaki, bunyi ketukan dan pintu berderit yang dikehidupan nyata bisa membuat kita memikirkan hal-hal yang nggak-nggak alias berbau supranatural, bukan begitu bukan?  Oiya.. salah satu ciri khas Insidious adalah si "setan merah" yang sayangnya gak muncul di film ini. Mudah-mudahan kalimat terakhir di film ini yang diucapkan Elise "Oh My God.!"  jadi indikasi munculnya si setan merah di Chapter 3.



It scores 6 outta 10!

Tuesday, September 24, 2013

YOU'RE NEXT; Kinda Smart Slasher



Paul Davison (Rob Moran) dan istrinya Aubrey (Barbara Crampton) merayakan ulang tahun pernikahan di rumah peniun mereka disebuah desa. Pasangan ini mengundang anak-anak mereka yang sudah dewasa untuk datang bersama kekasih mereka masing-masing. Crispian (AJ Bowen) datang bersama Erin (Sharni Vinson), Drake (Joe Swanberg) bersama Kelly (Margaret Laney), Aimee (Amy Seimetz) bersama Tariq (Ti West) dan Felix (Nicholas Tucci) bersama Zee (Wendy Glenn). Crispian, Drake, Aimee dan Felix adalah kakak beradik Davison, dan layaknya kakak beradik pasti ada pertengkaran kecil yang tidak bisa dihindari. Dari pertengkaran kecil dimeja makan muncul teror yang tidak diinginkan. Sekelompok geng pembunuh bertopeng hewan mencoba menghabisi nyawa keluarga Davison satu persatu dengan panah, golok dan kapak. Mereka harus berfikir keras untuk bisa bertahan hidup dan mencari bantuan. Erin yang kebetulan dibesarkan dengan cara yang cukup ekstrim oleh orang tuanya, menjadi orang yang bisa memimpin dan juga melawan para pembunuh. Sialnya, para pembunuh ini mendapat bantuan dari orang dalam, ternyata ada diantara mereka yang menjadi kaki tangan pembunuh. Siapa? Ya tonton deh filmnya!

Ada yang unik dari film garapan sutradara Adam Wingard ini, untuk sebuah film bergenre horror slasher, film You're Next bisa dibilang cukup pintar. Selain beberapa elemen klise yang selalu muncul dalam film horror / thriller, penulis cerita Simon Barrett memberikan elemen surprise yang cukup menarik pada endingnya serta nuansa black comedy tentang sibling rivalry, dan saat tahu endingnya saya merasa kisah film ini menjadi sangat logis. Beda dengan film slasher lain  yang melakukan pembunuhan hanya karena dorongan naluri atau kelainan jiwa, film ini memiliki motif pembunuhan yang bisa terjadi pada siapa saja, yaitu UANG! Selain itu, karakter Erin juga memberikan solusi yang pintar atas beberapa problem klise yang kerap muncul dalam film sejenis (yang menyebabkan si tokoh mati terbunuh). Overall... it's a bloody gore entertaining for the fans of horror slasher genre. Oiya, just in case you're wondering, lagu yang diputar berulang-ulang di film ini adalah lagu milik Dwight Twilley yang berjudul "Looking for the magic".



It scores 7 outta 10!

Wednesday, September 18, 2013

2 Guns; funny buddy cop



Bobby (Denzel Washington) dan Stigman (Mark Wahlberg) sebenarnya adalah anggota DEA dan NAVY yang sedang menyamar dan mereka berdua belum tahu identitas asli masing-masing. Target mereka adalah seorang kartel narkotik Meksiko bernama Papi Greco (James Edward Olmos), Bobby mengincar narkobanya sedangkan Stig mengincar uangnya. Sialnya, perampokan bank yang mereka lakukan ternyata malah membuat mereka terjerumus dalam kesulitan, DEA dan NAVY menyangkal keberadaan Bobby dan Stig, dan lebih sialnya lagi ternyata bank yang mereka rampok merupakan tempat penyimpanan uang haram milik CIA. Earl (Bill Paxton) dari CIA yang merasa kecolongan, memburu Bobby dan Stig untuk mendapatkan kembali uang $43.125.000 miliknya, dengan cara apapun. Alhasil Bobby dan Stig bukan cuma diburu CIA tapi juga DEA, NAVY dan drug cartel pimpinan Papi Greco demi mendapatkan uangnya serta memastikan mereka berdua mati terbunuh. Sebenarnya sudah banyak film komedi aksi buddy cop, namun yang membedakannya dengan film besutan Baltasar Kormakur ini adalah nama besar Denzel Washington. Kapan terakhir Anda melihat Denzel main film komedi? Menyaksikan Denzel berpasangan dengan Mark Wahlberg di film ini sangat menyenangkan dan menghibur. Wahlberg lebih menonjol dengan gayanya yang urakan dan nyerocos tanpa henti, Washington bisa mengimbangi dengan gayanya yang cool dan kalem. Kombinasi mereka berdua saat berbagi layar menghasilkan dialog-dialog yang nyeleneh dan enak dinikmati karena menurut saya chemistry mereka berdua cukup pas. Jalan ceritanya sendiri juga ringan dan gak perlu banyak mikir untuk bisa memahaminya. Pendalaman karakternya nyaris gak ada untuk tokoh Bobby dan Stig yang aslinya diambil dari novel grafis karya Steven Grant. Beda dengan film buddy cop lainnya yang menyempatkan diri untuk menggali lebih dalam tokoh utamanya, Kormakur lebih fokus pada adegan aksi dan apa yang dilakukan Bobby dan Stig menyelesaikan problem mereka secepat mungkin dan tidak ingin bertele-tele dengan latar belakang semua tokohnya. Isu sosial tentang korupsi di beberapa lembaga negara amerika yang diangkat film ini juga kurang detail, tapi cukup untuk sekedar menjadi alasan kenapa Bobby dan Stig melakukan apa yang harus mereka lakukan. Bila Anda pecinta genre action comedy maka film ini akan jadi hiburan yang seru untuk disaksikan.



It scores 7 outta 10!

Monday, September 16, 2013

The Frozen Ground; a thrilling cliche



Jack Halcombe (Nicolas Cage) adalah seorang detektif polisi di Alaska yang sedang menyelidiki kasus ditemukannya mayat wanita ditengah hutan. Berdasarkan hasil investigasinya ia menemukan sebuah pola pembunuhan berantai dan ia mencurigai Robert Hansen (John Cusack) yang tinggal di sebuah kota kecil bernama Anchorage. Bagi penduduk Anchorage, Hansen adalah warga yang baik, pemilik toko kue dan tidak memiliki masalah dengan lingkungan sekitar, istri dan anaknya pun termasuk taat beribadah. Ternyata Hansen adalah seorang pemburu, dengan sebuah pesawat kecil yang dimilikinya ia sering membawa wanita PSK (Pekerja Seks Komoersial) atau penari eksotis dengan pesawatnya ke sebuah kabin di tengah hutan Alaska untuk diperkosa lalu dilepaskan di tengah hutan dan kemudian dibunuh menggunakan senapan layaknya pemburu membunuh hewan incarannya yang sedang berlari menyelamatkan diri. Hingga suatu saat mangsa yang diculik Hansen lepas, seorang wanita berusia 17 tahun bernama Cindy (Vanessa Hudgens). Polisi setempat tidak mempercayai Cindy karena ia seorang pelacur, bagi mereka pelacur itu ya kerjaannya memang untuk diperkosa. Halcombe yang mendengar pengaduan Cindy mencoba membantu demi tertangkapnya Hansen, bila Cindy memberikan kesaksian maka Hansen bisa dijebloskan kepenjara dengan tuduhan penculikan. Namun ternyata Hansen tidak tinggal diam, ia membayar orang untuk menangkap Cindy dan membunuhnya, kini nyawa Cindy terancam. Bagi Anda penggemar kisah seri kriminal seperti Law & Order, CSI atau Criminal Minds di televisi, film The Frozen Ground ini terlihat klise dan datar, karena beberapa episode dari serial tersebut ada yang jauh lebih menarik dan saya adalah penggemar serial kriminal yang saya sebutkan tadi. Yang menarik perhatian saya dari film yang ditulis dan disutradarai oleh Scott Walker ini adalah, pertama kisahnya merupakah kisah nyata yang terjadi di kota Anchorage, Alaska antara tahun 1973 hingga 1983. Si pelaku Robert Hansen dijatuhi hukuman penjara selama 461 tahun dan tidak bisa ditebus dengan uang. Jumlah korban mencapai 21 orang, 17 mayatnya sudah ditemukan tapi beberapa tidak diketahui indentitasnya, hingga hari ini. Kedua, semua pemain tampil dengan apik, bahkan Nicolas Cage yang beberapa film terakhirnya bikin mata saya sakit karena aktingnya yang asal-asalan dan merusak jalan cerita. Tapi di film ini ia tampil jauh lebih baik dalam membawakan karakter Halcombe yang dalam kehidupan nyata bernama detektif Glenn Flothe. Performance John Cusack dan Vanessa Hudgens juga patut diacungi jempol. Gambar-gambar daerah hutan dan pegunungan Alaska dari udara yang diambil Patrick Murguia juga jadi hiburan mata tersendiri. Jadi meskipun ceritanya klise namun tetap bisa dinikmati karena memiliki kelebihan lain yang cukup enak dinikmati.



It scores 7 outta 10!

Grown Ups 2; worst movie of the year



Adam Sandler, Kevin James, David Spade dan Chris Rock adalah jebolan SNL (Saturday Night Live), kecuali Kevin James, yang merupakan sahabat karib diluar kamera yang juga sering numpang lewat di film masing2. Film Grown Ups pertama yang rilis tahun 2010 bisa dibilang memberikan masukan uang yang lumayan buat Adam Sandler dibandingkan karya-karya sesudahnya seperti film Jack & Jill. Empat sahabat ini memutuskan kembali ke layar lebar melanjutkan petualangan mereka di film Grown Ups 2 arahan Dennis Dugan. Ceritanya.... well.... saya agak kesulitan menceritakan jalan ceritanya dari sudut pandang saya, karena saya benar-benar gak ngerti apa yang mau disampaikan film ini. Plot ceritanya bisa Anda Google, yang perlu Anda ketahui adalah film ini jelas lebih buruk dari film pertama. Banyaknya karakter yang tampil membuat film ini penuh sesak dan menjengkelkan. Humornya ada beberapa yang lucu tapi kebanyakan sangat garing dan tetap vulgar seperti biasa yang dilakukan Sandler dan Spade. Bila Anda menyukai film pertamanya kemungkinan besar akan menyukai film ini karena semuanya hampir sama persis, bahkan hingga ke adegan kolam renang yang berubah warnanya menjadi biru saat ada yang pipis didalam airnya, hanya saja kali ini yang melakukannya adalah Shaquile O'Neill...  *tepok jidat*



It scores 3 outta 10!

Disney's Planes; worst than Cars



Sebuah pesawat yang takut terbang tinggi tapi ingin ikut kejuaraan keliling dunia? Kenapa tidak! No dream is too big if you live in the world of Disney. Kesuksesan film Cars memberi ide untuk membuat konsep yang sama dengan bentuk yang beda, dari mobil ke pesawat. Sebuah pesawat penyemprot hama bernama Dusty Crophopper (Dane Cook) bermimpi untuk bisa ikut sebuah kejuaraan bergengsi keliling dunia, hanya saja Dusty memiliki satu masalah, ia takut ketinggian. Dengan bantuan Dottie (Teri Hatcher) dan Chug (Brad Garret), Dusty mencoba peruntungannya mengikuti babak kualifikasi dan mujurnya ia lolos karena ada satu peserta yang didiskualifikasi. Kejuaraan ini bukan hal yang mudah, ia membutuhkan bantuan Skipper (Stacy Keach) yang sudah malang melintang keliling dunia saat masih bertugas di militer, pengalam Skipper dapat membantu Dusty dalam menghadapi berbagai rintangan saat ia keliling dunia, tapi ada satu rintangan yang agak sulit dihadapi, kecurangan salah satu peserta bernama Ripslinger (Roger Craig Smith) pesawat balap yang tidak ingin dikalahkan oleh pesawat penyemprot hama dari kampung. Dibawah arahan sutradara Klay Hall film ini jelas akan mengingatkan Anda pada film Cars, bedanya kualitas cerita film Planes jauh dibawah Cars yang merupakan kerjasama Disney dengan Pixar. Untuk orang dewasa kisah film ini akan sangat membosankan meskipun teknis visualnya jauh dari mengecewakan. Hanya anak-anak dibawah 10 tahun saja yang bisa menikmatinya dengan "seru". Awalnya film ini dibuat untuk langsung dipasarkan dalam bentuk home video namun Disney memutuskan untuk merilisnya dalam format layar lebar, malah kalo sukses akan disiapkan pula sequelnya.



It scores 5 outta 10!

Sunday, September 15, 2013

Kick-Ass 2; Hit-Girl movie?



Dave Lizewski (Aaron Johnson) adalah pahlawan bertopeng bernama Kick-Ass yang suka membantu warga bila sedang dalam kesulitan. Kick-Ass bukan superhero, ia hanya manusia biasa yang ingin membuat perubahan. Setelah cukup lama bermalas-malasan dengan aksi topengnya, Dave memutuskan untuk kembali ke jalanan menumpas penjahat. Untuk itu ia membutuhkan teman dan mengajak Mindy (Chloe Grace Moretz) alias Hit-Girl untuk mendampinginya. Untuk urusan berkelahi, Mindy jelas jauuuuhh lebih terampil ketimbang Dave dan Mindy setuju untuk mengajarkan Dave beberapa ilmu beladiri (dengan cara yang menyakitkan). Sementara itu Chris D'Amico (Christopher Mintz-Plasse) yang dulu dikenal dengan nama Red Mist (lihat lagi film Kick-Ass yang pertama), masih menaruh dendam pada Kick-Ass dan berencana untuk membunuhnya. Dengan kostum baru yang lebih culun (dan lebih gay) dari Red Mist ia menamakan diri The Motherf*cker dan ia juga merekrut beberapa penjahat dan menami mereka dengan nama yang aneh-aneh seperti Mother Russi dan Genghis Carnage untuk mendampinginya membunuh Kick-Ass. Saat Mindy memutuskan untuk berhenti menjadi Hit Girl dan sibuk dengan kelompok barunya di sekolah, Dave memutuskan untuk bergabung dengan kelompok pembela kebenaran pimpinan Colonel Star & Stripes (Jim Carrey) yang memiliki nama Justice Forever. Kelompok ini harus menghadapi tantangan yang berat ketika salah satu dari mereka tewas dibunuh oleh The Motherf*cker. Ketika korban bertambah banyak, kick-ass dan Hit Girl pun turun tangan. Di tangan sutradara Jeff Wadlow film ini tetap menghibur meskipun tidak secerdas film pertamanya. Porsi komedi dan aksinya terbilang cukup pas meskipun (sekali lagi) tidak semenarik film pertama. Bila Anda suka film pertamanya kemungkinan besar akan menyukai film ini karena sudah mengetahui karakteristik masing-masing tokoh, Anda tinggal menikmati sajian aksi dan komedi yang menghibur. Penampilan Jim Carrey yang singkat sangat mencuri perhatian begitu juga dengan Moretz yang sangat mendominasi layar. Beberapa orang menyebut film ini sebagai Hit Girl Movie, dan saya setuju.



It scores 6 outta 10!

Tuesday, September 10, 2013

Riddick; it's Pitch Black all over again!



If you love action sci-fi Pitch Black (2000), you'll love this one! Sutradara David Twohy kembali untuk ketiga kalinya membawa kita melihat petualangan Richard B. Riddick yang diperankan Vin Diesel yang merangkap sebagai produser di film yang kali ini diberi titel (hanya) Riddick. Settingnya lima tahun setelah kisah The Chrocicles of Riddick (yang rilis tahun 2004), ketika Riddick dikhianati oleh Commander Vaako (Karl Urban) yang menjanjikan dirinya pulang ke planet Furya. Alih-alih tiba di planet Furya, Riddick malah ditelantarkan disebuah planet terasing oleh Krone (Andreas Apergis) kaki tangan Vaako. Di planet ini ia mencoba bertahan hidup sendiri, terutama dari serangan makhluk-makhluk ganas yang mendiami planet ini lebih dulu. Sadisnya makhluk-makhluk ini membuat Riddick merasa harus segera meninggalkan planet tersebut, kebetulan ada sebuah stasiun pemancar yang bisa mengirimkan sinyal darurat, konsekwensinya adalah ia akan diburu oleh para pemburu hadiah (bounty hunter) yang rela membunuh Riddick demi uang imbalannya. Dua buah pesawat bounty hunter mendarat memenuhi panggilan darurat yang dikirim Riddick, satu team dipimpin Santana (Jordi Molla) yang congkak dan team lainnya di pimpin Johns (Matt Nable) yang well organize. Awalnya mereka berseteru untuk mendapatkan Riddick namun akhirnya mereka saling bekerjasama, karena sebenarnya bukan Riddick yang harus mereka khawatirkan, melainkan makhluk-makhluk penghuni planet ini yang datang saat hujan badai dengan jumlah ratusan. Kisah film ini merupakan sambungan langsung dari film The Chronicles of Riddick tapi benang merahnya terkait erat dengan film pertamanya, Pitch Black. David Twohy mengambil keputusan yang cerdas dengan menulis cerita Riddick yang mengambil konsep cerita mirip dengan film pertama yang sukses besar serta melambungkan nama Vin Diesel. Iapun dengan leluasa mendalami karakter Riddick dari sisi emisonal yang tidak pernah tergali dari dua film sebelumnya (kemarahan, kesepian, ketegaran dan ketakutan), hal ini digambarkan di sepertiga pertama film yang memperlihatkan cara Riddick bertahan hidup dan Vin Diesel membawakannya dengan sangat apik. Performance para pemain pendukungnya juga enak dilihat, sesuai dengan karakter yang diinginkan. Yang perlu diacungi jempol adalah sinematografi dan visual efeknya. David Eggby berhasil menampilkan pemandangan planet yang tandus dan seram tapi indah (apalgi klo disaksikan dilayar IMAX), FYI ajah lokasi syutingnya dilakukan di gurun daerah Farafra Mesir. Sebenarnya gosip tentang film Riddick sudah beredar sejak tahun 2006 namun baru tahun 2012 bisa dilaksanakan syutingnya karena menunggu kesiapan Diesel dan Twohy serta pematangan skrip yang dibuat Twohy yang awalnya diberi rating PG-13 (Remaja) dirubah menjadi Rating R (dewasa) sama dengan film Pitch Black. Saya pribadi senang dengan kembalinya Riddick ke layar lebar, bagaimana dengan Anda?

It scores 8 outta 10!

Sunday, September 8, 2013

The Internship; dinosaur men vs digital kids



Film komedi The Internship karya sutradara Shawn Levy menceritakan tentang duo salesman handal Billy McMahon (Vince Vaughn) dan Nick Campbell (Owen Wilson). Mereka terpukul saat tahu bahwa jam tangan yang mereka jual sudah tidak diproduksi lagi dan perusahaannya gulung tikar sehingga bos mereka, Sammy (John Goodman) memecat mereka. Sekarang siapa sih yang pake jam tangan? Di jaman digital ini kalo orang tau jam berapa sekarang tinggal lihat ke handphone mereka. Dengan galau mereka mencoba mencari pekerjaan lain meskipun gak mudah karena yang mereka kuasai hanya ilmu menjual barang. Billy mencoba mengirimkan aplikasi ke perusahaan Google dengan harapan bisa diterima disana karena dikantornya mereka bisa memberikan makan gratis, ada 'nap pod' yang bisa digunakan untuk tidur dan perosotan besar yang menyenangkan. Google adalah salah satu perusahaan raksasa yang kini sedang berjaya dan tidak gampang bisa menjadi bagian dari perusahaan tersebut. Billy dan Nick mengikuti program Internship (kalo di Indonesia disebut Magang) dan bila mereka lulus maka mereka bisa diterima sebagai karyawan Google. Mereka berdua harus bersaing dengan anak-anak muda yang jauh lebih cerdas di bidang teknologi terkini, sedangkan Billy dan Nick termasuk dinosaurus yang gak ngerti apa-apa tentang teknologi. Teman-teman satu team mereka bahkan ikut mengolok-olok mereka berdua yang ketinggalan jaman, namun keteguhan dan tekad bulat Billy dan Nick akan membuat anak-anak muda ini berfikir dua kali untuk bisa mengalahkan mereka. Jujur saja, film ini bisa disebut sebuah iklan dengan durasi 100 menit lebih. Iklan apa? Ya iklan GOOGLE! Tapi mari kita kesampingkan hal itu sementara. Film ini termasuk film komedi yang efektif, banyak momen lucu yang bisa membuat kita tertawa dan ada momen untuk merenung dan mendapatkan insight dari cerita kisah komedi ini. 15 menit pertama mungkin agak membosankan, namun adegan interview via webcam di perpustakaan menjadi titik tolak kelucuan-kelucuan berikutnya yang cukup seru. Sebagian penonton senior akan merasa terwakili dengan karakter duo Billy dan Nick yang besar di tahun 80an (film Flashdance jadi referensi yang cukup lucu) sedangkan penonton muda yang gila gadget dan teknologi jelas akan mengerti apa yang dibicarakan para Googlers. Chemistry dua komedian Vaughn dan Wilson sangat pas sehingga penampilan mereka sepanjang film sangat menghibur, mengingatkan saya pada film Wedding Crasher yang juga dibintangi mereka berdua. Begitu juga dengan para pemain pendukungnya yang bermain dengan apik terutama Aasif Mandvi yang memerankan Mr. Chetty dengan bengis. Endingnya memang sudah bisa ditebak tapi tapi kisahnya menarik untuk diikuti dari awal hingga akhir.



It scores 6 outta 10!

R.I.P.D.; like a bad combination of Ghostbusters & MIB



Detektif Nick Walker (Ryan Reynolds) dan Bobby Hayes (Kevin Bacon) adalah pasangan polisi di Boston yang menyimpan sebongkah emas secara diam-diam, mereka mendapatkannya dari penggerebekan gembong narkotika. Walker yang merasa bersalah ingin mengirimkan emas tersebut ke tempat penyimpanan bukti di kantor polisi, namun Hayes yang tidak setuju malah membunuh Walker saat melaksanakan tugas. Walker yang tewas bertemu dengan Mildred Proctor (Mary Louise-Parker) dan diberi kesempatan untuk kembali ke dunia demi menjalankan tugas dari R.I.P.D. (Rest In Peace Department) dan tugasnya adalah menangkap para Deados (orang yang sudah mati tapi masih berkeliaran di dunia) untuk ditangkap dan dikirimkan ke alam baka. Agar bisa bertemu istri tercinta, Julia (Stephanie Szostak), Walker setuju dengan dengan tugas tersebut dan bekerjasama dengan Roy (Jeff Bridges) yang sudah senior di RIPD. Sialnya penampilan Walker dan Roy di dunia terlihat berbeda jauh dengan tubuh asli mereka, Walker terlihat seperti kakek cina yang sudah tua (James Hong) dan Roy terlihat seperti wanita cantik dan seksi (Marisa Miller). Tak ada yang mengenali siapa mereka sebenarnya sehingga Walker kesulitan menjelaskan ke pada Julia dan Hayes pun ternyata memiliki rencana busuk yang melibatkan Deados incaran Walker dan Roy. Film karya Robert Schwentke ini jelas akan mengingatkan Anda pada film Men In Black yang juga diangkat dari komik. Hanya saja eksekusinya bisa dibilang cukup parah (baca: buruk) bila dibandingkan MIB, meskipun tidak separah film Jonah Hex. Duo Reynolds dan Bridges tidak memiliki chemistry yang kuat sebagai partner, lelucon-lelucon yang dilontarkan mereka berdua terdengar garing di telinga saya. Ceritanya yang mudah ditebak dibuat datar tanpa ada pengembangan yang berarti, alhasil akan menimbulkan kantuk bagi beberapa penonton (termasuk saya). Untungnya spesial efek digarap dengan cukup serius jadi bisa memanjakan mata Anda untuk sesaat. Sangat disayangkan padahal materi yang cukup bagus dari komiknya bisa menjadi kisah yang bagus dilayar lebar bila digarap dengan lebih baik lagi. Menontonnya dalam format 3D juga hanya akan membuang uang Anda dengan percuma karena konversinya juga kurang maksimal.



It scores 5 outta 10!

Wednesday, September 4, 2013

Byzantium; a beautiful vampire tale



Masih ingatkah Anda dengan film Interview With a Vampire dengan bintang utama Tom Cruise yang beredar tahun 1994? Sutradara Neil Jordan yang membuatnya dan kini ia kembali dengan tema yang sama dengan Interview, hanya mungkin lebih feminis karena dilihat dari sudut pandang wanita bernama Clara dan Eleanor Webb. Pasangan ibu dan anak ini diperankan oleh Gemma Arterton dan Saoirse Ronan, mereka telah hidup selama 200 tahun dan berpindah-pindah dengan mengkonsumsi darah manusia. Disebuah desa di daerah Inggris mereka mendapat tempat tinggal di sebuah bekas hotel bernama Byzantium yang dimiliki Noel (Daniel Mays). Dengan keahlian Clara yang memiliki pengalaman sebagai pelacur selama 2 abad, ia mengubah tempat ini menjadi persinggahan bagi pelacur jalanan yang membutuhkan tempat "praktek". Sementara itu Elanor/Ella jatuh cinta dengan seorang pemuda setempat bernama Frank (Caleb Landry Jones) yang mengidap penyakit Leukimia dan Frank pun sebenarnya menaruh hati pada Ella, hanya saja Ella menghindar karena tidak ingin menyakiti Frank. Hingga akhirnya Ella membuka diri dan membiarkan Frank tahu bahwa dirinya adalah seorang vampire. Keterbukaan Ella terhadap Frank membuat Clara murka dan mengancam membunuh Frank karena siapapun manusia yang mengetahui identitas asli mereka harus dibunuh. Sialnya, Clara dan Ella juga sedang diburu sebuah perkumpulan vampire bernama Brotherhood, mereka tidak menginginkan adanya vampire wanita, jadi Clara dan Ella harus dibunuh dan Brotherhood sudah mengetahui keberadaan mereka berdua di desa tersebut. Setelah sekian lama disuguhi kisah vampire yang memiliki cinta segitiga dengan manusia dan werewolf, akhirnya hadir kisah vampire yang lebih membumi dengan penceritaan yang indah. Neil Jordan memang cukup piawai mengangkat tema ini karena ini sudah kali ketiga ia membuat film tentang vampire. Diangkat dari drama karya Moira Buffini yang juga menggarap skrip film ini, kisah Byzantium tampil dengan karakter-karakter dan visualisasi memikat. Gaya penceritaan back and forth tampil wajar dan lancar sehingga bisa kita rangkum di benak kita saat film berakhir, Anda dapat menarik kesimpulan tentang apa yang telah terjadi pada pasangan ibu dan anak ini serta apa yang melatarbelakangi mereka melakukan apa yang telah mereka lakukan. Semua pemain tampil dengan memikat, baik pemeran utama maupun pendamping dan para figurannya. Bila Anda mencari kisah drama yang agak "beda", film yang hanya di putar di jaringan Blitzmegaplex ini bisa jadi pilihan yang tepat.



It scores 8 outta 10!

Monday, September 2, 2013

The Mortal Instruments: City of Bones



Kisah novel young adult yang diangkat ke layar lebar memang sedang marak sejak kesuksesan Twilight Saga, kini hadir satu lagi yang tampil dilayar lebar dari seri The Mortal Instruments. Total bukunya ada 6 novel (klo gak salah, karena saya gak pengen baca) dan kisah City of Bones adalah yang pertama. Mengisahkan seorang gadis bernama Clary Fray (Lily Collins) yang tinggal di New York bersama ibunya, Jocelyn (Lena Headey). Clary mulai melihat penampakan simbol-simbol dan sebuah pembunuhan yang hanya bisa dilihat Clary semata. Ternyata eh ternyata, Clary adalah keturunan shadowhunter yang bertugas membasmi iblis/setan yang berkeliaran di New York. Shadowhunter ini bisa tak kasat mata kecuali oleh para iblis, witch/warlock, werewolf dan makhluk jejadian lainnya. Penculikan Jocelyn menjadi awal petualangan Clary dalam kehidupan baru yang terpaksa harus ia jalani demi menyelamatkan sang ibu. Dengan bantuan Jace Wayland (Jamie Campbell Bower) serta kakak beradik Alec (Kevin Zegers) dan Isabell Lightwood Jemima West) yang merupakan team shadowhunter berpengalaman, mereka mencari Jocelyn dan membongkar rahasia yang dimiliki musuh besar mereka bernama Valentine (Jonathan Rhys-Meyer). Film The Mortal Instruments: City of Bones ini disutradarai oleh Harald Zwart yang pernah menggarap remake The Karate Kid dengan cukup lumayan. Sayangnya tidak bisa dibilang sama untuk karyanya yang satu ini. City of Bones menawarkan pengulangan berupa cinta segitiga, penyihir, werewolf dan kekuatan supranatural serta lain-lainnya tanpa kualitas yang lebih baik, kecuali isu homoseksual yang muncul diantara karakternya, unik tapi menggantung. Kayaknya Anda harus baca novelnya dulu untuk bisa memahami karakter-karakter yang ada serta cerita yang ditawarkan, karena banyaknya subplot di film ini membuat ceritanya penuh sesak dalam durasi yang singkat. Buat saya yang agak lumayan hanya visualisasi dan soundtracknya, selebihnya biasa saja.



It scores 5 outta 10!

Percy Jackson: Sea of Monsters



Debut Percy Jackson yang pertama dilayar lebar tahun 2010 karya sutradara Chris Columbus bisa dibilang kurang menggembirakan dari sisi perolehan uang Box Office domestik di Amerika, tapi berhubung perolehan uang dari seluruh dunia lebih dari 200 juta dollar maka lahirlah sequelnya; Percy Jackson: Sea of Monsters meskipun waktu perilisannya sempat ditunda berkali-kali. Percy Jackson (Logan Lerman) adalah putra dari dewa laut Poseidon yang kini tinggal di camp Half-Blood, tempat dimana para demigod berkumpul. Adegan pembuka film ini akan menjelaskan tentang asal muasal dewa Zeus memberikan tameng perlindungan untuk camp Half-Blood agar tidak bisa dimasuki sembarangan orang. Tameng ini mulai hancur karena pohon ajaib yang menaunginya diracun oleh Luke Castellan (Jake Abel) dan untuk memulihkannya harus menggunakan kain ajaib bernama the golden fleece. Sialnya, kain ini dimiliki monster bermata satu (disebut Cyclops) di tengah laut segitiga bermuda yang angker. Demi kelangsungan hidup para demigod di camp Half-Blood maka Percy bersama sahabat-sahabatnya Grover (Brandon T. jackson) dan Annabeth (Alexandra Daddario) serta adik tirinya yang juga Cyclops bernama Taylor (Douglas Smith) berusaha mendapatkan kain ajaib itu dengan taruhan nyawa mereka. Berhasilkah mereka? Ya iyalah...! Bila Anda sudah baca seri novel Percy jackson pasti sudah tahu ceritanya. Bagi yang bukan penggemar Percy Jackson mungkin ada baiknya nonton film pertamanya karena ada beberapa plot holes yang akan Anda mengerti jika sudah membaca bukunya atau menyaksikan film The Lightning Thief. Saya pribadi belum pernah membaca bukunya sama sekali dan memang tidak tertarik untuk membacanya. Kalo filmnya? Yang pertama sih biasa saja, sequelnya ini lebih parah. Supporting Cast aktor-aktor besar dari film pertama seperti Pierce Brosnan dan Sean Bean tidak muncul lagi di film ini. Diperparah dengan karakterisasi yang dangkal dari semua karakter serta kisah cerita yang tidak fokus. Performance para pemainnya juga forgettable kecuali Nathan Fillion yang memerankan Hermes, sedikit lumayan. Film karya Thor Freudenthal ini jelas penurunan kualitas dari film sebelumnya kecuali dari sisi teknis spesial efek. Penonton remaja dan anak-anak mungkin akan terhibur, kalau saya jelas tertidur.....



It scores 5 outta 10!

The Call; more than 911 operator



Sutradara Brad Anderson pernah membuat thriller psikologis berjudul The Machinist yang sampai saat ini belum bisa saya lupakan (thanks to Christian Bale's perfect performance).  Kali ini ia membuat thriller berjudul The Call yang dibintangi Halle Berry dari sebuah profesi yang sering muncul di tivi maupun film. Jordan Turner (Halle Berry) adalah seorang operator telepon polisi 911 yang suatu ketika menerima panggilan dari seorang remaja yang rumahnya dimasuki penjahat. Jordan merasa bersalah karena tindakannya menghubungi si penelepon membuat sang remaja tewas terbunuh, padahal ia bermaksud untuk membantunya. 6 bulan kemudian Jordan sudah menjadi trainer untuk para operator 911 yang baru masuk dan sekali lagi ia menerima sebuah panggilan dari seorang remaja bernama Casey (Abigail Breslin) yang diculik dan disekap dalam bagasi sebuah mobil. Kini Jordan merasa bertanggung jawab menyelamatkan Casey dengan keahliannya sebagai operator 911 dan sambil berusaha mengatasi trauma yang pernah dialaminya. Menurut saya film ini adalah thriller yang efektif, tidak butuh waktu lama sejak adegan pembuka karena penonton langsung dibawa ke momen-momen menegangkan seputar penculikan Casey. Dengan aksi skala kecil dan cerita yang klise, sutradara Brad Anderson berhasil membangun sebuah ketegangan yang nonstop dan tidak bertele-tele. Para bintangnya juga bermain ciamik, meskipun Halle Berry hanya duduk  menerima telepon ia mampu memberikan ekspresi yang bagus, begitu juga dengan Abigail Breslin dan Michael Eklund yang memerankan penjahatnya. Dari semua kelebihan yang sudah saya sebutkan diatas, ada satu hal yang sangat mengganggu dan mengecewakan, endingnya. Padahal jika endingnya tidak dibuat revengeful mungkin akan terlihat lebih realistis, toh Jordan kan sebenarnya petugas kepolisian (meskipun bisa khilaf juga). Well... sebenarnya hal itu gak mengurangi kenikmatan menonton film ini yang memang thrilling karena bagian gak enaknya berada di menit menit terakhir.



It scores 7 outta 10!