Saturday, December 28, 2013

Snowpiercer; Korean filmmaker with Hollywood's taste

Ketika dunia membeku di masa depan, ada sebuah kereta yang berjalan nonstop tanpa henti berisi manusia-manusia yang selamat dari kiamat es tersebut. Ibarat bahtera nabi Nuh, kereta ini pun dianggap keramat begitu juga dengan orang yang menciptakan keretanya, Mr Wilford (Ed Harris). Tidak ada yang tahu rupa Wilford karena ia tinggal di gerbang depan tempat mesin utama kereta ini bekerja, The Engine Room ini sangat eksklusif dan tidak bisa dimasuki siapapun tanpa izin Wilford. Curtis (Chris Evans) yang tinggal di gerbong paling belakang merasa sudah waktunya untuk memberontak. Kereta Wilford ini terdiri dari banyak gerbong yang memisahkan penghuninya berdasarkan kasta, gerbong paling belakang adalah milik orang-orang miskin yang diizinkan naik kereta ini secara cuma-cuma, sementara penghuni gerbong lainnya adalah orang-orang kaya yang membeli tiket kereta dengan harga yang sangat mahal demi kelanjutan hidup mereka. Curtis yang dibimbing Gilliam (John Hurt) menyusun rencana pemberontakan dengan seksama dan mereka mendapat petunjuk tertulis yang tertanam dalam makanan mereka yang dikirim orang misterius di gerbong depan. Untuk bisa menembus gerbong demi gerbong ke depan, Curtis membutuhkan seorang ahli security bernama Namgoong Minsu (Song Kang-Ho) yang hanya bisa berbicara dalam bahasa korea. Perjalanan menembus gerbong hingga ke depan membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang memakan banyak nyawa, sebuah revolusi akhirnya terjadi di kereta yang telah berkeliling dunia selama 20 tahun tanpa berhenti. Film Snowpiercer ini diangkat dari novel grafis berjudul "Le Transperceneige" karya Jacques Lob, Benjamin Legrand dan Jean-Marc Rochette. Sutradara asal Korea Bong Joon-ho menurut saya berhasil membuat salah satu kisah scince fiction bertema 'end of day' yang sarat dengan kritik sosial dengan visualisasi yang apik. Semua pemain juga bermain dengan apik meskipun pendalaman karakternya menurut saya kurang dalam. Karakter yang dibawakan Tilda Swinton akan menjadi tokoh memorable bagi pecinta film, percaya deh... Production designnya sangat oke, setting dalam kereta dimana masing masing gerbong memiliki fungsi dan layout yang unik (klo gak mau dibilang fantastis untuk sebuah kereta). Bila Anda suka film ini, saya sarankan saksikan versi animated prequel Snowpiercer di Youtube karena ada penjelasan yang perlu Anda ketahui.

It scores 7 outta 10!


Posted via Blogaway

THOR: The Dark World

Bersama pasukan Asgardian rupanya Thor (Chris Hemsworth) cukup sibuk dalam menjaga kedamaian dalam dunia Nine Realms. Sementara itu Jane Foster (Natalie Portman) yang kangen berat dengan Thor berusaha mencari 'sesuatu' yang bisa mempertemukan mereka kembali. Sebuah kekuatan jahat dan gelap bernama Ather secara tak sengaja masuk dan mendiami tubuh Jane, Ather ini rupanya sedang dicari oleh penjahat bernama Malekith (Christopher Eccleston) untuk digunakan sebagai senjata menghancurkan Asgard pimpinan raja Odin (Anthony Hopkins). Thor harus berusaha menyelamatkan Asgard dan Jane dari kekuatan jahat Ather, sayangnya ia harus memilih salah satu dan merelakan lainnya untuk dikorbankan. Sutradara Alan Taylor bisa dibilang cukup berhasil mempertahankan apa yang sudah dibangun Kenneth Branagh di film pertama, bahkan Thor: The Dark World bisa dibilang lebih ceria dan santai, bahkan menurut saya terlalu santai dan terlalu banyak bercanda. The Dark World lebih punya kaitan erat dengan film The Avengers ketimbang film Thor yang pertama. Tokoh Loki dibuat lebih bodor meskipun tetap jahat dan culas (Tom Hiddleston memainkan karakternya dengan apik), banyak adegan Loki yang akan mencuri perhatian penonton, baik itu adegan humor maupun adegan drama yang emosional. Satu hal yang disayangkan adalah kurangnya pendalaman karakter sang villain Malekith serta The Warrior Three yang sebenarnya punya potensi membuat film ini lebih oke, well... mudah-mudahan sequelnya bisa mengakomodir kekurangan tersebut. Btw, bila Anda jeli, gambaran dunia Asgard di film ini jauh lebih cerah dan 'ramai' daripada film pertamanya dan hal ini termasuk hal yang positif serta menarik secara visual. Oiya bicara soal visual, versi 3Dnya sama sekali gak menarik jadi nikmati saja versi reguler yang memang sudah sangat menghibur, lumayan buat pemanasan rilisnya The Avengers: Age of Ultron.

It scores 7 outta 10!


Posted via Blogaway

Sunday, December 22, 2013

Carrie; Remake yang gagal

Salah satu biang horor bernama Stephen King pernah merilis sebuah novel berjudul Carrie di tahun 1974. Novel yang laku keras ini diangkat ke layar lebar pada tahun 1976 oleh sutradara Brian De Palma yang diperankan oleh Sissy Spacek dan Piper Laurie and i really love that movie! Sayangnya hal yang sama tidak bisa saya katakan untuk film remakenya yang rilis tahun ini dibawah arahan sutradara Kimberly Pierce serta diperankan oleh Julianne Moore dan Chloe Grace Moretz. Carrie White (Moretz) adalah seorang ABG yang beranjak dewasa dibawah kungkungan sang ibu (Julianne Moore) yang terlalu religius. Carrie yang kerap menjadi bulan-bulanan teman-temannya di sekolah mulai menyadari bahwa dirinya memiliki kekuatan telekinetik, sebuah kekuatan yang membuat ia dapat memindahkan barang hanya dengan menggunakan pikiran. Tekanan mental yang datang dari sang ibu dan teman-teman sekolahnya membuat ia 'meledak' dalam sebuah pesta sekolah, banyak korban berjatuhan dan nyaris menghancurkan kota. Bila Anda sudah tahu kisahnya maka tidak ada hal baru yang bisa diharapkan muncul di film ini. Akting Moretz dan Moore cukup ciamik dan sialnya hanya itulah kelebihan film ini. Seperti halnya sebuah film remake, penonton akan mengharapkan sesuatu yang beda dari versi orisinilnya, untuk kasus ini saya kekeuh bahwa versi De Palma tetap lebih bagus meskipun terbilang jadul. Malah bila Anda menginginkan kisah yang lebih mencekam saya sarankan untuk membaca bukunya.

It scores 5 outta 10!


Posted via Blogaway

Thursday, December 12, 2013

We're The Millers; Dysfunctional fake family

David (Jason Sudeikis) adalah pengedar narkoba kelas teri, karena ia punya hutang kepada bandarnya, Brad (Ed Helms), ia rela diberi tugas mengambil ganja di Meksiko dengan menggunakan mobil RV. Untuk bisa lolos melewati perbatasan dengan aman ia membutuhkan keluarga palsu yang berpura-pura berwisata ke Meksiko. David merekrut tetangganya Kenny (Will Poulter), pemuda 18 tahun yang lugu dan masih perawan, serta Casey (Emma Roberts) anak ABG bengal yang kabur dari rumahnya. Untuk melengkapi anggota keluarganya, David mencoba membujuk Rose (Jennifer Aniston) agar mau berpura-pura menjadi istrinya dengan bayaran tertentu. Berempat mereka mencoba saling akur demi melaksanakan "tugas" dan demi uang yang dijanjikan kepada mereka. Berhasilkah? Well... bila keluarga yang 'benar' saja memiliki segudang masalah, apalagi keluarga yang palsu... Sutradara Rawson Marshall Thurber bisa dibilang cukup baik menggarap film Road Trip komedi romantis yang jorok ini. Meskipun ceritanya sangat mudah ditebak dan performance para pemainnya biasa saja, cukup banyak momen yang akan membuat Anda tertawa bahkan ada momen emosional yang cukup mengharukan dan yang saya maksud mengharukan bukanlah adegan Rose menari striptease di bengkel menggunakan shower. So, untuk sebuah hiburan, film We're The Millers ini bisa jadi pengobat stress yang pas, tapi hanya pas untuk orang dewasa.

It scores 6 outta 10!


Posted via Blogaway

Sunday, November 3, 2013

Escape Plan; an entertaining mess

Sylvester Stallone dan Arnold Schwarzenegger adalah dua aktor film action yang sangat populer di tahun 80an, masih ingat dengan Rambo, Rocky, Conan dan Terminator? Well i do! And i love those movies! Kolaborasi mereka dalam film The Expendables bisa dibilang mengecewakan dan awalnya saya sempat berfikiran yang sama untuk film Escape Plan. I was wrong.. Sly adalah Ray Breslin yang pekerjaannya keluar masuk penjara, bukan karena ia seorang kriminal melainkan karena ia memang dibayar untuk kabur dari penjara. Keahliannya ini memang unik dan cukup mahal biayanya karena bisa memberikan koreksi untuk fasilitas penjara demi meningkatkan keamanannya. Suatu saat ada sebuah tawaran dari klien misterius (CIA) yang menawarkan bayaran tinggi untuk membobol sebuah penjara dengan tingkat keamanan paling ketat dan benar saja, saat Breslin masuk, ia kehilangan kontak dengan dunia luar sama sekali. Seorang tahanan bernama Rottmayer (Schwarzenegger) mengamati Ray yang sedang mencari jalan keluar dan ia menawarkan diri untuk membantu dan mereka berdua pun mengatur rencana pelarian. Sutradara asal Swedia Mikael Hafstrom tahu bagaimana caranya membuat penonton bernostalgia, karena ceritanya yang biasa saja maka kekuatan film ini jelas berada di tangan Sly dan Arnie, tanpa kehadiran mereka berdua film Escape Plan lebih cocok rilis langsung dalam bentuk home video. Bagi Anda yang kangen dengan film action 80 dan 90an dengan segala ke-klise-annya film ini akan mengobati kangen Anda. Memang sih.. Sly dan Arnie sudah terlihat sangat tua karena keriput mereka terlihat jelas di layar namun mereka terlihat enjoy dengan apa yang mereka lakukan (tanpa banyak beradegan aksi), it's not a problem for me. Saya cukup menikmati penampilan mereka berdua dengan segala kekurangannya. Singkat kata, Escape Plan adalah film action comedy kacau balau yang menghibur...

It scores 7 outta 10!


Posted via Blogaway

Saturday, November 2, 2013

Captain Phillips; next Oscar for Hanks

Bila Anda mendengar kata perompak atau bajak laut mungkin sebagian besar akan membayangkan bendera hitam bergambar tengkorak serta pelaut yang berpakaian lusuh tapi khas layaknya Jack Sparrow. For your information.. pada tahun 2009 telah terjadi perompakan kapal kargo milik perusahaan Maersk yang berlayar di perairan Somalia dan tidak ada bendera tengkorak disana. Kapal Maersk Alabama berlayar dibawah pimpinan Capt. Richard Philillps (Tom Hanks) dengan bantuan Shane Murphy (Michael Chernus) sebagai second in command-nya. Kejadian yang tidak mereka inginkan terjadi dengan cepat, kapal mereka dinaiki dengan paksa oleh empat orang perompak dari Somalia yang dipimpin Muse (Barkhad Abdi). Phillips mencoba menjalankan prosedur yang sudah ada jika kapal mereka mengalami kejadian seperti ini, meskipun mereka tidak memiliki bantuan militer satupun diatas geladak kapal. Prioritas Phillips adalah keselamatan awak kapal dan muatan kargo kapalnya, hal inilah yang membuat ia akhirnya disandera dalam sebuah kapal penyelamat (lifeboat) bersama empat perompak Somalia. Sebelum mereka tiba di Somalia, militer Amerika harus segera mengambil tindakan dimulai dari negosiasi uang hingga akhirnya jalan kekerasan. Sutradara Paul Greengrass yang pernah membuat film Bourne Ultimatum dan United 93 berhasil membuat film Captain Phillips ini dengan sangat apik. Gaya sinematografinya yang sangat dinamis (baca: gak bisa diem) memang jadi ciri khasnya, bisa diaplikasikan dengan baik, apalagi memang settingnya yang berada di atas air berombak. Gaya penceritaannya memang agak lambat di awal namun itu hanya berlangsung kurang dari 30 menit, setelah itu ketegangan akan terus berlanjut dan memuncak di akhir film. Barkhad Abdi yang baru pertama kali tampil sebagai aktor secara profesional tampil dengan alami sebagai Muse sang pimpinan perompak. Tom Hanks sendiri tampil memukau terutama dibagian endingnya yang menguras emosi. Overall.. it's a must see movie!

It scores 8 outta 10!


Posted via Blogaway

Cloudy 2; a jurassic parody!

Sedikit orang yang tahu kalau kisah Cloudy With a Chance of Meatballs berasal dari buku anak-anak karya Judi dan Ron Barret yang pernah beredar tahun 1978. Tapi Anda pasti tahu dan masih ingat film animasinya yang rilis tahun 2009 dan mendapat sambutan yang cukup baik. Sambutan baik itu sudah pasti akan menghasilkan sequel layaknya film-film Hollywood yang lain. Cloudy With a Chance of Meatballs 2 hadir melanjutkan akhir kisah film pertamanya dimana Flint Lockwood (Bill Hader) baru saja melumpuhkan mesin FLDSMDFR (Flint Lockwood Diatonic Super Muatating Dynamic Food Replicator) yang memporakporandakan kampung halamannya, Shallow Falls. Berkat usahanya tersebut ia di tawarkan bekerja bersama Chester V (Will Forte), seorang ilmuwan lebay idola Flint yang memiliki sebuah perusahaan inovasi bernama Live Corp. Chester menawarkan untuk membantu memulihkan Shallow Falls dan selama pembersihan berlangsung semua warga diungsikan ke San Franjose. Rupanya Chester memiliki agenda tersembunyi yang melibatkan mesin FLDSMDFR untuk kepentingan pribadi dan Flint dipengaruhi Chester hingga rela meninggalkan teman-temannya. Jika dibandingkan dengan film pertamanya maka akan terlihat penurunan kualitas cerita, emosi yang kurang tergali, pendalaman karakter yang nyaris tak ada dan dialog-dialog yang cheesy. Teknik animasinya masih cukup bagus malah sangat menghibur mata, apalagi banyak karakter tamu yang baru dalam bentuk makanan 'hidup', malah menurut saya para 'makanan hidup' inilah yang menjadi bintang utama film ini. Penggemar berat film pasti akan mengatakan bahwa film ini mirip dengan film Jurassic Park, Anda gak salah karena memang demikian adanya, bahkan hingga ke adegan-adegan memorable yang melibatkan T-Rex hanya saja di film ini yang muncul adalah tacosaurus. Dibalik semua kekurangan dan 'kelebihan gaya' (baca: lebay) karakternya, film ini pas untuk hiburan bersama keluarga, lucu dan memanjakan mata.

It scores 5 outta 10!


Posted via Blogaway

Sunday, October 13, 2013

Prisoners; Maze of thrills


                                     

Nama sutradara Denis Villeneuve mungkin asing ditelinga Anda, namun setelah menyaksikan film Prisoners ini saya yakin Anda gak akan melupakannya. Sebenarnya sudah banyak film thriller tentang penculikan anak yang dibuat Hollywood hanya saja yang satu ini agak beda. Jika Anda penggemar kisah drama kriminal (let's say.. Like.. CSI.. or Criminal Minds?) kemungkinan besar Anda akan menikmati film ini, tapi bila Anda pecinta film action dan berharap film ini mirip film Taken ya bersiaplah untuk terkantuk-kantuk.
Keller Dover (Hugh Jackman) dan istrinya, Grace (Maria Bello) memiliki seorang putra bernama Ralph (Dylan Minnette) dan putri bernama Anna (Erin Gerasimovich) yang masih kecil. Mereka berkunjung ke rumah keluarga Franklin Birch (Terrence Howard) yang tak jauh dari rumah mereka untuk merayakan Thanksgiving bersama. Saat dua putri mereka, Anna dan Joy bermain diluar dan tidak kembali, membuat keluarga Dover dan Birch menjadi panik. Ralph sempat melihat sebuah kendaraan RV yang parkir tak jauh dari rumah mereka dimana ia melihat Anna dan Joy bermain disitu, dan kini mobil RV itu lenyap dan dikhawatirkan menculik Anna dan Joy. Detektif Loki (Jake Gyllenhaal) ditugaskan menangani kasus hilangnya Anna dan Joy, selama ini semua kasus yang ditanganinya selalu berhasil dipecahkan. Penangkapan Alex Jones (Paul Dano) yang memiliki RV yang dicari mengalami jalan buntu, Jones ternyata memiliki IQ yang sama dengan anak usia 10 tahun dan diasumsikan tidak dapat melakukan penculikan. Dover yang tidak percaya dan yakin kalau Jones menculik anaknya, melakukan tindakan main hakim sendiri, ia menculik Jones dan menyiksanya demi mengetahui keberadaan putrinya. Padahal Loki menemukan tersangka lain yang lebih mampu melakukan penculikan dan gerak geriknya yang memang mencurigakan.
                                 
Untuk sebuah drama thriller film Prisoners termasuk salah satu yang berhasil membuat penontonnya tak bergeming (maksudnya untuk Anda penggemar kisah drama kriminal ya..). I have a little daughter and this movie gave me an emotional impact... Selama lebih dari 2 jam film ini memberikan ketegangan dari awal hingga akhir. Penceritaannya sangat detail dan efektif, setiap adegan memiliki arti untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Tidak ada twist yang mengagetkan meskipun kepingan-kepingan puzzlenya cukup rumit, kemungkinan besar Anda bisa menebak pelakunya sebelum dipaparkan, namun hal itu tidak akan mengurangi kenikmatan menonton. Performance para pemainnya juga luar biasa, mereka semua tampil prima, dari awal hingga akhir dan inilah salah satu faktor kekuatan film ini selain cerita dan sinematografinya yang gloomy. Overall.. film ini wajib ditonton bagi Anda yang ingin melakukan character study dan tentu saja para penggemar kisah drama kriminal yang haus akan kisah yang cerdas.

It scores 8 outta 10!

Runner Runner; Bad thriller

Selain aktif bernyanyi, Justin Timberlake mulai giat main film. Terakhir kali saya menyaksikan Timberlake melakoni peran utama adalah film sci-fi berjudul In Time beberapa waktu lalu. Kini ia memerankan Richie Furst, seorang mahasiswa di Princeton University yang punya sambilan menjadi calo 'online poker'. Berhubung judi (dalam bentuk apapun) dilarang dalam kampus, Richie mendapat ancaman dari dekan bila ia tidak berhenti mengajak teman-teman sekampusnya untuk berjudi online maka ia akan dikeluarkan dari kampus. Padahal fee yang ia dapatkan selama ini dikumpulkan untuk membayar kuliahnya. Dengan tabungan yang tersisa ia nekat mengikuti judi online poker dengan harapan mendapatkan untung besar sehingga bisa digunakan untuk biaya kuliah. Ia kalah dan semua uangnya lenyap. Richie yang memang cerdas tahu bahwa ia dicurangi dan ia bisa membuktikannya pada Ivan Block (Ben Affleck) si pemilik website judi Midnight Black yang kini berada di Costa Rica. Ivan menghargai laporan statistik Richie yang cukup cerdas, ia malah menawarkan Richie pekerjaan mengelola website judi online miliknya dengan janji penghasilan yang melimpah. Tergiur dengan uang yang banyak membuat Richie lengah, selain dibuntuti FBI ia pun sedang dimanfaatkan Ivan sebagai kambing hitam. Bila ia tidak segera menemukan jalan keluar maka nasibnya akan berakhir di penjara. 
Film Runner Runner karya Brad Furman yang diproduseri Leonardo DiCaprio ini bisa dibilang melempem. Ceritanya sih punya potensi untuk menjadi tontonan yang bagus hanya sayang eksekusinya kurang maksimal. Timberlake berusaha keras tampil bagus meskipun hasilnya biasa saja. Gemma Arterton yang memerankan Rebecca hanya sebagai pemanis tempelan, beda dengan Anthony Mackie yang mencuri perhatian sebagai agen Shavers dari FBI. Yang paling menyebalkan adalah Ben Affleck, entah perasaan saya doang atau dia terlihat malas berakting, performancenya amat buruk. Hal itu dan gaya penceritaan penulis Brian Koppelman & David Levien yang membosankan membuat film ini mudah dilupakan...

It scores 4 outta 10!


                             

Sunday, October 6, 2013

GRAVITY; Beautiful cinematic experience

Di angkasa luar tidak ada apa-apa, kalimat pembuka film ini akan mengingatkan kita akan sebuah fakta ilmiah yang tidak bisa dibantah; "life in space is impossible". Namun begitu bukan berarti manusia gak bisa pergi ke luar angkasa. Dr Ryan Stone (Sandra Bullock) adalah seorang bio-medical engineer yang baru pertama kali melakukan misi di luar angkasa. Ditemani Matt Kowalski (George Clooney) yang sudah berpengalaman, Ryan harus memperbaiki satelit Hubble Space Telescope yang mengalami gangguan. Ditengah proses perbaikan, mereka diperingatkan oleh mission control di Houston (suaranya Ed Harris) bahwa ada banyak puing-puing melaju ke arah mereka dengan kecepatan tinggi. Dengan kondisi tanpa gravitasi, bukanlah hal yang mudah untuk menyelamatkan diri. Premisnya memang cukup simpel dan tema survival atau berjuang untuk hidup sudah sangat sering diangkat oleh banyak film, lalu apa yang membedakan film ini dengan yang lain? Jawabannya akan Anda dapatkan setelah Anda menyaksikannya sendiri. Sutradara Alfonso Cuaron saya nobatkan sebagai salah satu sutradara favorit saya setelah ia menyelesaikan film Harry Potter and The Prisoner of Azakaban, hingga saat ini menurut saya itu adalah film Harry Potter terbaik dari semua film HP yang berjumlah total 8 jilid. Alfonso Cuaron menulis kisah film Gravity ini bersama anaknya Jonas Cuaron dengan budget $ 80 juta serta mulai produksinya tahun 2011 lalu. Film ini memiliki kelebihan dalam hal penyutradaraan, production design, visual effect dan yang paling juara yaitu sinematografi karya Emmanuel Lubezki. Untuk mengerti kelebihan-kelebihan yang saya maksud, tentu saja sekali lagi saya katakan Anda harus menyaksikannya sendiri. Saran saya, saksikan film ini di bioskop karena layarnya yang lebar, Anda tidak akan mendapatkan keindahan film ini dilayar televisi (apalagi tablet), jika ada budget lebih tontonlah versi 3Dnya, jika ingin mendapatkan efek yang maksimal saksikanlah di layar IMAX. Buat saya pribadi, menyaksikan Gravity sekali tidaklah cukup karena film ini memberikan pengalaman 'indah' yang ingin saya alami berulang kali. This is my most beautiful and thrilling cinematic experince since James Cameron's Avatar... bahkan James Cameron sendiri mengatakan bahwa Gravity adalah film yang hebat. Dan saya sangat setuju.

It scores 9 outta 10!

Wednesday, October 2, 2013

RUSH; Formula 1's greatest racing rivals


James Hunt (Chris Hemsworth) dan Niki Lauda (Daniel Bruhl) pertama kali bertemu dalam arena balap Formula 3 tahun 1970 di Inggris, mobil balap mereka saling bersinggungan dan nyaris mengalami kecelakaan. Arena balap Formula 3 rupanya tidak cukup untuk Lauda, ia ingin jadi juara di liga yang lebih besar yaitu Formula 1. Berbekal kegigihan, kepandaian mengotak-atik mesin dan pinjaman dari Bank membuat Lauda berhasil mengikuti kompetisi balap bergengsi ini, ia bahkan berhasil masuk dalam team Ferrari dan menjadi juara dunia tahun 1975. Hunt yang selalu berada di posisi kedua bertekad untuk mengalahkan Lauda dan perebutan juara dunia tahun 1976 jadi arenanya. Saat balapan German Grand Prix Lauda mengalami kecelakaan yang cukup fatal. Ia mengalami luka bakar parah dan paru-paru penuh racun akibat terlalu lama terjebak dalam mobilnya yang terbakar. Selama enam minggu terbaring di rumah sakit, ia menyaksikan Hunt di televisi memetik beberapa kemenangan yang tidak bisa diikutinya. Tekadnya mengalahkan Hunt justru menjadi pemicu semangatnya untuk bisa kembali balapan dan ia nekat melakukannya di Italian Grand Prix meskipun tidak menduduki posisi pertama. Japanese Grand Prix menjadi klimaks perseteruan mereka di arena balap Formula 1, dengan kondisi cuaca yang buruk dan jalanan yang licin serta berbahaya, nyawa dan reputasi mereka dipertaruhkan demi menjadi juara dunia. Film Rush karya sutradara Ron Howard ini diangkat dari kisah nyata tentang perseteruan yang populer di arena F1 antara James Hunt dan Niki Lauda di tahun 70an. Saya pribadi bukan penggemar F1 tapi film ini jelas jadi character study yang bagus bagi siapapun yang menyaksikannya, entah Anda pecinta F1 maupun bukan. Mereka berdua masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan yang tanpa mereka sadari membuat mereka saling iri satu sama lain tanpa pernah memperlihatkannya. Hemsworth dan Bruhl bermain sangat apik, bahasa tubuh dan sorot mata mereka menampilkan emosi yang pas denga  karakter yang mereka bawakan. Dari sisi teknis, acungan jempol perlu diberikan untuk sinematografer Anthony Dod Mantle yang memberikan visuliasasi balapan F1 dengan classy sekaligus menegangkan. Ron Howard memang gak main-main dalam merekonstruksi apa yang terjadi di Arena Formula 1 selama perseteruan balapan antara Hunt dan Lauda. Overall... selain indah dan menghibur, film ini akan menginsiprasi Anda tentang arti kehidupan dari sebuah pekerjaan yang menantang kematian. 

It scores 8 outta 10!

Posted via Blogaway

Posted via Blogaway


Posted via Blogaway

Monday, September 30, 2013

Metallica Through The Never; A Beautiful Heavy Metal

Beberapa tahun terakhir ini kita disuguhkan dengan film dokumenter tentang artis dan perjuangannya mencapai puncak ketenaran, mulai dari Justin Bieber, Katy Perry hingga One Direction yang dirilis dalam format 3 dimensi. Sejak kemunculan film This Is It-nya Michael Jackson, saya belum menemukan lagi sebuah film musik yang bagus hingga akhirnya muncullah film ini, Metallica Through The Never. This is a concert movie, isinya merupakan konser Metallica yang direkam di Vancouver dan Edmonton saat World Magnetic's Tour tahun 2012 lalu. Ada sebuah cerita yang berjalan paralel dengan konsernya, seorang pemuda bernama Trip (diperankan Dane DeHaan) yang ditugaskan mengambil barang milik band Metallica yang kesasar disuatu tempat. Perjalanan Trip bukan perjalanan yang mudah karena banyak rintangan (absurd) yang menghadang, namun kegigihan Trip melaksanakan tugas demi Metallica, ia rela melakukan apa saja demi bisa mengantarkan barang tersebut ke pemiliknya. Sekedar catatan, saya bukan penggemar musik Heavy Metal dan Metallica bukan band favorit saya. Tapi jujur saya katakan bahwa film Metallica Through The Never yang disutradarai Nimrod Antal ini melampaui ekspektasi saya terhadap film konser. Idenya berasal dari James Hetfiled, Kirk Hammet, Lars Ulrich dan Robert Trujillo (you know who they are) yang divisualisasikan dengan indah oleh Nimrod Antal, baik saat konser maupun cerita perjalanan Trip. Tidak ada interview dan tidak ada komentar fans atau siapapun layaknya film konser lainnya dan disitulah keunikan film ini. Lagu-lagunya sejalan dengan apa yang disaksikan oleh Trip disepanjang perjalanan, dunia Metallica bukan dunia yang penuh warna seperti film Part of Me-nya Katy Perry. Pemberontakan, ketidakadilan dan kematian merupakan sedikit gambaran yang ditampilkan Nimrod Antal yang jelas bersumber dari lirik-lirik lagu Metallica. Bagi Anda pengemar berat Metallica pasti sangat familiar dengan dunia yang digambarkan disini. Konsernya? Keren abisss...! James, Kirk, Lars dan Robert tampil prima diatas panggung sepanjang konser. Panggungnya sendiri terbilang unik dan sangat bagus. Bagian favorit saya adalah dibangunnya Lady Justice diatas panggung dan runtuh dengan sendirinya.. EPIC!  Lagu-lagu yang ditampilkan adalah lagu-lagu populer yang pernah mereka buat selama 30 tahun terakhir, seperti Creeping Death, Master of Puppets, Enter Sandman, One dan lainnya. Jika Anda pecinta musik metal dan penggemar Metallica, saya sarankan untuk menyiapkan uang lebih untuk menyaksikannya dilayar IMAX 3D, dijamin gak nyesel! Anda akan tetap duduk hingga film benar-benar berakhir tuntas. Jangan terlalu keras memikirkan ceritanya karena penuh simbol dan visualisasi yang belum tentu bisa dimengerti dalam sekejap. Bila Anda menginginkan cerita dokumenter tentang Metallica, Anda bisa saksikan film Some Kind of Monster yang pernah rilis tahun 2004. Untuk film ini: just sit back and enjoy the music. Meskipun saya bukan penggemar musik metal, Metallica Through The Never adalah salah satu film konser terbaik yang pernah saya lihat di layar lebar .

It scores 8 outta 10!

Saturday, September 28, 2013

MALAVITA / THE FAMILY

Robert DeNiro memerankan seorang mafia dari Brooklyn bernama Giovani Manzoni, yang merubah namanya menjadi Fred Blake karena sedang bersembunyi di Normandy, Perancis, dibawah pengawasan FBI (Witness Protection Program) yang dikomandoi Stansfield (Tommy Lee Jones).  Maggie (Michelle Pfeiffer) istri Fred beserta dua orang anaknya, Belle (Diana Agron) dan Warren (John D'Leo) rupanya sudah terbiasa berpindah-pindah tempat tinggal karena permintaan FBI selama 10 tahun. Di tempat tinggal yang baru ini, kepada para tetangganya Fred mengaku sebagai penulis sejarah, padahal ia sedang menulis memoar yang menjelaskan kehidupan mafianya. Stansfield berharap keluarga Blake ini bisa bersikap low profile dan tidak mencari gara-gara dengan lingkungan sekitar, sayangnya kelakuan keluarga ini sudah sangat kental dengan kekerasan sehingga rasanya agak sulit buat mereka untuk tetap kalem dalam menyelesaikan masalah. Ada hadiah besar bagi para Bounty Hunter yang bisa membunuh Fred dan persembunyiannya di Normandy tak bisa dirahasiakan lagi, keluarga Blake harus beraksi, membunuh atau terbunuh di tangan para Bounty Hunter.
Yang membuat saya tertarik menyaksikan film ini adalah kombinasi sutradara Luc Besson (La Femme Nikita dan Leon: The Professional) dan aktor Robert DeNiro serta Michelle Pfeiffer. Diangkat dari cerita novel karya Tonino Benacquista berjudul Malavita, film ini diberi judul The Family di beberapa negara. Filmnya tentang mafia Amerika, tapi tidak terasa Hollywood sama sekali, viva la Besson!! Berkat cerita yang agak nyeleneh, pemandangan desa di daerah Perancis yang jauh dari glamor tapi indah, serta performance semua pemainnya yang luar biasa, film ini menjadi sangat enak dinikmati. Dua pertiga film ini berisi drama kehidupan keluarga Manzoni dan masalah pribadi yang muncul di masing-masing individu terutama terhadap lingkungan sekitar, lucu dan nyeleneh karena isu kritik sosial  yang diangkat cukup menarik, meskipun ada beberap plot-holes. Sepertiga terakhir film ini berisi action yang memperlihatkan keterampilan keluarga Manzoni yang sebenarnya, meskipun terlihat kurang optimal. Malavita bukan karya Besson yang memorable seperti Leon atau Nikita tapi cukup memberikan gambaran lain tentang keluarga mafia yang mengkritik dunianya sendiri. Buat yang suka dengan serial The Sopranos, film ini bisa jadi hiburan yang menyenangkan.

It scores 7 outta 10!

Wednesday, September 25, 2013

INSIDIOUS Chapter 2; Horror in full circle



Bila Anda sudah pernah menyaksikan film Insidious yang pertama karya James Wan dan menyukainya, maka Anda wajib menyaksikan kelanjutan kisahnya di film Insidous Chapter 2. Kisah di Chapter 2 melanjutkan persis setelah film Chapter 1 berakhir, dimana Elise (Lin Shaye) tewas karena dicekik nenek bergaun hitam yang mengambil alih tubuh Josh Lambert (Patrick Wilson). Setelah selesai dengan urusan polisi, pasangan Josh dan Renai lambert (Rose Byrne) bersama tiga anaknya, Dalton, Foster dan Cali,  tinggal di rumah orangtua Josh, Lorraine Lambert (Barbara Hershey). Renai dan Lorraine akhirnya menyadari bahwa hidup mereka belum kembali normal karena penampakan dan suara-suara misterius kembali menghantui mereka. Lorraine meminta bantuan duo Specs (Leigh Wannel) dan Tucker ( Angus Sampson) yang sebelumnya pernah membantu Elise, berhubung Elise sudah wafat maka Specs dan Tucker meminta bantuan Carl (Steve Coulter) yang dulu pernah bekerjasama dengan Elise saat Josh masih muda dan mengalami gangguan supranatural di rumahnya. Penyelidikan mereka berempat mengarah pada kesimpulan bahwa Josh kini terperangkap di "dunia lain" dan nenek bergaun hitam yang dikenal sebagai The Dark Bride, yang mendiami tubuh Josh saat ini, akan membunuh Renai dan anak-anaknya. Untuk menyelamatkan keluarga Lambert harus ada yang menghancurkan memori The Dark Bride yang ternyata berhubungan dengan masa lalu keluarga Lambert.

Buat saya Chapter 2 tidak bisa dipisahkan dari film pertamanya. This movie is now in a complete full circle. Beberapa plot holes yang terdapat di film pertama akan terjawab di film ini. Siapa sih si nenek lampir bergaun hitam itu? Kenapa dia ngotot sekali dengan Josh? Hal itu akan terjawab di film ini, bahkan lebih detail karena menyangkut penyakit mental yang dialaminya di masa lalu. Pendalaman karakternya memang kurang tergali dengan optimal, mungkin karena takut berubah jadi film drama he..he..he... Penampilan para pemainnya bisa dibilang biasa saja, hanya Rose Byrne saja yang agak menonjol. Di film pertama, kehadiran duo ghostbuster Specs dan Tucker sangat menggangu saya, tapi di film ini mereka bisa memberikan porsi humor yang pas dan sesuai dengan jalan cerita (bahkan mungkin bisa jadi icon baru). Kepiawaian James Wan dalam menggarap film horor terlihat jelas di Chapter 2 meskipun ada beberapa momen seram yang agak sedikit mengingatkan kita pada The Conjuring, buat saya sih gak masalah karena film ini memiliki ciri khas sendiri. Salah satu keunggulan Wan menggarap film horor adalah ia menggambarkan hal-hal yang sebagian besar orang pernah mengalaminya, seperti suara telapak kaki, bunyi ketukan dan pintu berderit yang dikehidupan nyata bisa membuat kita memikirkan hal-hal yang nggak-nggak alias berbau supranatural, bukan begitu bukan?  Oiya.. salah satu ciri khas Insidious adalah si "setan merah" yang sayangnya gak muncul di film ini. Mudah-mudahan kalimat terakhir di film ini yang diucapkan Elise "Oh My God.!"  jadi indikasi munculnya si setan merah di Chapter 3.



It scores 6 outta 10!

Tuesday, September 24, 2013

YOU'RE NEXT; Kinda Smart Slasher



Paul Davison (Rob Moran) dan istrinya Aubrey (Barbara Crampton) merayakan ulang tahun pernikahan di rumah peniun mereka disebuah desa. Pasangan ini mengundang anak-anak mereka yang sudah dewasa untuk datang bersama kekasih mereka masing-masing. Crispian (AJ Bowen) datang bersama Erin (Sharni Vinson), Drake (Joe Swanberg) bersama Kelly (Margaret Laney), Aimee (Amy Seimetz) bersama Tariq (Ti West) dan Felix (Nicholas Tucci) bersama Zee (Wendy Glenn). Crispian, Drake, Aimee dan Felix adalah kakak beradik Davison, dan layaknya kakak beradik pasti ada pertengkaran kecil yang tidak bisa dihindari. Dari pertengkaran kecil dimeja makan muncul teror yang tidak diinginkan. Sekelompok geng pembunuh bertopeng hewan mencoba menghabisi nyawa keluarga Davison satu persatu dengan panah, golok dan kapak. Mereka harus berfikir keras untuk bisa bertahan hidup dan mencari bantuan. Erin yang kebetulan dibesarkan dengan cara yang cukup ekstrim oleh orang tuanya, menjadi orang yang bisa memimpin dan juga melawan para pembunuh. Sialnya, para pembunuh ini mendapat bantuan dari orang dalam, ternyata ada diantara mereka yang menjadi kaki tangan pembunuh. Siapa? Ya tonton deh filmnya!

Ada yang unik dari film garapan sutradara Adam Wingard ini, untuk sebuah film bergenre horror slasher, film You're Next bisa dibilang cukup pintar. Selain beberapa elemen klise yang selalu muncul dalam film horror / thriller, penulis cerita Simon Barrett memberikan elemen surprise yang cukup menarik pada endingnya serta nuansa black comedy tentang sibling rivalry, dan saat tahu endingnya saya merasa kisah film ini menjadi sangat logis. Beda dengan film slasher lain  yang melakukan pembunuhan hanya karena dorongan naluri atau kelainan jiwa, film ini memiliki motif pembunuhan yang bisa terjadi pada siapa saja, yaitu UANG! Selain itu, karakter Erin juga memberikan solusi yang pintar atas beberapa problem klise yang kerap muncul dalam film sejenis (yang menyebabkan si tokoh mati terbunuh). Overall... it's a bloody gore entertaining for the fans of horror slasher genre. Oiya, just in case you're wondering, lagu yang diputar berulang-ulang di film ini adalah lagu milik Dwight Twilley yang berjudul "Looking for the magic".



It scores 7 outta 10!

Wednesday, September 18, 2013

2 Guns; funny buddy cop



Bobby (Denzel Washington) dan Stigman (Mark Wahlberg) sebenarnya adalah anggota DEA dan NAVY yang sedang menyamar dan mereka berdua belum tahu identitas asli masing-masing. Target mereka adalah seorang kartel narkotik Meksiko bernama Papi Greco (James Edward Olmos), Bobby mengincar narkobanya sedangkan Stig mengincar uangnya. Sialnya, perampokan bank yang mereka lakukan ternyata malah membuat mereka terjerumus dalam kesulitan, DEA dan NAVY menyangkal keberadaan Bobby dan Stig, dan lebih sialnya lagi ternyata bank yang mereka rampok merupakan tempat penyimpanan uang haram milik CIA. Earl (Bill Paxton) dari CIA yang merasa kecolongan, memburu Bobby dan Stig untuk mendapatkan kembali uang $43.125.000 miliknya, dengan cara apapun. Alhasil Bobby dan Stig bukan cuma diburu CIA tapi juga DEA, NAVY dan drug cartel pimpinan Papi Greco demi mendapatkan uangnya serta memastikan mereka berdua mati terbunuh. Sebenarnya sudah banyak film komedi aksi buddy cop, namun yang membedakannya dengan film besutan Baltasar Kormakur ini adalah nama besar Denzel Washington. Kapan terakhir Anda melihat Denzel main film komedi? Menyaksikan Denzel berpasangan dengan Mark Wahlberg di film ini sangat menyenangkan dan menghibur. Wahlberg lebih menonjol dengan gayanya yang urakan dan nyerocos tanpa henti, Washington bisa mengimbangi dengan gayanya yang cool dan kalem. Kombinasi mereka berdua saat berbagi layar menghasilkan dialog-dialog yang nyeleneh dan enak dinikmati karena menurut saya chemistry mereka berdua cukup pas. Jalan ceritanya sendiri juga ringan dan gak perlu banyak mikir untuk bisa memahaminya. Pendalaman karakternya nyaris gak ada untuk tokoh Bobby dan Stig yang aslinya diambil dari novel grafis karya Steven Grant. Beda dengan film buddy cop lainnya yang menyempatkan diri untuk menggali lebih dalam tokoh utamanya, Kormakur lebih fokus pada adegan aksi dan apa yang dilakukan Bobby dan Stig menyelesaikan problem mereka secepat mungkin dan tidak ingin bertele-tele dengan latar belakang semua tokohnya. Isu sosial tentang korupsi di beberapa lembaga negara amerika yang diangkat film ini juga kurang detail, tapi cukup untuk sekedar menjadi alasan kenapa Bobby dan Stig melakukan apa yang harus mereka lakukan. Bila Anda pecinta genre action comedy maka film ini akan jadi hiburan yang seru untuk disaksikan.



It scores 7 outta 10!

Monday, September 16, 2013

The Frozen Ground; a thrilling cliche



Jack Halcombe (Nicolas Cage) adalah seorang detektif polisi di Alaska yang sedang menyelidiki kasus ditemukannya mayat wanita ditengah hutan. Berdasarkan hasil investigasinya ia menemukan sebuah pola pembunuhan berantai dan ia mencurigai Robert Hansen (John Cusack) yang tinggal di sebuah kota kecil bernama Anchorage. Bagi penduduk Anchorage, Hansen adalah warga yang baik, pemilik toko kue dan tidak memiliki masalah dengan lingkungan sekitar, istri dan anaknya pun termasuk taat beribadah. Ternyata Hansen adalah seorang pemburu, dengan sebuah pesawat kecil yang dimilikinya ia sering membawa wanita PSK (Pekerja Seks Komoersial) atau penari eksotis dengan pesawatnya ke sebuah kabin di tengah hutan Alaska untuk diperkosa lalu dilepaskan di tengah hutan dan kemudian dibunuh menggunakan senapan layaknya pemburu membunuh hewan incarannya yang sedang berlari menyelamatkan diri. Hingga suatu saat mangsa yang diculik Hansen lepas, seorang wanita berusia 17 tahun bernama Cindy (Vanessa Hudgens). Polisi setempat tidak mempercayai Cindy karena ia seorang pelacur, bagi mereka pelacur itu ya kerjaannya memang untuk diperkosa. Halcombe yang mendengar pengaduan Cindy mencoba membantu demi tertangkapnya Hansen, bila Cindy memberikan kesaksian maka Hansen bisa dijebloskan kepenjara dengan tuduhan penculikan. Namun ternyata Hansen tidak tinggal diam, ia membayar orang untuk menangkap Cindy dan membunuhnya, kini nyawa Cindy terancam. Bagi Anda penggemar kisah seri kriminal seperti Law & Order, CSI atau Criminal Minds di televisi, film The Frozen Ground ini terlihat klise dan datar, karena beberapa episode dari serial tersebut ada yang jauh lebih menarik dan saya adalah penggemar serial kriminal yang saya sebutkan tadi. Yang menarik perhatian saya dari film yang ditulis dan disutradarai oleh Scott Walker ini adalah, pertama kisahnya merupakah kisah nyata yang terjadi di kota Anchorage, Alaska antara tahun 1973 hingga 1983. Si pelaku Robert Hansen dijatuhi hukuman penjara selama 461 tahun dan tidak bisa ditebus dengan uang. Jumlah korban mencapai 21 orang, 17 mayatnya sudah ditemukan tapi beberapa tidak diketahui indentitasnya, hingga hari ini. Kedua, semua pemain tampil dengan apik, bahkan Nicolas Cage yang beberapa film terakhirnya bikin mata saya sakit karena aktingnya yang asal-asalan dan merusak jalan cerita. Tapi di film ini ia tampil jauh lebih baik dalam membawakan karakter Halcombe yang dalam kehidupan nyata bernama detektif Glenn Flothe. Performance John Cusack dan Vanessa Hudgens juga patut diacungi jempol. Gambar-gambar daerah hutan dan pegunungan Alaska dari udara yang diambil Patrick Murguia juga jadi hiburan mata tersendiri. Jadi meskipun ceritanya klise namun tetap bisa dinikmati karena memiliki kelebihan lain yang cukup enak dinikmati.



It scores 7 outta 10!

Grown Ups 2; worst movie of the year



Adam Sandler, Kevin James, David Spade dan Chris Rock adalah jebolan SNL (Saturday Night Live), kecuali Kevin James, yang merupakan sahabat karib diluar kamera yang juga sering numpang lewat di film masing2. Film Grown Ups pertama yang rilis tahun 2010 bisa dibilang memberikan masukan uang yang lumayan buat Adam Sandler dibandingkan karya-karya sesudahnya seperti film Jack & Jill. Empat sahabat ini memutuskan kembali ke layar lebar melanjutkan petualangan mereka di film Grown Ups 2 arahan Dennis Dugan. Ceritanya.... well.... saya agak kesulitan menceritakan jalan ceritanya dari sudut pandang saya, karena saya benar-benar gak ngerti apa yang mau disampaikan film ini. Plot ceritanya bisa Anda Google, yang perlu Anda ketahui adalah film ini jelas lebih buruk dari film pertama. Banyaknya karakter yang tampil membuat film ini penuh sesak dan menjengkelkan. Humornya ada beberapa yang lucu tapi kebanyakan sangat garing dan tetap vulgar seperti biasa yang dilakukan Sandler dan Spade. Bila Anda menyukai film pertamanya kemungkinan besar akan menyukai film ini karena semuanya hampir sama persis, bahkan hingga ke adegan kolam renang yang berubah warnanya menjadi biru saat ada yang pipis didalam airnya, hanya saja kali ini yang melakukannya adalah Shaquile O'Neill...  *tepok jidat*



It scores 3 outta 10!

Disney's Planes; worst than Cars



Sebuah pesawat yang takut terbang tinggi tapi ingin ikut kejuaraan keliling dunia? Kenapa tidak! No dream is too big if you live in the world of Disney. Kesuksesan film Cars memberi ide untuk membuat konsep yang sama dengan bentuk yang beda, dari mobil ke pesawat. Sebuah pesawat penyemprot hama bernama Dusty Crophopper (Dane Cook) bermimpi untuk bisa ikut sebuah kejuaraan bergengsi keliling dunia, hanya saja Dusty memiliki satu masalah, ia takut ketinggian. Dengan bantuan Dottie (Teri Hatcher) dan Chug (Brad Garret), Dusty mencoba peruntungannya mengikuti babak kualifikasi dan mujurnya ia lolos karena ada satu peserta yang didiskualifikasi. Kejuaraan ini bukan hal yang mudah, ia membutuhkan bantuan Skipper (Stacy Keach) yang sudah malang melintang keliling dunia saat masih bertugas di militer, pengalam Skipper dapat membantu Dusty dalam menghadapi berbagai rintangan saat ia keliling dunia, tapi ada satu rintangan yang agak sulit dihadapi, kecurangan salah satu peserta bernama Ripslinger (Roger Craig Smith) pesawat balap yang tidak ingin dikalahkan oleh pesawat penyemprot hama dari kampung. Dibawah arahan sutradara Klay Hall film ini jelas akan mengingatkan Anda pada film Cars, bedanya kualitas cerita film Planes jauh dibawah Cars yang merupakan kerjasama Disney dengan Pixar. Untuk orang dewasa kisah film ini akan sangat membosankan meskipun teknis visualnya jauh dari mengecewakan. Hanya anak-anak dibawah 10 tahun saja yang bisa menikmatinya dengan "seru". Awalnya film ini dibuat untuk langsung dipasarkan dalam bentuk home video namun Disney memutuskan untuk merilisnya dalam format layar lebar, malah kalo sukses akan disiapkan pula sequelnya.



It scores 5 outta 10!

Sunday, September 15, 2013

Kick-Ass 2; Hit-Girl movie?



Dave Lizewski (Aaron Johnson) adalah pahlawan bertopeng bernama Kick-Ass yang suka membantu warga bila sedang dalam kesulitan. Kick-Ass bukan superhero, ia hanya manusia biasa yang ingin membuat perubahan. Setelah cukup lama bermalas-malasan dengan aksi topengnya, Dave memutuskan untuk kembali ke jalanan menumpas penjahat. Untuk itu ia membutuhkan teman dan mengajak Mindy (Chloe Grace Moretz) alias Hit-Girl untuk mendampinginya. Untuk urusan berkelahi, Mindy jelas jauuuuhh lebih terampil ketimbang Dave dan Mindy setuju untuk mengajarkan Dave beberapa ilmu beladiri (dengan cara yang menyakitkan). Sementara itu Chris D'Amico (Christopher Mintz-Plasse) yang dulu dikenal dengan nama Red Mist (lihat lagi film Kick-Ass yang pertama), masih menaruh dendam pada Kick-Ass dan berencana untuk membunuhnya. Dengan kostum baru yang lebih culun (dan lebih gay) dari Red Mist ia menamakan diri The Motherf*cker dan ia juga merekrut beberapa penjahat dan menami mereka dengan nama yang aneh-aneh seperti Mother Russi dan Genghis Carnage untuk mendampinginya membunuh Kick-Ass. Saat Mindy memutuskan untuk berhenti menjadi Hit Girl dan sibuk dengan kelompok barunya di sekolah, Dave memutuskan untuk bergabung dengan kelompok pembela kebenaran pimpinan Colonel Star & Stripes (Jim Carrey) yang memiliki nama Justice Forever. Kelompok ini harus menghadapi tantangan yang berat ketika salah satu dari mereka tewas dibunuh oleh The Motherf*cker. Ketika korban bertambah banyak, kick-ass dan Hit Girl pun turun tangan. Di tangan sutradara Jeff Wadlow film ini tetap menghibur meskipun tidak secerdas film pertamanya. Porsi komedi dan aksinya terbilang cukup pas meskipun (sekali lagi) tidak semenarik film pertama. Bila Anda suka film pertamanya kemungkinan besar akan menyukai film ini karena sudah mengetahui karakteristik masing-masing tokoh, Anda tinggal menikmati sajian aksi dan komedi yang menghibur. Penampilan Jim Carrey yang singkat sangat mencuri perhatian begitu juga dengan Moretz yang sangat mendominasi layar. Beberapa orang menyebut film ini sebagai Hit Girl Movie, dan saya setuju.



It scores 6 outta 10!

Tuesday, September 10, 2013

Riddick; it's Pitch Black all over again!



If you love action sci-fi Pitch Black (2000), you'll love this one! Sutradara David Twohy kembali untuk ketiga kalinya membawa kita melihat petualangan Richard B. Riddick yang diperankan Vin Diesel yang merangkap sebagai produser di film yang kali ini diberi titel (hanya) Riddick. Settingnya lima tahun setelah kisah The Chrocicles of Riddick (yang rilis tahun 2004), ketika Riddick dikhianati oleh Commander Vaako (Karl Urban) yang menjanjikan dirinya pulang ke planet Furya. Alih-alih tiba di planet Furya, Riddick malah ditelantarkan disebuah planet terasing oleh Krone (Andreas Apergis) kaki tangan Vaako. Di planet ini ia mencoba bertahan hidup sendiri, terutama dari serangan makhluk-makhluk ganas yang mendiami planet ini lebih dulu. Sadisnya makhluk-makhluk ini membuat Riddick merasa harus segera meninggalkan planet tersebut, kebetulan ada sebuah stasiun pemancar yang bisa mengirimkan sinyal darurat, konsekwensinya adalah ia akan diburu oleh para pemburu hadiah (bounty hunter) yang rela membunuh Riddick demi uang imbalannya. Dua buah pesawat bounty hunter mendarat memenuhi panggilan darurat yang dikirim Riddick, satu team dipimpin Santana (Jordi Molla) yang congkak dan team lainnya di pimpin Johns (Matt Nable) yang well organize. Awalnya mereka berseteru untuk mendapatkan Riddick namun akhirnya mereka saling bekerjasama, karena sebenarnya bukan Riddick yang harus mereka khawatirkan, melainkan makhluk-makhluk penghuni planet ini yang datang saat hujan badai dengan jumlah ratusan. Kisah film ini merupakan sambungan langsung dari film The Chronicles of Riddick tapi benang merahnya terkait erat dengan film pertamanya, Pitch Black. David Twohy mengambil keputusan yang cerdas dengan menulis cerita Riddick yang mengambil konsep cerita mirip dengan film pertama yang sukses besar serta melambungkan nama Vin Diesel. Iapun dengan leluasa mendalami karakter Riddick dari sisi emisonal yang tidak pernah tergali dari dua film sebelumnya (kemarahan, kesepian, ketegaran dan ketakutan), hal ini digambarkan di sepertiga pertama film yang memperlihatkan cara Riddick bertahan hidup dan Vin Diesel membawakannya dengan sangat apik. Performance para pemain pendukungnya juga enak dilihat, sesuai dengan karakter yang diinginkan. Yang perlu diacungi jempol adalah sinematografi dan visual efeknya. David Eggby berhasil menampilkan pemandangan planet yang tandus dan seram tapi indah (apalgi klo disaksikan dilayar IMAX), FYI ajah lokasi syutingnya dilakukan di gurun daerah Farafra Mesir. Sebenarnya gosip tentang film Riddick sudah beredar sejak tahun 2006 namun baru tahun 2012 bisa dilaksanakan syutingnya karena menunggu kesiapan Diesel dan Twohy serta pematangan skrip yang dibuat Twohy yang awalnya diberi rating PG-13 (Remaja) dirubah menjadi Rating R (dewasa) sama dengan film Pitch Black. Saya pribadi senang dengan kembalinya Riddick ke layar lebar, bagaimana dengan Anda?

It scores 8 outta 10!

Sunday, September 8, 2013

The Internship; dinosaur men vs digital kids



Film komedi The Internship karya sutradara Shawn Levy menceritakan tentang duo salesman handal Billy McMahon (Vince Vaughn) dan Nick Campbell (Owen Wilson). Mereka terpukul saat tahu bahwa jam tangan yang mereka jual sudah tidak diproduksi lagi dan perusahaannya gulung tikar sehingga bos mereka, Sammy (John Goodman) memecat mereka. Sekarang siapa sih yang pake jam tangan? Di jaman digital ini kalo orang tau jam berapa sekarang tinggal lihat ke handphone mereka. Dengan galau mereka mencoba mencari pekerjaan lain meskipun gak mudah karena yang mereka kuasai hanya ilmu menjual barang. Billy mencoba mengirimkan aplikasi ke perusahaan Google dengan harapan bisa diterima disana karena dikantornya mereka bisa memberikan makan gratis, ada 'nap pod' yang bisa digunakan untuk tidur dan perosotan besar yang menyenangkan. Google adalah salah satu perusahaan raksasa yang kini sedang berjaya dan tidak gampang bisa menjadi bagian dari perusahaan tersebut. Billy dan Nick mengikuti program Internship (kalo di Indonesia disebut Magang) dan bila mereka lulus maka mereka bisa diterima sebagai karyawan Google. Mereka berdua harus bersaing dengan anak-anak muda yang jauh lebih cerdas di bidang teknologi terkini, sedangkan Billy dan Nick termasuk dinosaurus yang gak ngerti apa-apa tentang teknologi. Teman-teman satu team mereka bahkan ikut mengolok-olok mereka berdua yang ketinggalan jaman, namun keteguhan dan tekad bulat Billy dan Nick akan membuat anak-anak muda ini berfikir dua kali untuk bisa mengalahkan mereka. Jujur saja, film ini bisa disebut sebuah iklan dengan durasi 100 menit lebih. Iklan apa? Ya iklan GOOGLE! Tapi mari kita kesampingkan hal itu sementara. Film ini termasuk film komedi yang efektif, banyak momen lucu yang bisa membuat kita tertawa dan ada momen untuk merenung dan mendapatkan insight dari cerita kisah komedi ini. 15 menit pertama mungkin agak membosankan, namun adegan interview via webcam di perpustakaan menjadi titik tolak kelucuan-kelucuan berikutnya yang cukup seru. Sebagian penonton senior akan merasa terwakili dengan karakter duo Billy dan Nick yang besar di tahun 80an (film Flashdance jadi referensi yang cukup lucu) sedangkan penonton muda yang gila gadget dan teknologi jelas akan mengerti apa yang dibicarakan para Googlers. Chemistry dua komedian Vaughn dan Wilson sangat pas sehingga penampilan mereka sepanjang film sangat menghibur, mengingatkan saya pada film Wedding Crasher yang juga dibintangi mereka berdua. Begitu juga dengan para pemain pendukungnya yang bermain dengan apik terutama Aasif Mandvi yang memerankan Mr. Chetty dengan bengis. Endingnya memang sudah bisa ditebak tapi tapi kisahnya menarik untuk diikuti dari awal hingga akhir.



It scores 6 outta 10!

R.I.P.D.; like a bad combination of Ghostbusters & MIB



Detektif Nick Walker (Ryan Reynolds) dan Bobby Hayes (Kevin Bacon) adalah pasangan polisi di Boston yang menyimpan sebongkah emas secara diam-diam, mereka mendapatkannya dari penggerebekan gembong narkotika. Walker yang merasa bersalah ingin mengirimkan emas tersebut ke tempat penyimpanan bukti di kantor polisi, namun Hayes yang tidak setuju malah membunuh Walker saat melaksanakan tugas. Walker yang tewas bertemu dengan Mildred Proctor (Mary Louise-Parker) dan diberi kesempatan untuk kembali ke dunia demi menjalankan tugas dari R.I.P.D. (Rest In Peace Department) dan tugasnya adalah menangkap para Deados (orang yang sudah mati tapi masih berkeliaran di dunia) untuk ditangkap dan dikirimkan ke alam baka. Agar bisa bertemu istri tercinta, Julia (Stephanie Szostak), Walker setuju dengan dengan tugas tersebut dan bekerjasama dengan Roy (Jeff Bridges) yang sudah senior di RIPD. Sialnya penampilan Walker dan Roy di dunia terlihat berbeda jauh dengan tubuh asli mereka, Walker terlihat seperti kakek cina yang sudah tua (James Hong) dan Roy terlihat seperti wanita cantik dan seksi (Marisa Miller). Tak ada yang mengenali siapa mereka sebenarnya sehingga Walker kesulitan menjelaskan ke pada Julia dan Hayes pun ternyata memiliki rencana busuk yang melibatkan Deados incaran Walker dan Roy. Film karya Robert Schwentke ini jelas akan mengingatkan Anda pada film Men In Black yang juga diangkat dari komik. Hanya saja eksekusinya bisa dibilang cukup parah (baca: buruk) bila dibandingkan MIB, meskipun tidak separah film Jonah Hex. Duo Reynolds dan Bridges tidak memiliki chemistry yang kuat sebagai partner, lelucon-lelucon yang dilontarkan mereka berdua terdengar garing di telinga saya. Ceritanya yang mudah ditebak dibuat datar tanpa ada pengembangan yang berarti, alhasil akan menimbulkan kantuk bagi beberapa penonton (termasuk saya). Untungnya spesial efek digarap dengan cukup serius jadi bisa memanjakan mata Anda untuk sesaat. Sangat disayangkan padahal materi yang cukup bagus dari komiknya bisa menjadi kisah yang bagus dilayar lebar bila digarap dengan lebih baik lagi. Menontonnya dalam format 3D juga hanya akan membuang uang Anda dengan percuma karena konversinya juga kurang maksimal.



It scores 5 outta 10!

Wednesday, September 4, 2013

Byzantium; a beautiful vampire tale



Masih ingatkah Anda dengan film Interview With a Vampire dengan bintang utama Tom Cruise yang beredar tahun 1994? Sutradara Neil Jordan yang membuatnya dan kini ia kembali dengan tema yang sama dengan Interview, hanya mungkin lebih feminis karena dilihat dari sudut pandang wanita bernama Clara dan Eleanor Webb. Pasangan ibu dan anak ini diperankan oleh Gemma Arterton dan Saoirse Ronan, mereka telah hidup selama 200 tahun dan berpindah-pindah dengan mengkonsumsi darah manusia. Disebuah desa di daerah Inggris mereka mendapat tempat tinggal di sebuah bekas hotel bernama Byzantium yang dimiliki Noel (Daniel Mays). Dengan keahlian Clara yang memiliki pengalaman sebagai pelacur selama 2 abad, ia mengubah tempat ini menjadi persinggahan bagi pelacur jalanan yang membutuhkan tempat "praktek". Sementara itu Elanor/Ella jatuh cinta dengan seorang pemuda setempat bernama Frank (Caleb Landry Jones) yang mengidap penyakit Leukimia dan Frank pun sebenarnya menaruh hati pada Ella, hanya saja Ella menghindar karena tidak ingin menyakiti Frank. Hingga akhirnya Ella membuka diri dan membiarkan Frank tahu bahwa dirinya adalah seorang vampire. Keterbukaan Ella terhadap Frank membuat Clara murka dan mengancam membunuh Frank karena siapapun manusia yang mengetahui identitas asli mereka harus dibunuh. Sialnya, Clara dan Ella juga sedang diburu sebuah perkumpulan vampire bernama Brotherhood, mereka tidak menginginkan adanya vampire wanita, jadi Clara dan Ella harus dibunuh dan Brotherhood sudah mengetahui keberadaan mereka berdua di desa tersebut. Setelah sekian lama disuguhi kisah vampire yang memiliki cinta segitiga dengan manusia dan werewolf, akhirnya hadir kisah vampire yang lebih membumi dengan penceritaan yang indah. Neil Jordan memang cukup piawai mengangkat tema ini karena ini sudah kali ketiga ia membuat film tentang vampire. Diangkat dari drama karya Moira Buffini yang juga menggarap skrip film ini, kisah Byzantium tampil dengan karakter-karakter dan visualisasi memikat. Gaya penceritaan back and forth tampil wajar dan lancar sehingga bisa kita rangkum di benak kita saat film berakhir, Anda dapat menarik kesimpulan tentang apa yang telah terjadi pada pasangan ibu dan anak ini serta apa yang melatarbelakangi mereka melakukan apa yang telah mereka lakukan. Semua pemain tampil dengan memikat, baik pemeran utama maupun pendamping dan para figurannya. Bila Anda mencari kisah drama yang agak "beda", film yang hanya di putar di jaringan Blitzmegaplex ini bisa jadi pilihan yang tepat.



It scores 8 outta 10!

Monday, September 2, 2013

The Mortal Instruments: City of Bones



Kisah novel young adult yang diangkat ke layar lebar memang sedang marak sejak kesuksesan Twilight Saga, kini hadir satu lagi yang tampil dilayar lebar dari seri The Mortal Instruments. Total bukunya ada 6 novel (klo gak salah, karena saya gak pengen baca) dan kisah City of Bones adalah yang pertama. Mengisahkan seorang gadis bernama Clary Fray (Lily Collins) yang tinggal di New York bersama ibunya, Jocelyn (Lena Headey). Clary mulai melihat penampakan simbol-simbol dan sebuah pembunuhan yang hanya bisa dilihat Clary semata. Ternyata eh ternyata, Clary adalah keturunan shadowhunter yang bertugas membasmi iblis/setan yang berkeliaran di New York. Shadowhunter ini bisa tak kasat mata kecuali oleh para iblis, witch/warlock, werewolf dan makhluk jejadian lainnya. Penculikan Jocelyn menjadi awal petualangan Clary dalam kehidupan baru yang terpaksa harus ia jalani demi menyelamatkan sang ibu. Dengan bantuan Jace Wayland (Jamie Campbell Bower) serta kakak beradik Alec (Kevin Zegers) dan Isabell Lightwood Jemima West) yang merupakan team shadowhunter berpengalaman, mereka mencari Jocelyn dan membongkar rahasia yang dimiliki musuh besar mereka bernama Valentine (Jonathan Rhys-Meyer). Film The Mortal Instruments: City of Bones ini disutradarai oleh Harald Zwart yang pernah menggarap remake The Karate Kid dengan cukup lumayan. Sayangnya tidak bisa dibilang sama untuk karyanya yang satu ini. City of Bones menawarkan pengulangan berupa cinta segitiga, penyihir, werewolf dan kekuatan supranatural serta lain-lainnya tanpa kualitas yang lebih baik, kecuali isu homoseksual yang muncul diantara karakternya, unik tapi menggantung. Kayaknya Anda harus baca novelnya dulu untuk bisa memahami karakter-karakter yang ada serta cerita yang ditawarkan, karena banyaknya subplot di film ini membuat ceritanya penuh sesak dalam durasi yang singkat. Buat saya yang agak lumayan hanya visualisasi dan soundtracknya, selebihnya biasa saja.



It scores 5 outta 10!

Percy Jackson: Sea of Monsters



Debut Percy Jackson yang pertama dilayar lebar tahun 2010 karya sutradara Chris Columbus bisa dibilang kurang menggembirakan dari sisi perolehan uang Box Office domestik di Amerika, tapi berhubung perolehan uang dari seluruh dunia lebih dari 200 juta dollar maka lahirlah sequelnya; Percy Jackson: Sea of Monsters meskipun waktu perilisannya sempat ditunda berkali-kali. Percy Jackson (Logan Lerman) adalah putra dari dewa laut Poseidon yang kini tinggal di camp Half-Blood, tempat dimana para demigod berkumpul. Adegan pembuka film ini akan menjelaskan tentang asal muasal dewa Zeus memberikan tameng perlindungan untuk camp Half-Blood agar tidak bisa dimasuki sembarangan orang. Tameng ini mulai hancur karena pohon ajaib yang menaunginya diracun oleh Luke Castellan (Jake Abel) dan untuk memulihkannya harus menggunakan kain ajaib bernama the golden fleece. Sialnya, kain ini dimiliki monster bermata satu (disebut Cyclops) di tengah laut segitiga bermuda yang angker. Demi kelangsungan hidup para demigod di camp Half-Blood maka Percy bersama sahabat-sahabatnya Grover (Brandon T. jackson) dan Annabeth (Alexandra Daddario) serta adik tirinya yang juga Cyclops bernama Taylor (Douglas Smith) berusaha mendapatkan kain ajaib itu dengan taruhan nyawa mereka. Berhasilkah mereka? Ya iyalah...! Bila Anda sudah baca seri novel Percy jackson pasti sudah tahu ceritanya. Bagi yang bukan penggemar Percy Jackson mungkin ada baiknya nonton film pertamanya karena ada beberapa plot holes yang akan Anda mengerti jika sudah membaca bukunya atau menyaksikan film The Lightning Thief. Saya pribadi belum pernah membaca bukunya sama sekali dan memang tidak tertarik untuk membacanya. Kalo filmnya? Yang pertama sih biasa saja, sequelnya ini lebih parah. Supporting Cast aktor-aktor besar dari film pertama seperti Pierce Brosnan dan Sean Bean tidak muncul lagi di film ini. Diperparah dengan karakterisasi yang dangkal dari semua karakter serta kisah cerita yang tidak fokus. Performance para pemainnya juga forgettable kecuali Nathan Fillion yang memerankan Hermes, sedikit lumayan. Film karya Thor Freudenthal ini jelas penurunan kualitas dari film sebelumnya kecuali dari sisi teknis spesial efek. Penonton remaja dan anak-anak mungkin akan terhibur, kalau saya jelas tertidur.....



It scores 5 outta 10!

The Call; more than 911 operator



Sutradara Brad Anderson pernah membuat thriller psikologis berjudul The Machinist yang sampai saat ini belum bisa saya lupakan (thanks to Christian Bale's perfect performance).  Kali ini ia membuat thriller berjudul The Call yang dibintangi Halle Berry dari sebuah profesi yang sering muncul di tivi maupun film. Jordan Turner (Halle Berry) adalah seorang operator telepon polisi 911 yang suatu ketika menerima panggilan dari seorang remaja yang rumahnya dimasuki penjahat. Jordan merasa bersalah karena tindakannya menghubungi si penelepon membuat sang remaja tewas terbunuh, padahal ia bermaksud untuk membantunya. 6 bulan kemudian Jordan sudah menjadi trainer untuk para operator 911 yang baru masuk dan sekali lagi ia menerima sebuah panggilan dari seorang remaja bernama Casey (Abigail Breslin) yang diculik dan disekap dalam bagasi sebuah mobil. Kini Jordan merasa bertanggung jawab menyelamatkan Casey dengan keahliannya sebagai operator 911 dan sambil berusaha mengatasi trauma yang pernah dialaminya. Menurut saya film ini adalah thriller yang efektif, tidak butuh waktu lama sejak adegan pembuka karena penonton langsung dibawa ke momen-momen menegangkan seputar penculikan Casey. Dengan aksi skala kecil dan cerita yang klise, sutradara Brad Anderson berhasil membangun sebuah ketegangan yang nonstop dan tidak bertele-tele. Para bintangnya juga bermain ciamik, meskipun Halle Berry hanya duduk  menerima telepon ia mampu memberikan ekspresi yang bagus, begitu juga dengan Abigail Breslin dan Michael Eklund yang memerankan penjahatnya. Dari semua kelebihan yang sudah saya sebutkan diatas, ada satu hal yang sangat mengganggu dan mengecewakan, endingnya. Padahal jika endingnya tidak dibuat revengeful mungkin akan terlihat lebih realistis, toh Jordan kan sebenarnya petugas kepolisian (meskipun bisa khilaf juga). Well... sebenarnya hal itu gak mengurangi kenikmatan menonton film ini yang memang thrilling karena bagian gak enaknya berada di menit menit terakhir.



It scores 7 outta 10!

Thursday, August 22, 2013

A fail thriller in a bunker



John Cusack memerankan Emerson, seorang agen CIA yang dianggap gagal sebagai agen lapangan karena menolak membunuh seorang anak perempuan. Akibatnya ia diberi tugas yang lebih "sepele" yaitu mensupervisi seorang wanita bernama Katherine (Malin Akerman) yang memiliki tugas mengirimkan sandi angka kepada para agen-agen CIA di wilayah Eropa. Sandi angka ini dikirimkan melalui gelombang radio khusus yang tidak bisa dilacak dan terbilang kuno karena sudah ada sejak perang dunia ke II serta masih digunakan hingga sekarang, broadcast kode ini dilakukan dari sebuah tempat yang disebut Numbers Station (berupa bunker militer yang tidak terpakai) dan berada di Inggris (rrrr... in the middle of nowhere.. actually). Suatu ketika bunker mereka diserang oleh pihak yang ingin mengirimkan pesan ilegal, isinya berupa instruksi untuk membunuh ketua-ketua CIA yang jumlahnya tidak sedikit. Emerson dan Katherine kini berpacu dengan waktu untuk memecahkan kode ilegal tersebut dan membatalkannya serta berusaha agar tidak terbunuh saat para penjahat berhasil masuk ke dalam bunker tersebut. Film The Numbers Station ini disutradarai oleh Kasper Barfoed yang berasal dari Denmark, makanya nuansanya agak beda dengan film-film Hollywood lainnya. Banyak plot holes yang menganga di sepanjang film, jadi jangan heran kalau Anda bertanya-tanya sendiri "kenapa begini?" atau "kenapa begitu?". Pendalaman karakternya nyaris tak ada bahkan karakteristik Emerson dan Katherine dijabarkan hanya dengan satu kalimat panjang yang dilakukan masing-masing tokoh untuk lawan mainnya(and they fit the profile). Performance Cusack dan Akerman tidak istimewa alias biasa saja, mungkin karena skripnya gak mendukung mereka untuk berbuat lebih. Di luar negeri film ini langsung rilis dalam bentuk video (DVD, BD atau VOD) sedangkan di Indonesia hanya bisa disaksikan di jaringan bioskop Blitzmegaplex. Well... Paling tidak saya jadi tahu bahwa ada juga agen rahasia yang pekerjaannya sangat membosankan.



It scores 5 outta 10!

Saturday, August 17, 2013

ELYSIUM; Scifi berbalut kritik sosial ala Blomkamp



Max Dacosta (Matt Damon) sejak kecil memimpikan bisa tinggal di Elysium, sebuah tempat (mirip space station) di orbit planet bumi yang hanya bisa dihuni kaum elit. Elysium bagaikan surga buatan manusia, dimana tidak ada kemiskinan dan penyakit karena semua jenis penyakit bisa disembuhkan dengan teknologi medis yang canggih. Berbanding terbalik dengan keadaan di planet bumi itu sendiri, tepatnya tahun 2154 kondisi masyarakat miskin yang tinggal dibumi (karena gak mampu membayar untuk tinggal di Elysium) digambarkan sangat memprihatinkan, kriminalitas dan penyakit merajalela. Max yang terkena radiasi tingkat tinggi saat bekerja divonis hanya bisa hidup 5 hari lagi, ia harus berpacu dengan waktu untuk bisa pergi ke Elysium untuk menyembuhkan diri. Dengan bantuan gembong kriminal bernama Spider, ia membajak data dari seorang warga Elysium yang merupakan CEO Armadyne. Yang tidak diketahui Max adalah ternyata data ini berisi materi rahasia yang diinginkan menteri pertahanan Elysium bernama Delacourt (Jodie Foster) dan ia mengutus agen Kruger (Sharlto Copley) untuk mengambil data tersebut dari kepala Max dengan segala cara. Kini Max bukan hanya menghadapi waktu yang semakin mepet tapi juga kekejaman agen Kruger yang gigih ingin membunuh Max. Neil Blomkamp menulis dan menyutradarai film Elysium ini, mungkin Anda masih ingat dengan karya sebelumnya berjudul District 9 dengan konsep kritik sosial yang kurang lebih sama. Jika dibandingkan dengan District 9 maka film Elysium bisa dibilang penurunan kualitas. Tapi bukan berarti film ini jelek, adegan-adegan aksinya sangat menghibur dan cukup menegangkan, visualisasinya memukau terutama bila disaksikan dilayar IMAX. Semua pemain menampilkan performa yang baik, acungan jempol khusus untuk Sharlto Copley yang tampil menonjol dibandingkan pemain yang lain. Kekurangan film ini cuma satu, kurang dalamnya karakterisasi para tokohnya, padahal ada momen-momen flashback yang bisa dimanfaatkan. Elysium bukan karya terbaik Blomkamp dan mudah-mudahan ada peningkatan dalam karya berikutnya terutama yang mengusung kritik sosial dalam belutan science fiction layaknya District 9. Buat para pecinta film aksi dan science fiction, film ini jadi pilihan yang bagus untuk ditonton. Yang paling memorable buat saya dari film ini adalah adegan rekonstruksi wajah agen Kruger yang rusak karena terkena granat.. menjijikkan sekaligus mengagumkan.. see it for yourself if you wanna know what i mean...



It scores 7 outta 10!

And they SMURFin' around... again



Setelah sukses dengan film Smurf tahun 2011 lalu, team yang sama dipimpin sutradara Raja Gossnel kembali merilis Smurf 2 di tahun 2013 ini. Premisnya sederhana, Gargamel (Hank Azaria) yang kini menjadi selebriti gara-gara video yang memperlihatkan dirinya ketabrak mobil menjadi hit di Youtube, namun keinginannya menjadi penyihir hebat dan mendapatkan Smurf essence tidaklah padam. Untuk itulah ia menciptakan Naughties, makhluk kecil mirip Smurf yang akan membantunya mendapatkan apa yang ia inginkan dari para Smurf. Smurfette (Katy Perry) yang merupakan kreasi gagal Gargamel di goda oleh Vixy (Christina Ricci) dan Hackus (JB Smoove) agar menjadi nakal dan jahat. Bila Vixy dan Hackus berhasil maka impian Gargamel untuk menjadi penyihir paling sakti akan tercapai. Penilaian saya simpel aja, klo Anda menyukai film yang pertama maka Anda akan menyukai film ini. Sayangnya saya tidak, buat saya film ini hanya efektif untuk anak-anak dibawah 10 tahun. Pesan moral yang ingin disampaikan pun agak njelimet dan berantakan sehingga membutuhkan penjelasan lebih detail dari para orang tua yang membawa anaknya menyaksikan film ini. Sebenarnya ada sedikit peningkatan dari sisi teknis tapi kemungkinan besar Anda gak akan terlalu merasakannya. Gak perlu membayar mahal untuk nonton versi 3Dnya, versi yang reguler sudah lebih dari cukup kok.

It scores 5 outta 10!

Friday, August 16, 2013

Killing Season; Dendam perang Bosnia yang tak padam



Adegan di buka dengan serangkaian penyerbuan tentara NATO dan sekutunya yang menggerebek gerombolan Scorpion di Bosnia. Gerombolan Scorpion adalah penjahat perang yang membunuh pria, wanita dan anak-anak tanpa pandang bulu. Pasukan NATO mengeksekusi satu persatu penjahat perang ini namun ternyata ada seorang yang selamat. Emil Kovac (John Travolta) menunggu selama 18 tahun untuk bisa memulihkan diri dan menemukan Benjamin Ford (Robert De Niro) yang kini mengasingkan diri di sebuah pondok di tengah hutan. Ford adalah tentara yang menembak Emil di Bosnia namun Emil berhasil pulih. Pertemuan dengan Benjamin di hutan memberikan kesempatan bagi Emil untuk mengetahui lebih detail tentang orang yang  ia buru, bahkan mereka berdua sempat mabuk bersama di rumah Benjamin sebelum akhirnya Emil menunjukkan niat sebenarnya saat berburu rusa keesokan paginya. Benjamin kini harus bertahan hidup menyelamatkan dirinya dari kejaran Emil bahkan nyawa anak dan cucunya yang sedang berkunjung ke pondoknya pun terancam bila Benjamin tidak segera bertindak. Jujur saja, menurut saya ada yang salah dengan film ini. Performance Travolta dan DeNiro jauh dari mengecewakan meskipun bukan akting terbaik mereka. Sutradara Mark Steven Johnson terlihat bingung dengan apa yang ingin ia sajikan. Karakternya kurang tergali dengan baik, emosinya kurang greget dan kisahnya sudah bisa ditebak meskipun Johnson mencoba menawarkan twist (yang gagal). Film Killing Season awalnya diberi judul Sharpnel dengan konsep action thriller, entah kenapa hasil akhirnya berubah jadi gak jelas dan serba tanggung. Nilai tambah film ini hanya ada pada akting Travolta dan DeNiro serta sinematografi yang menangkap gambar-gambar pemandangan pegunungan yang indah. Sangat disayangkan dengan banyaknya talenta yang terasa terbuang percuma karena skrip yang buruk.

It scores 5 outta 10!

Monday, July 29, 2013

The Conjuring: a nod to classic horror



Ed dan Lorraine Warren merupakan pasangan yang giat meneliti dan mendokumentasikan kegiatan-kegiatan supranatural di Amerika. Bagi Anda yang suka menyaksikan serial Scariest Places On Earth di tivi kabel pasti tahu siapa mereka. Mereka memang pasangan yang cukup terkenal di Amerika dengan sebutan Ghost Hunters, meskipun kini Lorraine bekerja sendiri karena Ed sudah meninggal tahun 2006 lalu, sudah banyak buku dan laporan serta video yang mereka hasilkan terkait dengan penyelidikan aktifitas paranormal yang mereka alami dan salah satu yang paling populer adalah The Amityville Horror. Kini salah satu kasus yang paling menakutkan yang pernah dialami pasangan Warren difilmkan dengan judul The Conjuring, disutradarai oleh James Wan dan pasangan Warren diperankan oleh Patrick Wilson dan Vera Farmiga. Roger Perron (Ron Livingston) dan istrinya Carolyn (Lili Taylor) beserta 5 orang putrinya pindah ke sebuah rumah yang baru mereka beli di daerah agak terpencil di Harrisville dan ternyata rumah ini memiliki sejarah yang berdarah-darah. Makin lama gangguan yang muncul semakin sering frekuensinya dan menakutkan. Keluarga Perron meminta bantuan pasangan Warren untuk mengusir hantu yang ada dirumah mereka, hanya saja ternyata makhluk halus yang mendiami rumah Perron tidak mudah disingkirkan begitu saja karena tujuannya adalah membunuh keluarga Perron, bahkan nyawa putri pasangan Warren juga terancam. Sutradara James Wan cukup piawai untuk urusan thriller dan pernah menggarap film SAW yang pertama dan Insidious (sequelnya akan keluar akhir tahun 2013 yang juga dibintangi Patrick Wilson). Sebenarnya sih agak mirip dengan film Insidious hanya saja Wan lebih telaten dan melakukan improvement yang baik (untuk genre horor) di film The Conjuring ini. Penggunaan efek CGI yang sangat minim menjadi nilai tambah tersendiri, karena efek suspense yang dihadirkan benar-benar mengandalkan teknik yang bisa dibilang tradisional, seperti hentakan di dinding, suara tertawa, bayangan, suara telapak kaki di lantai yang berderit dll, dan semua itu ditampilkan dengan pas sehingga bisa menampilkan ketegangan untuk para penontonnya. Semua aktor dan aktrisnya bermain apik sehingga membuat film ini enak dilihat. Bagi Anda pecinta sejati film horor, maka film ini termasuk yang wajib ditonton. Bahkan bila Anda bukan pecinta film horor pun sebenarnya masih bisa menikmati film ini karena overall cukup menghibur, cuma nanti efek sampingnya ditanggung sendiri ya. Beberapa bioskop di Amerika menghadirkan pendeta yang bisa diajak konsultasi gratis setelah penayangan film ini, tujuannya untuk menenangkan penonton yang shock dan menguatkan kembali iman ybs. Di Indonesia? Gak perlu lah... Penonton di sini sudah terbiasa dengan setan yang seperti itu kok... hiiii....


It scores 8 outta 10!

Wednesday, July 24, 2013

This Wolverine is better than the Origins..!



Wolverine merupakan salah satu tokoh superhero yang memiliki penggemar tersendiri. Untuk filmnya, aktor Hugh Jackman belum tergantikan dalam memerankan karakter ini, Jackman sudah enam kali memerankan Wolverine termasuk film terbarunya yang dibesut sutradara James Mangold yang mengambil setting di Jepang (tahun depan Jackman kembali memerankan Wolverine ke 7 kalinya dalam film X-Men: Days of Future Past). Film The Wolverine ini merupakan kisah stand alone, berdiri sendiri dan tidak ada hubungan (langsung) dengan film X-Men lainnya, bahkan dari film X-Men Origins: Wolverine yang mengecewakan penggemarnya itu. Kisah film ini sebenarnya terinspirasi dari cerita komik yang pernah dibuat Frank Miller dan Chris Claremont di tahun 1982. Logan (Hugh Jackman) mengasingkan diri di hutan Kanada, hidup ala kadarnya dan kadang ditemani beruang Grizzly yang juga tinggal di hutan yang sama. Logan punya masalah emosional akibat kematian Jean Grey (Femke Janssen) yang ia cintai (tonton lagi film X-Men: The Last Stand!), akibatnya ia bermimpi buruk setiap malam bersama bayangan Jean. Secara diam-diam, seorang wanita mungil dari Jepang (tapi jago bertarung dengan pedang) bernama Yukio (Rila Fukushima) mengikuti Logan dan memintanya ikut ke Jepang demi menemui seseorang yang ia pernah selamatkan hidupnya saat terjadi bom Nagasaki. Yashida (Yamanouchi) selamat dari bom atom nagasaki berkat Logan dan sejak itu ia yakin bahwa ia bisa mengalahkan kematian. Yashida yang kini sedang sekarat mengundang Logan datang ke Tokyo untuk memberikan sebuah tawaran, ia bisa membuat logan menjadi manusia normal dan lepas dari mimpi-mimpi buruk yang ia alami setiap malam, ia bisa memindahkan kekuatan Logan ke tubuh Yashida karena Yashida membutuhkan kekuatan tersebut untuk melindungi keluarganya terutama Mariko (Tao Okamoto) yang akan menjadi pewaris kerajaan bisnis Yashida. Mariko yang tidak menginginkan warisan Yashida menjadi target mafia Yakuza untuk diculik dan dibunuh, namun Logan berhasil menyelamatkannya. Yang tidak diketahui Logan adalah ternyata dokter kepercayan Yashida ternyata adalah seorang mutan bernama Viper (Svetlana Khodchenkova) dan memiliki agenda tersendiri untuk menangkap Logan dan membunuhnya. Dari kualitas cerita, film ini jauh lebih baik dari X-Men Origins: Wolverine. Sutradara James Mangold dan team penulis naskahnya lebih mengedepankan konflik psikologis dan emosional yang dialami Logan, rasa bersalah atas kematian Jean Grey, tanggung jawab atas keselamatan Mariko dan ketakutan Logan dalam menghadapi kematiannya sendiri. Yup.. Wolverine di film ini terlihat tidak berdaya karena kekuatan self healing-nya dinetralisir oleh Viper dan Yukio yang bisa melihat masa depan, sempat menyaksikan kematian Logan dalam penglihatannya dan mencoba memperingati Logan walau tak digubris. Bila Anda mengharapkan adegan-adegan action yang bombastis maka saya pastikan Anda akan kecewa, nuansa drama di film ini jauh lebih kental ketimbang adegan aksinya. Buat saya pribadi sih cukup proporsional karena adegan aksinya di koreografikan dengan baik dan yang paling keren adalah adegan perkelahian diatas kereta cepat antara Logan dan panjahat Yakuza, seru dan dan menghibur meskipun mengingatkan saya pada film Mission Impossible yang pertama. Setting negara Jepang juga jadi salah satu kelebihan film ini, viewnya jadi terasa berbeda dan lebih enak dipandang mata (mungkin karena saya terbiasa dengan banyak film Hollywood yang bersetting di dunia barat). Kekurangan film ini ada pada tokoh Viper yang terlihat hanya sekedar tempelan, sexy but pointless. Klimaksnya juga agak nyebelin karena saya punya ekspektasi yang tinggi terhadap kehadiran Silver Samurai dan ternyata saya kecele. Secara keseluruhan sih film ini menarik, kita bisa melihat sempalan hidup seorang superhero bernama Wolverine yang lepas dari X-Men universe dan konflik kehidupannya yang kompleks mirip manusia biasa. Gak perlu nonton yang versi 3D karena versi reguler sudah cukup. Satu lagi, jangan buru-buru keluar dari gedung bioskop saat film ini berakhir, setelah end credit tittle ada teaser yang sangat menarik yang merupakan pengantar film X-Men: Days of Future Past. Bagi yang belum dengar, Days of Future Past adalah sequel dari film X-Men: Firts Class dan film ini nantinya akan menggabungkan karakter-karakter dari trilogi X-Men yang sudah tua dengan versi yang lebih muda dari film First Class. Can't wait...!



It scores 7 outta 10!

Monday, July 22, 2013

Can love defying gravity?



Kita semua tahu bahwa alam semesta itu penuh dengan misteri. Alkisah ada sebuah dunia dimana terdapat dua planet seperti bumi yang saling berdekatan (sangat dekat) tapi tidak bertabrakan dan mempunyai gaya gravitasi masing-masing. Orang-orang yang tinggal di dunia "atas" tidak bisa tinggal di dunia "bawah" dan begitupun sebaliknya karena mereka terikat dengan hukum alam gravitasi masing-masing dunia, bukan cuma orangnya tapi juga semua benda yang ada di masing-masing dunia terikat hukum ini. Seorang pria bernama Adam Kirk (Jim Sturgess) berasal dari dunia bawah dan jatuh cinta dengan seorang gadis dari dunia atas bernama Eden Moore (Kirsten Dunst). Mereka kerap kali bertemu di Sage Mountains yang memungkinkan mereka untuk berinteraksi lebih dekat dengan sedikit melawan gaya gravitasi, hingga suatu ketika terjadi kecelakaan yang membuat Eden terluka dan kena Amnesia dan mereka tak pernah bertemu lagi selama 10 tahun. Adam yang kini sibuk meramu sebuah krim anti penuaan, mengetahui bahwa ternyata Eden masih hidup dan bekerja di Transworld, sebuah perusahaan yang memiliki tower yang menghubungkan kedua dunia dan mempekerjakan karyawan dari dua dunia. Bila Adam bisa bekerja di Transworld maka kesempatan untuk bertemu lagi dengan Eden akan terbuka lebar dan ia menggunakan krim buatannya sebagai alasan untuk bekerja disana. Dengan bantuan Bob Boruchowitz (Timothy Spall) Adam menyusun rencana untuk bisa menemui Eden, sayangnya Eden tidak ingat siapa Adam sehingga membutuhkan usaha yang lebih keras bagi Adam untuk mengembalikan ingatan Eden dengan resiko nyawanya melayang. Di website Rottentomatoes.com banyak kritikus yang memberi nilai buruk untuk film indie scifi berjudul Upside Down ini. Saya pribadi gak setuju, there's something beautiful about this movie. Secara keseluruhan, kisah cinta Adam dan Eden akan mengingatkan kita pada cerita Romeo & Juliet dan pastinya kisah cinta di film ini lebih indah ketimbang kisah cinta vampire dan manusia yang laku keras itu. Memang sih ada beberapa kekurangan dalam cerita yang ditawarkan film ini, tapi konsepnya itu yang membuat saya tertarik. Film Upside Down ditulis dan disutradarai oleh Juan Solanas yang aslinya berasal dari Argentina, filmnya sendiri merupakan proyek patungan antara Perancis dan Kanada. Untuk sebuah film science fiction yang bukan berasal dari Hollywood, film ini bisa dibilang juara! Eksekusi yang dilakukan Solanas dalam penataan visual dan CGI-nya benar-benar indah dan keren. Dunia serba terbalik yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya dapat ditampilkan Solanas dengan logis. Gak gampang lho membuat visualisasi yang impossible tapi believable di mata penonton, and Solanas did a great job. Banyak sekali keunikan yang ditampilkan film ini dan menjadi materi yang bisa didiskusikan panjang lebar. Kekurangan dalam penceritaan bisa saya maafkan berkat aspek teknis dan visual yang bagus, dan untungnya semua pemain tampil dengan baik. Meskipun kurang promosi, kemungkinan film ini bisa jadi mendapat tempat tersendiri di hati para pecinta scifi dan penggemar kisah romansa dengan latar belakang yang absurd.



It scores 8 outta 10!

Sunday, July 21, 2013

Slo No Mo!



Theo (disuarakan oleh Ryan Reynolds) adalah seekor siput (atau keong ya?) yang tinggal bersama komunitasnya disebuah kebun tomat. Dari dulu ia selalu membayangkan dirinya bisa ngebut layaknya sebuah mobil balap. Setiap malam ia menonton tivi menyaksikan rekaman sang idola, seorang pembalap Indy 500 bernama Guy Gagne (Bill Hader) yang menyemangati Theo bahwa dengan kata-katanya bahwa mimpi harus dikejar, dan Theo selalu bermimpi bisa lari secepat kilat. Semua siput yang ada dikebun selalu menertawakan Theo yang selalu membayangkan dirinya seorang pembalap termasuk sang kakak, Chet (Paul Giamatti). Suatu saat dengan modal nekat, ia berusaha berlomba melawan mesin pemotong rumput demi mendapatkan sebuah tomat segar, nyawanya bisa saja melayang bila Chet dkk tidak segera menyelamatkannya. Kegalauannya akibat peristiwa itu plus tivinya yang rusak membuat ia berjalan-jalan sendirian hingga ia terlempar dan terjebak dalam mesin sebuah mobil balap dan terkontaminasi cairan Nitrous Oxide, hasilnya.. DNA Theo berubah, and guess what? Theo bisa ngebut layaknya sebuah mobil balap, bahkan fitur-fitur yang ada pada sebuah mobil menjadi melekat pada dirinya seperti matanya yang bisa menyala, lampu sign bahkan alarm. Ia akan mencoba membuktikan pada dunia bahwa siput yang satu ini bisa menggapai mimpinya, gak tanggung-tanggung karena ia akan mendaftar untuk menjadi peserta balapan Indy 500 dengan bantuan Tito (Michael Pena), seorang penjual taco yang membutuhkan publisitas demi lakunya usaha makanan taco yang ia jalankan bersama sang kakak. Theo yang mengganti namanya menjadi Turbo menjadi siput pertama yang diizinkan balapan di arena Indy 500 dan Guy Gagne ternyata tidak rela bila gelar juara yang kini ia sandang, direbut oleh seekor siput. Film Turbo adalah karya perdana David Soren sebagai sutradara, sebelumnya ia adalah orang yang bertanggung jawab untuk pembuatan naskah animasi Shrek dan Over The Hedge. Buat saya yang paling menarik adalah karakter Chet yang lebih menonjol daripada si Turbo itu sendiri, Paul Giamatti berhasil membawakan karakternya dengan baik di semua adegan. Sayangnya hal itu tidak diimbangi dengan karakter pendamping yang lain, padahal ada nama-nama tenar seperti Samuel L. Jackson dan Snoop Dog, mereka terlihat hanya sebagai tempelan sesaat dan kebetulan hanya muncul saat Turbo membutuhkan solusi (konyol) disaat terdesak. Bagi penonton anak-anak, film ini akan menjadi kisah yang seru tapi bagi pemirsa dewasa, apa yang ditampilkan Turbo tidak ada yang istimewa, malah cenderung membosankan dan mudah dilupakan jika dibandingkan dengan rilisan Dreamworks Animation yang lain seperti Kungfu Panda dan How To Train Your Dragon, padahal ada beberapa kritik sosial yang ditampilkan (lihat bagaimana Theo naik daun berkat video youtube), dan presentasi visualnya juga tidak buruk meskipun belum bisa dibilang luar biasa. Lumayanlah kalau untuk hiburan diwaktu senggang bersama keluarga.



It scores 6 outta 10!